Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus
BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.
DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm
Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika
BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?
Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.
Estetika modernis
Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!
Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.
Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.
Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.
Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.
Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.
Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.
Tantangan posmodern
Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.
Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?
Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.
Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.
Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.
Rambu etika dan justisia
Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.
Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.
Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia.
Ingatan Sosial dan Etika Politik
"Remember me," says King Hamlet to his son. Tell my story. Carry my memory, my legacy, my legitimacy, into the next generation, to my people, to my children and grandchildren. INGATAN pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan, tetapi sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi, dan pemahaman. Ingatan memunculkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari peristiwa-peristiwa masa lalu.
PEMIKIR Perancis Paul Ricoeur (1999), misalnya, mengungkapkan bahwa ingatan memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan, sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kedua relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk melakukan segala hal, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau mengenang kita menggunakan ingatan kita, yang merupakan sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah exercise, maka kita dapat berbicara tentang penggunaan ingatan, yang pada gilirannya memungkinkan kita berbicara tentang penyalahgunaan ingatan. Persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kita mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan penyalahgunaan ingatan ini.
Pendekatan terhadap ingatan sebagai cara melakukan segala hal dengan pikiran, atau sebagai sebuah exercise, memiliki perjalanan panjang dalam sejarah filsafat. Dalam Sophist, misalnya, Plato berbicara tentang "seni" mengimitasi (mimetike techne). Dalam konteks ini, Plato membuat pembedaan antara phantastike techne ’yang tidak bisa diandalkan’ dan eikastike techne yang berasal dari eikon Yunani ’citra’, yang mungkin benar. Oleh karenanya, terdapat dua kemungkinan untuk mengimitasi atau mengenang: phantastike techne, yang bisa keliru dan tidak dapat diandalkan, dan eikastike techne, yang kemungkinan dapat diandalkan.
Setelah Plato, kita memiliki sejarah panjang tentang ars memoria, seni ingatan, yang merupakan semacam pendidikan mengenai tindakan mengingat masa lalu. Dan di penghujung tradisi yang memperlakukan ingatan sebagai seni ini berdiri Nietzsche dengan risalah kedua dari Untimely Meditation yang diberi judul On the Advantage and Disadvantage of History of Life. Ini menarik karena judul itu sendiri berkaitan dengan "penggunaan", bukan penggunaan ingatan semata, tetapi penggunaan filsafat sejarah dalam pengertian Hegelian, yaitu memperlakukan praktik sejarah sebagai sains.
Ingatan dan sejarah
Dalam konteks ini, menarik memerhatikan tesis sejarawan Perancis Pierre Nora (1996) yang menganggap rememoration sebagai sebuah penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian. Sebagai satu jenis historiografi, rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan "apa yang sesungguhnya terjadi" itu sendiri.
Contoh penulisan sejarah dengan sebagai rememoration semacam ini antara lain pernah dilakukan oleh para kontributor The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990), buku yang kemudian disunting oleh Robert Cribb. Buku ini, demikian ungkap Budiawan (2003), layak disebut sebagai satu bentuk rememoration sekurang-kurangnya karena tiga hal.
Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan Bali, apa pun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih dari tiga dasawarsa.
Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu, The Indonesian Killings mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang menyusul Gerakan 30 September 1965 bukan sekadar pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah "Kesaktian Pancasila" menjadi simbol dari keterputusan sejarah yang dramatis.
Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan "apa yang terjadi di seputar 30 September 1965" dan masa-masa sesudahnya, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai "penyelamat negara dan bangsa" dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap keblinger atau mereka yang dituduh komunis. Wacana populer semacam ini turut membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai "pengkhianat" sekalipun.
Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai sebuah rememoration masih kurang mendapat perhatian, baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri yang konsen dengan persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Lebih-lebih, masih ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan mengakui kebenaran sejarah masa lalu baik karena gengsi kekuasaan maupun karena merasa kepentingannya terancam. Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu. Mereka telah menjadi "sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).
Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa lalu. Dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu, baik pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa kekerasan tersebut. Bagi pelaku, mengingat penderitaan korban di masa lalu merupakan tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar kejahatan serupa tidak terulang lagi. Lebih dari itu, ingatan akan penderitaan korban ini pun harus disampaikan kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kemungkinan munculnya korban-korban potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan dan kekerasan yang sama.
Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat menjadi referensi untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas penderitaan yang selama ini ditanggungnya. Dengan demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang berlaku harus ditetapkan dilaksanakan agar para korban mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.
Tiga pendekatan
Paul Ricoeur mengusulkan tiga macam pendekatan terhadap ingatan sosial agar kita bisa sampai pada persoalan etika ingatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan patologis-terapetik, pendekatan pragmatik, dan pendekatan etis-politis.
Pendekatan patologis-terapetik menuntut adanya perhatian yang serius karena di sinilah penyalahgunaan-penyalahgunaan ingatan yang sering terjadi diakarkan pada sesuatu yang kita sebut luka-luka dan goresan-goresan ingatan. Dalam hal ini kita memiliki contoh yang baik berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini: pada tempat tertentu kita dapat mengatakan bahwa kita terlalu banyak mengingat, sementara di tempat lain kita tidak cukup dapat mengingat peristiwa tertentu, biasanya karena disengaja. Demikian juga, kadang kita tidak cukup dapat melupakan sesuatu, tetapi di saat lain kita terlalu banyak melupakannya.
Ada dua esai pendek yang ditulis Sigmund Freud, Remembering, Repetition, and Working Through (Durcharbeiten), yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan Metapsychology (1914) dan dapat digunakan mendukung pendekatan pertama ini. Titik tolak esai ini adalah sebuah insiden atau kecelakaan dalam kemajuan pengobatan psikoanalitik, ketika pasien terus-menerus mengulangi pelbagai simtom, untuk mendapatkan kemajuan menuju pengingatan-kembali, atau menuju rekonstruksi tentang masa lalu yang dapat diterima dan dapat dipahami. Oleh karenanya, pendekatan pertama ini terkait dengan persoalan resistensi dan represi dalam psikoanalisis.
Adalah menarik bahwa pada permulaan esai tersebut Freud mengatakan bahwa pasien mengulang alih-alih mengingat. Karenanya, repetisi merupakan kendala untuk mengingat. Pada tahap yang sama dalam esai tersebut, Freud mengatakan bahwa baik dokter maupun pasien harus memiliki kesabaran: mereka harus bersabar dalam kaitannya dengan simtom-simtom tersebut, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk didamaikan dengan kemustahilan untuk langsung menuju pada kebenaran-jika memang ada kebenaran yang terkait dengan masa lalu itu. Lebih dari itu, pasien juga harus menerima penyakitnya agar dapat mengantisipasi saat ketika dirinya dapat didamaikan dengan masa lalunya sendiri. Jalan menuju rekonsiliasi dengan diri sendiri inilah yang justru merupakan sesuatu yang disebut oleh Freud sebagai "working through" (Durcharbeiten). Dalam esai ini pula Freud memperkenalkan istilah penting "memory as work" (Erinnerungarbite).
Esai kedua adalah Mourning and Melancholia. Dalam esai ini Freud berjuang membedakan dukacita (mourning) dari melankolia (melancholia). Melalui esai ini dia juga berbicara tentang "kerja" dukacita. Oleh karenanya, Paul Ricoeur berusaha menggabungkan kedua ekspresi ini-work of memory dan work of mourning-mengingat kerja ingatan merupakan sejenis dukacita, dan dukacita merupakan ujian yang menyakitkan dalam memori.
Dukacita merupakan sebuah rekonsiliasi dengan hilangnya sebagian obyek- obyek cinta; obyek-obyek cinta yang mungkin berupa pribadi, tetapi juga dapat berupa abstraksi-abstraksi semisal tanah air dan kebebasan-cita-cita dalam segala bentuknya. Yang dipertahankan dalam dukacita dan hilang dalam melankolia adalah harga diri. Inilah sebabnya dalam melankolia terdapat keputusasaan dan kerinduan untuk didamaikan dengan obyek tercinta yang telah hilang tanpa ada harapan akan rekonsiliasi.
Pada tahap ini, dukacita melindungi kita dari tren menuju melankolia ketika terdapat sesuatu yang dia sebut "interiorisasi obyek cinta", yang menjadi bagian dari jiwa. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal karena kita harus menyadari, langkah demi langkah, tingkat demi tingkat, pelbagai tatanan yang didiktekan oleh realitas. Ia adalah prinsip realitas melawan prinsip kesenangan. Dengan demikian, melankolia dapat menjadi pendakuan permanen atas prinsip kesenangan.
Dalam konteks politik, ketika kita masih terlalu banyak mengingat peristiwa tertentu dan kurang mengingat peristiwa yang lain menunjukkan bahwa kita masih berada pada sisi yang sama, kita masih berada pada sisi repetisi dan melankolia. Adalah luka-luka dan goresan- goresan sejarah yang diulang-ulang dalam kondisi melankolia. Oleh karenanya, dukacita dan "working through" harus dilaksanakan bersama dalam perjuangan mencapai akseptibilitas ingatan: ingatan tidak hanya harus dapat dipahami, tetapi juga harus dapat diterima. Dan akseptibilitas inilah yang dipertaruhkan dalam kerja ingatan dan dukacita. Keduanya merupakan tipe-tipe rekonsiliasi.
Dari sini kemudian kita dapat bergerak menuju pendekatan kedua di mana pelbagai penyalahgunaan ingatan lebih mencolok. Pendekatan ini disebut "pragmatik" karena di sinilah kita memiliki praksis ingatan. Ingatan sering tunduk pada penyalahgunaan karena ingatan memiliki banyak hubungan dengan persoalan identitas. Kenyataannya, pelbagai penyakit ingatan pada dasarnya merupakan penyakit-penyakit identitas. Ini disebabkan karena identitas, baik personal maupun kolektif, selalu sekadar dianggap, didakukan, didakukan-ulang; dan karena pertanyaan yang ada di balik problematika identitas adalah "siapakah saya (who am I)?" kita cenderung memberikan jawaban berkaitan dengan apakah kita (what we are). Kita berusaha memenuhi atau menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan siapa dengan jawaban-jawaban apa. Jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini sangat tidak tepat, rapuh, dan rawan terhadap penyalahgunaan ingatan.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini tidak tepat dan rapuh. Pertama, kita harus menghadapi kesulitan mempertahankan identitas sepanjang masa. Inilah pendekatan yang, antara lain, dikembangkan oleh Paul Ricoeur dalam Time and Narrative (1988), tetapi dari sudut pandang narasi, bukan sudut pandang ingatan. Jadi, persoalan pertama muncul-bagaimana mempertahankan identitas sepanjang masa-adalah persoalan yang dimunculkan baik melalui narasi maupun memori. Mengapa? Karena kita selalu terombang-ambing di antara dua model identitas.
Analisis terhadap dua model identitas ini kemudian dilakukan oleh Ricoeur dalam Oneself as Another (1992) dengan mengintroduksi dua istilah Latin: idem identity dan ipse identity. Idem identity mengonotasikan kesamaan; kesamaan merupakan pendakuan untuk tidak berubah dengan mengabaikan perjalanan waktu dan dengan mengabaikan perubahan dari pelbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita. Yang kita sebut "karakter" kita merupakan contoh yang mungkin dari tipe identitas ini atau level kesamaan ini. Namun, dalam kehidupan personal, kita membutuhkan sejenis fleksibilitas, atau semacam identitas ganda, model yang bagi kita dapat menjadi janji, yakni kemampuan menepati janji. Ini tidak sama dengan tetap tidak fleksibel atau tidak berubah sepanjang masa. Sebaliknya, ia merupakan cara menghadapi perubahan, bukan menyangkalnya. Inilah yang disebut ipse identity. Kesulitan untuk mampu menghadapi pelbagai perubahan sepanjang masa merupakan satu alasan mengapa identitas menjadi demikian rapuh.
Kedua, kita berhadapan dengan persoalan the other. Kelainan (otherness), pertama-tama dijumpai sebagai ancaman terhadap diri kita. Adalah benar bahwa kita pada umumnya merasa terancam dengan fakta bahwa ada orang lain yang hidup menurut standar-standar kehidupan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan standar kehidupan kita. Kecenderungan untuk menolak, menyingkirkan, merupakan respons terhadap ancaman yang datang dari the other ini.
Lebih dari itu, ada komponen lain yang menjelaskan kesulitan mempertahankan identitas kita sepanjang masa, dan mempertahankan kedirian kita dalam berhadapan dengan the other, yaitu kekerasan yang merupakan komponen permanen dalam hubungan dan interaksi manusia. Bahkan, sebagian besar peristiwa yang berkaitan dengan pendirian sebuah komunitas adalah tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi, dapat dikatakan bahwa identitas kolektif berakar dalam pelbagai peristiwa pendirian yang merupakan peristiwa-peristiwa kekerasan.
Dari sinilah kemudian terletak arti pentingnya pendekatan ketiga, yaitu kewajiban mengingat. Pendekatan ketiga ini sudah memasuki wilayah etika politik karena ia berhadapan dengan konstruksi masa depan: yaitu kewajiban mengingat bukan saja dengan memiliki perhatian mendalam terhadap masa lalu, tetapi mentransmisikan makna dari peristiwa-peristiwa masa lalu kepada generasi mendatang. Kewajiban mengingat erat kaitannya dengan masa depan: ia merupakan imperatif yang diarahkan pada masa depan, yang merupakan sisi sebaliknya dari karakter traumatik dari pelbagai penghinaan dan luka sejarah.
Mengapa kita memiliki kewajiban mengingat? Pertama, karena ia merupakan perjuangan melawan erosi jejak-jejak; kita harus menjaga jejak-jejak, jejak-jejak peristiwa, karena terdapat kecenderungan umum untuk menghancurkan jejak-jejak itu. Aristoteles mengatakan bahwa "time destroys more than it constructs." Alasan kedua lebih bersifat etis. Dalam The Human Condition (1958), Hannah Arendt bertanya bagaimana mungkin akan ada kontinuasi tindakan dengan mengabaikan kematian, dengan mengabaikan erosi jejak-jejak. Sebagai jawabannya, Arendt mengusulkan dua syarat bagi apa yang disebutnya sebagai kontinuasi tindakan: pengampunan dan janji. Mengampuni pada dasarnya merupakan pembebasan dari beban masa lalu, sementara janji meneguhkan kemampuan untuk terikat dengan ucapan kita sendiri. Arendt berhujah bahwa hanya umat manusia yang mampu dibebaskan melalui pengampunan dan diikat melalui janji.
Alasan ketiga adalah kewajiban mengingat berarti terus-menerus menghidupkan ingatan tentang penderitaan untuk melawan kecenderungan umum dalam sejarah untuk merayakan para pemenang. Kita dapat mengatakan bahwa seluruh filsafat sejarah, terutama dalam pengertian Hegelian, berkaitan dengan kumulasi keuntungan, kemajuan, dan kemenangan. Semua yang tertinggal di belakang menjadi hilang. Oleh karenanya, kita membutuhkan sejenis sejarah yang paralel tentang victimization, yang akan menjadi counter bagi sejarah keberhasilan dan kemenangan, mengingat korban-korban sejarah-mereka yang menderita, yang terhina, terlupakan- merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua.
Etika politik
Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam konteks ini pembicaraan mengenai ingatan sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di Indonesia. Dari pengalaman ini orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk mengubur ingatan sosial.
Ingatan bukan sekadar bekas goresan, tetapi mengenal kembali bekas-bekas goresan itu. Banyak dari bekas goresan ingatan manusia terhapus dan dilupakan. Ingatan bukan keseluruhan dari masa lalu, tetapi bagian dari masa lalu yang terus hidup dalam diri orang atau kelompok masyarakat yang tunduk pada representasi dan sudut pandang dewasa ini. Maka, mengingat melibatkan usaha untuk memberi makna, upaya memverifikasi hipotesis-hipotesis pengingat, membangun-kembali makna. Karenanya, menghidupkan kembali ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang masih menghantui dan melukai ingatan sosial. Bangsa yang tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan.
Paul Ricoeur mengingatkan akan pentingnya ingatan itu dengan ungkapan sebagai berikut:
We must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened… by remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the victims twice; we also prevent their life stories from becoming banal… and the events from appearing as necessary.
RUSLANI Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/Bentara/1781762.htm
Politik, Neotribalisme, dan Etika Solidaritas
REPUBLIK kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini. Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup, kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno. Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak. Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.
POLITIK sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.
Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela. Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang menyerang kesadaran sosial secara simbolik.
Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit menggerus hak-hak dasar warga negara.
POLITIK yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama, seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling, tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan masing-masing.
Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan. Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.
Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara. Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda
Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat. Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera, novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua. Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati, dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.
Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik (ngambang).
ETIKA solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini. Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling bertautan.
Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan. Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.
Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya, struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.
Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian. Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom, menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan. Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik secara santun.
Donny Gahral Adian Ketua Asosiasi Praktisi Filsafat Indonesia
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/30/opini/457759.htm
Hidup yang Erotik (* Merevitalisasi Kehidupan Modern dengan Semangat Purba)
EROS, erotik, erotisme. Tiga kata ini akarnya sama. Suasananya juga sama: gelora semangat purba yang atraktif dan menggoda. Menjijikkan bagi kaum saleh tapi menggairahkan bagi orang kebanyakan, kotor bagi para pemeluk teguh tapi merangsang bagi warga abangan, najis bagi umat alim tetapi tonikum vital bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat.
Kata Gafni, eros adalah energi vital yang suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan erat secara mendalam. Tegasnya, yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan sama. Maka, hidup yang erotik adalah hidup yang sakral. Bahkan, tanpa eros kesucian kita cuma ecek-ecek, tidak jenuin dari jiwa yang terdalam. Tanpa eros, kesalehan kita pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin. Tanpa eros, tatanan etika kita di semua tingkat: personal-interpersonal, profesional-organisasional, dan sosio-politikal cuma topeng-topeng saja, membebani dan mematikan gairah. Dan kita tahu, tatanan semacam ini akhirnya akan runtuh dari dalam meskipun dari luar terlihat masih utuh.
Hidup tanpa eros sepi dan kosong, yang ditandai dengan rasa resah melelahkan dan rasa bosan menekan. Tekanan ini berasal dari sebuah ruang hampa di hati manusia. Itulah hati yang sunyi-senyap dari gempita eros, yang hampa-kosong dari desah nafas eros. Lalu, untuk menghindari tekanan itu, orang lari ke berbagai kesibukan. Tapi sebenarnya kesibukan itu cuma sebuah laku penghindaran, avoidance–a-void-dance, sebuah tarian di sekitar kehampaan. Meski terlihat sibuk, sesungguhnya aktivitas non-erotik itu adalah sebuah tarian hampa, banal tanpa estetika. Dan untuk memenuhi kehampaan itu orang mencari berbagai jenis gratifikasi seperti pesta narkoba, seks suka-suka, atau kekerasan massal bergemuruh. Namun, lagi-lagi, sebenarnya tak ada pesta, tak ada sukacita. Sebab ternyata, usai acara, semua pemesta kembali ke dunia nestapa.
Gafni memberi metafora. Seekor lebah terperangkap dalam botol. Dari luar, ia tampak menari-nari penuh gairah, dari sisi ke sisi. Ia terbang meliuk-liuk, dari dasar ke puncak. Namun, dari dalam sungguh malang. Sebenarnya tak ada tarian gembira. Tak ada liukan bergairah. Yang ada cuma usaha tanpa harapan. Pelan tapi pasti, sang lebah mati perlahan. Tercekik lunglai kehabisan oksigen. Kata Gafni, begitulah gaya hidup tanpa eros yang dilakoni individu, keluarga, dan organisasi: palsu, menipu, lalu mati pelan-pelan.
Tapi, bagai nabi, Gafni berjanji. Ada gaya hidup baru untuk kita semua: hidup penuh sukacita kaya makna, hidup penuh cinta kaya warna, hidup penuh tari kaya dinamika. Di situ kita dimungkinkan menikmati setiap momen penuh isi. Tak lagi terisolasi, tapi terkoneksi. Tak lagi sepi sendiri, tapi larut berpartisipasi. Sesungguhnya kehidupan ini menawarkan kesembuhan bagi luka-duka-nestapa kita. Maka, jangan pedih lagi sebab tersedia senar bagi getar-getar ekstasi surgawi. Jangan perih lagi sebab terbuka akses bagi arus sukacita ilahi. Jangan sedih lagi sebab ada tarian baru: tarian eros yang penuh gairah dan cinta!
Siapakah Marc Gafni yang piawai berkata-kata indah mencekam ini? Dua buku, Soul Prints dan The Mystery of Love, bagai sepasang roket membubungkan nama Marc Gafni ke angkasa selebriti dalam atmosfer spiritualitas internasional, mirip kibar-kibar nama Aa Gym di Indonesia. Gafni kini tampil sebagai suara baru dalam bentara kerohanian di Israel, Eropa, dan Amerika. Ia memberikan banyak seminar tingkat pascasarjana tentang mistisisme dan spiritualitas di berbagai universitas dunia dan secara rutin di Oxford, Inggris. Gafni tak hanya diakui sebagai guru besar di bidang teks-teks kuno Yudaisme, tetapi juga empu dalam pemahaman dan penjelasan serat-serat hati manusia modern.
Marc Gafni dianggap sealiran dengan guru-guru spiritual dunia seperti Jalaludin Rumi, Scott Peck, dan Thomas More. Ciri utama mereka bukan fundamentalis bukan pula New Ager, tapi lebih bersifat ekumenis. Artinya, mereka berakar kuat dalam tradisi agama masing-masing, tapi cerdas menyapa jiwa umat dari berbagai agama lain. Mereka adalah peziarah lintas batas sehingga mampu berbahasa universal: bahasa hati dan cinta. Tak harus jadi Muslim untuk dicerahkan oleh Rumi. Tak harus jadi Protestan atau Katolik untuk dicerahkan oleh Peck atau More. Dan, tak harus jadi Yahudi untuk dicerahkan oleh Gafni. Membaca buku-buku mereka, kita merasa terterangi oleh filsuf cerdas yang bijak bestari.
Lahir dan besar di Massachusetts, Amerika Serikat, Rabbi Gafni memiliki gelar tertinggi di bidang filsafat. Gafni juga seorang pembicara inspirasional sehingga ruang-ruang kuliahnya selalu penuh. Bahasanya menggugah nurani. Intelektualitasnya kelas tinggi, tapi berbudi sangat pekerti. Ia sangat menguasai konsep-konsep biblikal yang diuraikannya dengan indah dan segar sehingga mampu menggerakkan hati sidang pendengarnya dari berbagai usia dan latar belakang. Orang disadarkan bahwa pesan-pesan teks-teks purba tersebut ternyata sangat relevan bagi kehidupan modern.
Pindah ke Israel, Gafni mendirikan Bayit Chadash, sebuah padepokan spiritual yang mendedikasikan diri pada renaisans Yudaisme. Gafni juga mengisi berbagai program dan kolom di televisi dan jurnal yang mengupas tuntas etika dan spiritualitas modern yang menyebarluas ke dalam budaya populer. Gafni juga adalah dekan dari Melitz Beit Midrash, sebuah think-tank yang berwatak pluralistik dan salah satu lembaga pemikiran tertua dan paling prestisius di Israel. Selain menulis empat buku teologi dalam bahasa Ibrani, dia juga mengarang dua buku best-seller berbahasa Inggris seperti disebut di atas. The Mistery of Love, buku sumber bagi tulisan ini, adalah sebuah buku serius tentang filsafat dan teologi, bukan novel tentang kisah cinta kawula muda.
Wajah-wajah eros
Dalam bahasa Ibrani, Eros adalah Shechinah, secara spiritual dipahami dan dialami sebagai Sang Feminin Agung: mother, daughter, and lover. Dialah sang penyayang dan pengasih yang membuat semua ciptaan merasa tenteram, puas, dan lelas. Shechinah berarti kehadiran di dalam, ’dia yang tinggal di dalam diri kita’. Dia merupakan energi ilahi yang tak hanya mengalir melalui kita, tetapi juga mengandung semua kita. Ia memelihara semua makhluk bahkan semua kehidupan dengan penuh kasih sayang, sensualitas, dan erotisme.
Bedanya, dalam konsepsi Yunani, eros berkarakter maskulin. Dikenal sebagai dewa kehidupan, cinta dan seks, Plato menyebutnya love plus. Eros merupakan daya kehidupan yang esensial– menggerakkan benda-benda langit bahkan semua kehidupan–tapi juga berbahaya karena bisa destruktif dan, kalau tak sanggup menjinakkannya, sebaiknya dihindari. Secara spesifik eros berkonotasi seksualitas, fertilitas, dan reproduksi.
Dalam spiritualitas Ibrani, yang erotik tidaklah semata-mata sinonim dari yang seksual, tetapi seluruh ekspresi kegairahan yang berkarakter ilahi dari dalam hati manusia yang dimodelkan oleh seksualitas. Secara umum eros adalah tarikan magnetik yang mengikat seluruh ciptaan dengan saling menghasrati menuju kesatuan yang utuh; pada elektron dan proton sehingga atom tercipta, pada sepasang kekasih sehingga anak terlahir, atau pada hati para mistikus sehingga ekstasi terjadi.
Namun, berabad-abad kemudian, kata erotik cuma berasosiasi dengan seksualitas saja. Yang seksual adalah sebagian dari eros, bagian yang sempit sekali. Penyempitan makna ini, dalam terminologi mistik Ibrani, disebut sebagai eros yang terbuang atau Shechinah dalam pembuangan. Istilah terbuang dan pembuangan diambil dari pengalaman sejarah bangsa Israel kuno yang pernah ditaklukkan dan ditawan Nebukadnezar, raja Babilonia. Bangsa yang terbuang merasakan hidup yang sepi, kosong, dan sesak, sehingga tak dapat berekspresi secara memadai.
Ke mana Shechinah atau eros terbuang? Jawabnya, ke wilayah seksual. Maka, jika seks adalah satu-satunya kegiatan di mana kita bisa erotik, artinya Shechinah berada di pembuangan. Dan jika gairah tinggi hanya bisa kita rasakan sesaat sebelum semburan orgasme, maka hidup kita sebenarnya amat miskin. Eros telah jatuh sebagai sinonim dari seks belaka. Artinya, kita sangat jauh dari gaya hidup erotik sejati.
Sekarang apa jati diri eros yang sejati itu, siapakah dia sesungguhnya? Menurut Gafni ada empat wajah eros.
Pertama, eros berarti berada di dalam. Terlibat secara erotik berarti masuk jauh ke dalam, terlibat total secara mendalam. Pada Bait Suci yang dibangun Salomo, di bagian paling dalam terdapat ruang Ruang Mahakudus. Dalam bahasa Ibrani ruang itu disebut lefnai lefnei ’yang di dalam dari yang di dalam’. Jadi, apa pun yang sungguh-sungguh mendalam atau paling dalam pada hakikatnya adalah suci. Di sini, lawan kata suci bukan cuma najis, tetapi juga dangkal, superfisial, atau permukaan. Dalam kuil kuno itu, adalah seksualitas–yang disimbolkan oleh sepasang kerubim di atas tabut perjanjian dalam postur saling berpelukan–yang menjadi model tentang bagaimana hidup secara erotik. Maka, semua aktivitas di mana kita mampu tenggelam total di dalamnya, dalam artian ini, merupakan aktivitas yang erotik dan kudus.
Eros mulai tereksitasi apabila kita menukik jauh sampai ke dalam, ke inti atau interior dari apa yang kita kerjakan sehingga energi nuklirnya terlepas dan meluluhkan kita bersama dengan aktivitas kita. Pada saat itu saya menyatu total dengan apa yang saya kerjakan. Saya bukan lagi penulis yang bersusah payah menulis tetapi telah lenyap menyatu dengan kegiatan menulis. Maka, saya adalah tulisan saya, dan tulisan saya adalah saya. Meminjam Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters, An Overview of the New Physics, saya menari dengan eros!
Menari dengan eros berarti hidup dan mencintai secara erotik pada semua wilayah kehidupan kita. Itulah artinya hidup suci. Sebagaimana suci tak seharusnya dibatasi oleh keempat dinding rumah ibadah, maka eros juga seharusnya tidak boleh dibatasi oleh kelambu bilik tidur. Eros mestinya tampil utuh sebagaimana adanya, sebagaimana seharusnya. Itu berarti menikmati keunikan yang istimewa dari seorang teman, mencium seluruh aroma rumput dan bunga-bungaan, merasakan semua sensasi semilir angin, menikmati dahsyatnya rasa rindu yang mencekam, dan merasakan seluruh getaran jiwa bersama segenap wajah kehidupan. Itu berarti menikmati gulung-gemulungnya ombak cinta yang susul-menyusul bersama gelombang ekstasi yang meluluhkan tembok-tembok kemarahan, kesepian, dan ketakutan kita. Sungguh, eros adalah sumber kenikmatan tertinggi. Kenikmatan yang suci.
Kedua, eros berarti hadir sepenuhnya. Hadir berarti tampil penuh konsentrasi dalam sebuah percakapan atau kegiatan sehingga kita mampu memetik sukacita dan martabat darinya. Kita merasa penuh, tak lagi kosong. Dengan hadir, kita mampu melihat keunikan, kompleksitas, dan kekayaan satu sama lain, serta keagungan ultimatnya.
Hadir juga berarti menunggu pemunculan. Shechinah sudah menunggu kita. Eros berada di rumah, menanti kita agar segera masuk, menemuinya, dan menatap wajahnya dengan rasa takjub sepuas hati. Pada saat itulah kita merasa sampai di posisi dan kondisi yang kita harapkan. Jadi, eros adalah state of feeling di mana kita tak ingin lagi ke mana-mana karena sadar bahwa kita sudah di sana. Lawan dari eros ialah keterasingan, sebuah perasaan bahwa kita orang luar, tamu tak dinanti, orang yang tak diharapkan. Dalam kondisi erotik, kita menikmati kesalingterhubungan yang utuh-teguh yang mengakar tuntas dalam jaring-jaring kehidupan. Eros menyediakan ruang makna. Itulah kerja yang memuaskan, relasi yang menyukakan, kehidupan sosial yang menggairahkan, aktivitas yang membahagiakan. Kelaparan, keserakahan, korupsi, peperangan, serta berbagai bentuk kekerasan pada Bumi dan sesama, semuanya adalah buah dari tiadanya eros.
Eros adalah kemampuan mengakses keabadian yang terkandung pada sebuah momen. Itu berarti menikmati ketidakterbatasan total dari setiap momen yang mengalir. Maka, yang erotik dan yang kudus hadir penuh di saat kini, dalam waktu yang serasa berhenti, saat semua momen-masa-lalu dan momen-masa-depan menyatu lebur dalam sebuah kekekalan subyektif.
Ketiga, eros adalah hasrat atau keinginan. Dalam Yudaisme, hasrat, keinginan, dan kerinduan adalah ihwal yang suci. Eros adalah hasrat menjadi, memperoleh, dan menikmati. Karena merindulah, maka kita ada dan terus mengada. Karena mendambalah, maka kita menjadi dan terus menjadi. Selama di luar kita terpaksa mengabaikan dan memadamkan hasrat hati kita. Namun, saat di dalam, saat kita hadir sepenuhnya, maka kita dapat meraih semua yang kita dambakan dan impikan. Jadi, dalam kerinduanlah terdapat keajaiban eros. Itulah senar-senar hati yang terus bergetar sensasional karena dirangsang oleh apa yang kita hasrati sepenuh rindu. Diputus dari eros yang merindu berarti dibiarkan mati sendiri dalam kerontangnya gurun sepi yang tak kenal belas kasihan.
Depresi terburuk ialah depresi keinginan, yakni matinya hasrat. Dalam kondisi ini, kita tak menginginkan apa pun lagi, tak mau ke mana pun lagi, tak sudi bertemu siapa pun lagi, dan tak berselera makan apa pun lagi. Ketika hasrat yang autentik sudah tak ada lagi, maka itulah apatisme sejati. Orang demikian sedang menuju mati.
Keempat, eros ialah kesalingterhubungan dengan semua kehidupan. Rindu, keinginan dan hasrat selalu membisikkan bahwa kita saling terhubung. Kata religi (agama) berasal dari bahasa Latin, ligare, artinya hubungan. Tujuan religi dengan demikian ialah menghubungkan kembali semua kita. Niat agama ialah membawa kita ke ruang paling dalam di mana kita saling berhadap-hadapan, bertatapan muka, dan dengan begitu mengalami interkonektivitas batin dengan semua wajah realitas. Maka, memutus hubungan dengan eros adalah sebuah dosa. Dosa di sini adalah separasi dan isolasi, yaitu keterpisahan dari sumber kehidupan dan semua wajahnya. Dosa berarti keadaan yang tragis. Tak hanya bahwa kita kehilangan sumber sukacita terbesar, tetapi sekaligus memutuskan jejaring relasional kita dengan yang ilahi yang tanpanya seluruh tatanan kehidupan ini akan runtuh.
Gafni menyebut ajaran baru tentang eros ini sebagai tantra Ibrani. Dalam bahasa Sanskerta, salah satu makna kata tantra ialah memperluas. Jadi tantra Ibrani berarti memperluas dimensi eros, melampaui yang seksual, ke semua wilayah nonseksual kehidupan ini. Tegasnya, tantra Ibrani adalah sebuah cara menggunakan energi erotik untuk manunggal dalam cinta dengan yang arus ilahi yang setiap saat mengalir ke dalam dan melalui kita. Esensi ajaran ini ialah mentransformasikan seksualitas menjadi tuntunan penuh kasih sayang menuju kepenuhan, kesukaan dan kebahagiaan integral. Eros!
Eros dan imajinasi
Satu kualitas inti dari eros ialah imajinasi. Keistimewaan imajinasi terletak pada kemampuannya memberi bentuk pada kebenaran-kebenaran tinggi yang berasal dari realitas ilahi. Bahasa dan rasio tak memadai melakukannya. Namun, imajinasi mampu. Dan bagaikan nabi, imajinasi akan membawa pesan-pesan ilahi, berbicara, dan bernubuat kepada dan melalui kita. Dengan imajinasi yang erotik, kita dimampukan mengakses hikmat dan pimpinan Tuhan yang sangat kita perlukan dalam menavigasi kehidupan ke depan. Namun, mengapa kita begitu lemah mengimajinasikan Tuhan? Jawabnya, karena Shechinah berada di pembuangan. Erotisme berimajinasi sudah terbuang ke wilayah seksual. Orang umumnya mudah berfantasi seksual, tapi sangat sulit berimajinasi di wilayah nonseksual. Artinya, erotisme berfantasi telah impoten pada arena-arena lain kehidupan ini di luar yang seksual.
Kata fantasi berasal dari bahasa Yunani, phantasi, kata kerja yang berarti membuat tampak, menampilkan. Bagi orang Yunani kuno, berfantasi tak ada kaitannya dengan seks. Berfantasi artinya membuat dunia para ilahi tampak melalui imajinasi. Itulah alam spirit. Itulah dunia bentuk murni. Kita hampir tak pernah berfantasi ekonomi, berfantasi sosial, atau berfantasi politik. Namun, berfantasi seksual sering, sepanjang waktu malahan. Seperti eros, fantasi pun telah terbuang ke lembah seksual. Karenanya, kita pun kehilangan kemampuan membuat tampak, membayangkan, mengimajinasikan, dan mengembangkan visi-visi yang agung dan orisinal di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Pemiskinan imajinasi yang erotik adalah terbuangnya Shechinah.
Krisis terbesar bukan ekonomi, politik, bahkan bukan moral. Namun, krisis imajinasi. Orang kepentok pada jalan buntu karena tak mampu mengimajinasikan ulang hidupnya secara berbeda dari apa yang sekarang dijalaninya. Status quo dipegang erat-erat karena takut pada bayang-bayang ketidakpastian. Padahal, prasyarat bagi pertumbuhan ialah kesediaan untuk melepaskan siapa aku sekarang demi meraih siapa aku esok dengan cara membuang hal-hal yang sudah akrab tapi sebenarnya tak lagi berguna. Namun, ini hanya mungkin dilakukan jika kita berani berjalan sampai ke tubir-tubir ketidakpastian.
Kadang ini berarti meninggalkan kampung halaman dan merantau ke negeri orang. Namun, perantauan sejati tak harus berarti perpisahan dramatik dengan rumah dan masa lalu kita. Ia lebih merupakan perantauan imajinasi. Imajinasi adalah perkakas untuk merancang masa depan yang secara radikal berbeda dengan masa lalu dan hari ini.
Hanya dalam fantasi dan reimajinasilah kita dapat mengubah realitas kita. Dari dunia internal inilah kita mengubah dunia eksternal kita. Inti hampir setiap krisis adalah sebuah kegagalan berimajinasi. Tanpa lompatan imajinasi, tak ada kemajuan sejati, dan spirit kehidupan pun bakal mati sesak di bawah naungan tempurungnya yang lusuh dan rapuh.
Eros and etos: lingkaran dan garis
Dalam sejarahnya, terutama di masa lampau, eros purba yang dipraktikkan bangsa-bangsa kafir tampil dalam bentuk ritus-ritus tanpa etika, di mana pada puncak ekstasi ibadah mereka, manusia, terutama anak-anak, dikorbankan di atas mezbah-mezbah para dewa yang diiringi dengan pesta orgial yang dahsyat. Yahwe melalui nabi-nabiNya selalu melarang orang Israel mengikuti ibadah-ibadah demikian. Namun, lebih banyak tak berhasil. Sejak Salomo sampai pada waktu pembuangan ke Babel, pada sebagian besar kurun sejarah itu, mereka terpengaruh dan terjatuh ke dalam ibadah-ibadah kafir yang dicirikan oleh erotisme purba itu. Barulah sejak kembali dari Babel diadakan reformasi keagamaan dan sosial di bawah pimpinan Esra dan Nehemia.
Pertanyaannya, mengapa bangsa yang dilengkapi dengan etika biblikal, yaitu hukum-hukum Taurat, bisa jatuh ke dalam eros yang nonetis? Jawabannya, ketika eros dan etika bertentangan secara superfisial, maka eros selalu menang. Gafni mengibaratkan moralitas eros sebagai lingkaran dan moralitas etika sebagai garis. Dalam lingkaran murni, yaitu eros rendah, terdapat energi purba yang dahsyatnya tak mungkin dilawan justru karena dalam pusaran ekstasi eros tersebut orang mengalami keutuhan yang menyeluruh secara dahsyat. Sebaliknya moralitas garis, yaitu moralitas hukum dan etika, yang sebenarnya bertentangan dengan nature kemanusiaan kita, akan selalu gagal memenuhi tuntutan kontrak-kontraknya.
Jadi, bagaimana sebenarnya hubungan antara eros dan etos? Jawabnya, seperti hubungan dua wajah koin yang sama. Pada analisis terakhir, tatanan etika dan hukum, tanpa eros, akan runtuh berkeping-keping. Kegagalan etika terjadi karena eros tidak menjiwainya. Tegasnya, etika yang tidak berakar teguh pada eros akan runtuh karena, bagaimanapun, bagaikan satelit yang secara abadi di bawah pengaruh gravitasi Bumi, jiwa manusia pun selalu merindu sangat berat pada eros, selamanya.
Namun, jika etika kita pelajari dan dalami secara serius sampai ke level hakikat, maka kita akan bertemu dengan eros yang menyala-nyala dan selanjutnya akan berfungsi menjadi energi dalam penghayatan dan ekspresi etika itu sendiri. Pada saat inilah etika menjadi etos. Etika tidak lagi hanya sekumpulan norma tertulis tetapi sudah menjadi praktik nyata. Etika tak lagi sekadar huruf-huruf yang tertulis di atas kertas, tetapi tertulis di hati kita. Pada saat itu pula etos menjadi ekspresi erotik dari diri ilahi kita. Agar etika bisa dahsyat dan berwibawa, ia harus merupakan pengejawantahan erotik dari diri ilahi kita, bukan berkontradiksi.
Etika akan mati tanpa eros dan eros tidak bisa hidup tanpa etika. Tujuan akhirnya adalah integrasi. Yang erotik dan yang etis, lingkaran dan garis, harus menyatu-padu sebagai ekspresi total kemanusiaan kita dalam lingkungan kehidupan ini. Eros harus diekspansikan ke wilayah etika bahkan ke seluruh wilayah kehidupan kita. Dengan demikian, kita dimungkinkan menciptakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh keadilan yang erotik, kebenaran yang erotik, dan kebajikan yang erotik.
Jansen H Sinamo, Direktur Institut Darma Mahardika, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/06/Bentara/1298903.htm
Tuhan Pasca-Tsunami
Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan mereka.
Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.
Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.
Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.
Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….
Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"
DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.
Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.
Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.
Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.
Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.
Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.
Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.
Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.
Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.
TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.
Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.
Novriantoni Alumnus Universitas al-Azhar Mesir, Aktivis Jaringan Islam Liberal
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/opini/1499211.htm
Spiritualitas "New Age"
SALAH satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.
Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.
Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas baru.
Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).
Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?
Gerakan "New Age"
Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.
Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism..., hasrat spiritual New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of... yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga merambah ke "pendidikan spiritual" dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan beragam variasinya.
Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000, In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience... With no membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.
Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations, berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya.
Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.
Spiritualitas "New Agers"
Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.
Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church. Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, "keselamatan" itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan "pantheisme" begitu fenomenal di kalangan New Age.
Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Milllenium karya Dalai Lama. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.
Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia. Mirip konsep transmigration of the soul dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya.
Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa "hanya ada Satu Realitas yang eksis". Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama).
* Sukidi, Alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat.
Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0006/30/opini/spir04.htm
Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam
ARTIKEL ini menganalisis pemikiran keagamaan tiga intelektual Iran: Sayyid Jamâl al-Dîn al-Afghânî (1838-1897), Ali Sharî’ati (1933-1977), dan Hashem Aghajari (1955-sekarang). Ketiganya dinilai sebagai Muslim Luther atas apresiasi mereka yang tinggi terhadap Martin Luther dan Reformasi Protestan abad ke-16 di Eropa dan seruan mereka atas Protestanisme Islam di Iran. Namun, artikel ini tak bermaksud membandingkan dua reformasi keagamaan di Eropa dan Iran. Ia lebih menganalisis pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari.
Traveling theory Edward Said (1984) dipakai untuk menganalisis gerak sejarah-dinamis gagasan Protestanisme Islam "dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain". Seperti halnya Traveling Theory mengalami revisi ulang, gagasan Protestanisme Islam mengalami modifikasi, penafsiran ulang, dan penyegaran kembali setelah terjadi pengembaraan sebagai tanggapan atas tantangan berbeda-beda.
Afghânî: awal Muslim Luther Iran
Afghânî lahir pada tahun 1838 di Desa Asadabad, dekat Kota Hamadan, Iran, memiliki nama asli Sayyid Jamâl al-Dîn Asadâbâdî. Nama Afghânî hanya dipakai tahun 1869 untuk memikat dan memengaruhi lebih luas kalangan Muslim Sunni. Di dunia Islam, nama Sayyid diindikasikan punya garis keturunan ke Nabi Muhammad. Ayahnya, Sayyid Safdar, memang berasal dari kalangan terhormat Sayyids Shi’ah dan memiliki kedekatan dengan 12 imam Shi’ah, terutama Shaikh Murtazâ Ansârî. Dari ayahnya, ia belajar bahasa Arab, Al Quran, dan fikih, di samping menempuh pendidikan Shi’ah di Qazvin, Teheran.
Masa pembentukan awal di lingkungan Shi’ah membuat Afghânî tertarik pada filsafat Islam, terutama dalam tradisi Ibn Sînâ. Baginya, filsafat Islam adalah jalan menuju rasionalitas dan instrumen pengetahuan untuk mengubah masyarakat dari situasi kejumudan menuju kemajuan. Ia tegaskan "(Filsafat) adalah penyebab pertama aktivitas intelektual manusia... dan argumen terbesar untuk mentransformasi suku bangsa dan masyarakat dari keadaan nomadisme dan kekejaman menuju kebudayaan dan peradaban".
Melalui sentuhan filsafat, Islam dan akal atau ilmu pengetahuan modern bisa berjalan seiring. Tahun 1883, ia menulis artikel Answer to Renan di Journal des Débats (18 Mei 1883) sebagai respons kritis atas pidato Ernest Renan, Islam and Science, di Sorbonne dan publikasinya di Journal des Débats (29 Maret 1883). Afghânî menolak dua hal. Pertama, prasangka negatif Renan bahwa Islam bermusuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, asumsi rasialis Renan bahwa orang Arab bermusuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktanya, ia berargumen, "seseorang tak dapat membantah bahwa melalui (pendidikan) agama-entah itu Muslim, Kristen, entah penganut Pagan-semua bangsa telah bangkit dari barbarisme bergerak menuju peradaban lebih maju.... Di sini saya memohon kepada Tuan Renan tidak memandang agama orang Muslim (Islam) sebagai penyebabnya, tetapi lebih karena ratusan juta manusia yang hidup dalam barbarisme dan ketidaktahuan". Afghânî menilai Islam dan Muslim sebagai dua entitas yang evolutif dan, karenanya, bergerak dari barbarisme menuju peradaban. Inilah yang dapat dilihat melalui kejayaan zaman keemasan Islam klasik: bercirikan peradaban modern, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, kuatnya militer, dan kemakmuran ekonomi.
Itu sebabnya Afghânî menangkis asumsi rasialis Renan: "tak seorang pun dapat membantah bahwa orang Arab, selagi masih dalam kondisi barbarisme, segera berproses menuju tahap intelektual dan kemajuan ilmiah dengan kecepatan yang hanya disejajarkan dengan kecepatan daerah-daerah taklukannya. Hanya dalam tempo satu abad, orang Arab merebut dan mengasimilasi hampir semua ilmu pengetahuan orang Yunani dan Persia yang berkembang lambat-laun selama berabad-abad di tanah asalnya, seperti halnya mereka memperluas dominasi wilayah kekuasaannya dari jazirah Arab, pegunungan Himalaya, sampai ke puncak Pyrene".
Di samping pengaruh filsafat Islam, keyakinan Afghânî terhadap akal juga dipengaruhi penulisan sejarah Francois Guizot (1787-1874). Guizot dikenal sebagai sejarawan Perancis, negarawan dan keturunan keluarga Protestan, yang menyampaikan pidato sejarah peradaban Eropa abad ke-19. Keyakinannya pada akal dan solidaritas sosial sebagai sumber kemajuan Barat menginspirasi Afghânî menafsirkan kembali Islam sebagai keyakinan terhadap akal, kemajuan, dan peradaban ketimbang sejumlah doktrin keagamaan yang dogmatis. Inilah kesimpulan penting Hourani (2002: 114): "Ide Peradaban adalah salah satu yang berpengaruh di Eropa abad ke-19 dan melalui Afghânî, ide itu sampai di dunia Islam. Ide itu disampaikan oleh Guizot dalam pidatonya tentang sejarah peradaban di Eropa. Afghânî telah membaca Guizot dan terpesona olehnya. Karya itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab tahun 1877 dan Afghânî mengilhami muridnya, ’Abduh, menulis artikel sebagai sambutan atas terjemahan sekaligus penjelasan rinci tentang doktrin buku tersebut."
Menurutnya, seruan menafsirkan kembali Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban dapat mengantar pada reformasi Islam model Protestan. Afghânî benar-benar dipengaruhi Guizot yang melihat Reformasi Protestan sebagai faktor menentukan yang mengantar Eropa ke kemajuan dan peradaban modern. Afghânî mengakui: "tak terbantahkan bahwa Guizot... berkata sebagai berikut: salah satu penyebab utama kemajuan peradaban Barat adalah munculnya kelompok yang mengatakan, ’meskipun agama kita Kristen, kita mencari pembuktian atas hal-hal mendasar dalam keyakinan kita’. Para Imam tidak memberi izin dan mereka berkata agama (Kristen) disandarkan pada imitasi. Ketika sebuah kelompok di atas menjadi kuat, gagasan mereka pun menyebar; rasio membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan kemajalan (berpikir) menuju pergerakan dan kemajuan; dan orang-orang berikhtiar meraih berkah peradaban".
Mirip para imam dalam Kristen, Afghânî yakin ulama konservatif menjadi penyebab jatuhnya peradaban Islam selama berabad-abad. Hak memeluk Islam dengan penalaran demonstratif tidak lagi diperkenankan otoritas ulama karena pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Pilihan antara mengikuti otoritas keagamaan atau akal pikiran benar-benar berada dalam gugatannya. Terinspriasi oleh Luther, yang secara terbuka menggugat otoritas imam dalam Gereja, Afghânî mulai menggugat konservatisme ulama. Baginya, reformasi dan kemajuan Islam tak akan pernah terwujud jika ulama tetap memelihara pandangan keislaman yang konservatif. Ia pun berjuang mendobrak konservatisme Islam, stagnasi keagamaan (jumud), dan imitasi buta (taklid), yang ia nilai sebagai musuh Islam yang benar. Afghânî lebih mengimani Islam sebagai agama yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban yang dapat mengantar pada terwujudnya reformasi Islam model Protestan. ’Abd al-Qâdir al-Maghribî, yang mencatat perbincangan Afghânî’ dengan sejumlah murid dan koleganya di Istanbul, Turki (1892-1897), bertanya kepadanya tentang metode yang tepat mencapai kemajuan modern-Barat. Afghânî menjawabnya: "Ini harus melalui gerakan (reformasi) keagamaan... jika kita mempertimbangkan argumen di balik transformasi kondisi Eropa dari barbarisme menuju peradaban, kita melihat bahwasanya hal itu semata-mata dipicu gerakan keagamaan yang dipelopori dan disebarkan oleh (Martin) Luther. Manusia hebat ini-ketika dia melihat bahwasanya orang Eropa mengalami kemerosotan dan kehilangan vitalitas akibat periode lama yang mereka persembahkan kepada pemimpin gereja dan imitasi keagamaan, bukan disandarkan pada penalaran akal yang jelas-memulai gerakan keagamaan (Reformasi Protestan).... Dia (Luther) mengingatkan orang Eropa bahwasanya mereka dilahirkan dalam keadaan bebas dan mengapa mereka menyerahkan diri kepada para tiran.
Karena itu, Afghânî menganggap Luther sebagai pahlawan besar. Dia sering memandang diri sebagai sang Muslim Luther Iran yang terinspirasi Reformasi Protestan sebagai titik tolak reformasi Islam di Iran. Ia lalu berargumen bahwa buah Reformasi Protestan dan kompetisi dinamisnya dengan Katolik telah membawa Eropa menuju reformasi dan kemajuan. Baginya, kemajuan dan reformasi Islam tak mungkin terwujud jika orang Islam tak memetik hikmah dari Reformasi Protestan. Karenanya, Afghânî berargumen Islam memang butuh seorang Luther untuk mewujudkan reformasi Islam model Protestan. Prinsip dasar pun ia jabarkan: (1) mirip seruan Luther untuk kembali kepada Bibel, reformasi Islam model Afghânî juga berupa seruan untuk kembali pada Al Quran sebagai kitab suci progresif; dan (2) seruan membuka kembali pintu ijtihad untuk menemukan kembali spirit Al Quran yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban. Baginya, Al Quran dengan sendirinya rasional dan progresif jika ditafsirkan secara rasional dan progresif. Dan, penafsiran Al Quran yang tepat, demikian Afghânî menambahkan, haruslah bercorak rasional, progresif, filosofis, dan ilmiah sebagai pembacaan alternatif terhadap penafsiran Islam yang statis dan fatalistik di kalangan ulama konservatif.
Ali Sharî'ati: inteligensia progresif dan seruan Protestanisme Islam
Sharî'ati, lahir 3 Desember 1933 di Mazinan, dekat Mashhad, Iran. Dia menempuh pendidikan dasar di Mashhad dan bergelar sarjana dalam bahasa Arab dan Perancis tahun 1958. Ia memenangi beasiswa pemerintah (1959) melanjutkan doktornya pada sosiologi dan sejarah Islam di Sorbonne, Paris. Ia belajar dengan sejumlah orientalis dan marxis: Massignon, Sartre, dan Fanon. Ia terjemahkan What is Poetry? (Sartre), Guerrilla Warfare (Guevara), dan adikarya Fanon, The Wretched of the Earth. Tahun 1963, dia menyelesaikan disertasi tentang Fadâ’il al-Balkh (Les Merites de Balkh). Setiba di Iran, ia langsung ditahan dan dijebloskan enam bulan di penjara atas sangkaan aktivitas politik antipemerintahan Shah di Paris.
Setelah bebas, Sharî'ati pulang kampung di Khurasan dan mengajar di sekolah tingkat atas serta Universitas Mashhad. Reputasinya sebagai dosen segera tersiar luas ketika pindah ke Teheran (1969) dan mulai reguler menyampaikan kuliah umum di Husayniah Irshâd, pusat keislaman progresif prarevolusi Iran. Ia dikenal sebagai orator ulung dan berseru menyatukan kekuatan melawan rezim Shah. Akibat ketakutan berlebihan atas pengaruh politiknya, rezim Iran kembali menjebloskannya ke penjara 18 bulan. Sejarawan Iran, Abrahamian, berargumen ulama dan intelektual konservatif memainkan peran tersembunyi di balik pemberhentian pidatonya karena rezim Iran menyewa intelektual bayaran menuduh Sharî'ati sebagai biang keladi propaganda antiulama dan penganjur marxisme Islam. Fatwa pun dikeluarkan untuk mendiskreditkan reputasi intelektualnya. Para pengikut fanatiknya dilarang menghadiri pidato Sharî'ati atau sekadar membaca bukunya (Rahmena, 1998: 275).
Tekanan publik dan protes internasional berhasil memaksa rezim Shah membebaskannya dari penjara meski tetap dalam tahanan rumah dua tahun (1975-1977) sampai akhirnya ia pergi ke London dan meninggal secara misterius pada 19 Juni 1977. Meski meninggal sebelum revolusi Iran (1978-1979), ia dijuluki sebagai ideolog revolusi. Selama revolusi berlangsung, kebanyakan demonstran di jalan-jalan mengibarkan dua gambar intelektual Iran: Ayatollâh Khomeini dan Ali Sharî’ati. Pidato Sharî’ati pun ditranskrip ke dalam lebih dari 50 pamflet dan buku kecil. Rekaman pidato dan slogan populernya direkam dan disebarkan di Iran dan luar.
Mengikuti seruan Afghânî untuk kembali pada Al Quran, Sharî'ati juga berseru pentingnya kembali pada "Islam yang benar" yang selama ini disalahtafsirkan ulama konservatif sebagai agama statis dan membisu. Ia menyalahkan ulama konservatif karena (1) tidak melanjutkan proyek reformasi Islam yang dirintis Afghânî dan (2) menghamba dalam kepemimpinan politik Shah yang tugasnya memberikan stempel politik-keagamaan demi kelanggengan status quo. Atas dasar itu, ia pertama-tama melakukan distingsi yang ketat antara "Islam yang dipeluk rakyat tertindas" dengan "Islam yang dipeluk ulama konservatif dan penguasa". Ia tegaskan: "Tidaklah cukup sekadar berseru bahwa kita harus kembali kepada Islam. Kita harus merujuk secara spesifik Islam yang mana: Islam Marwan penguasa atau Islam Abu Zarr. Keduanya dipanggil Islam, tetapi terdapat perbedaan tajam antara keduanya. Satunya adalah Islam kekhalifahan, istana, dan penguasa; sementara satunya lagi adalah Islam rakyat, tertindas, dan jelata. Lebih dari itu, tak cukup berkata bahwa seseorang sebaiknya peduli pada orang miskin jelata. Para penguasa yang korup pun berkata serupa. "Islam yang benar" lebih dari sekadar kepedulian dengan menginstruksikan umat untuk berjuang demi keadilan, persamaan, dan pengentasan orang dari kemiskinan (Sharî'ati, Islamology, Lesson 3; Abrahamian, 1982).
Seruan kembali pada "Islam yang benar", menurutnya, harus dinakhodai dan disebarluaskan oleh inteligensia progresif (rûshanfekrân) yang kritis terhadap otoritas keagamaan dan rezim korup. Sharî’ati menganggap rûshanfekrân sebagai pendukung gagasan Protestanisme Islam yang revolusioner. Ia pun terbuka memuji Afghânî bersama ’Abduh (Mesir, 1849-1905) dan Iqbal (India, 1877-1938) sebagai inteligensia progresif yang menyelaraskan reformasi Islam dengan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan peradaban modern Eropa. Harapannya pada inteligensia progresif adalah dapat memainkan peran keagamaan serupa seperti diperankan Luther dan Calvin dalam rangka mentransformasikan roda kepemimpinan dari otoritas ulama konservatif ke pundak inteligensia progresif. Dalam Mission of a Free Thinker, ia tegaskan: "Apa yang sesungguhnya penting buat kita saat ini adalah etos kerja Luther dan Calvin karena mereka mentransformasikan etika Katolik- yang telah memenjarakan Eropa dalam tradisi selama berabad-abad-ke arah gerak dinamis dan kekuatan kreatif. Misalnya, Max Weber mendiskusikan hubungan antara kapitalisme dan etika Protestan. Weber berargumen negara-negara yang dominan Katolik, seperti Spanyol, Perancis, dan Italia, kurang progresif dibandingkan dengan Inggris, Jerman, dan Amerika yang dominan Protestan. Karena itu, Weber berargumen terdapat keterkaitan langsung antara etika Protestan dan kapitalisme."
Dalam pidatonya di Universitas Teknik Teheran, November 1971, Sharî’ati mulai terbuka menyerukan pentingnya Protestanisme Islam: "Seperti halnya Kristen Protestan abad pertengahan, inteligensia progresif sebaiknya mulai (reformasi Islam) dengan Protestanisme Islam yang: (1) menghancurkan faktor degeneratif yang, atas nama Islam, telah melumpuhkan proses berpikir dan nasib masyarakat dan (2) memberi sumbangsih bagi pemikiran dan pergerakan baru." Seruan Protestanisme Islam telah menjadi pernyataan terbuka dan lebih jelas ketimbang apa yang dirintis Afghânî. Dengan Protestanisme Islam, inteligensia progresif dapat: (1) menjembatani meningkatnya kesenjangan antara elite-intelektual dan massa; (2) menyelamatkan masyarakat Iran dari intervensi politik-keagamaan destruktif yang dipraktikkan rezim Shah dan ulama konservatif; (3) berjuang melawan takhayul, taklid, dan kepatuhan buta yang menjadi penanda utama Islam populer; dan (4) mempromosikan spirit nalar berpikir rasional dan independen yang dapat mentransformasikan masyarakat Iran ke arah tipikal manusia rasional, independen, dan revolusioner.
Hashem Aghajari: Muadzin Protestanisme Islam
Aghajari, berusia 49 tahun, terkenal sebagai jurnalis, dosen sejarah Universitas Hamedan, dan aktivis sosial sayap reformis di Islamic Revolution’s Mujâhidîn Organization (IRMO). Ia tiba-tiba jadi selebriti intelektual setelah berpidato terbuka: Seruan atas Protestanisme Islam (Juni 2002) sebagai kado peringatan 25 tahun wafatnya Sharî’ati. Ia dikenal pendukung setia Sharî’ati dan penerjemah gagasannya. "Sekarang ini," demikian pidatonya, "Kita butuh Protestanisme Islam yang telah diperjuangkan Sharî'ati." Ia "meminjam secara kreatif" gagasan Protestanisme Islam Sharî’ati untuk melancarkan kritiknya terhadap kaum ulama dan monopolinya atas penafsiran Islam. Aghajari berargumen, mirip yang terjadi dengan hierarki gereja dan otoritas imam dalam Kristen abad Pertengahan pra-Reformasi Protestan, struktur keagamaan dan kehidupan keislaman di Iran telah jadi sedemikian hierarkis dan birokratis. Seperti halnya Reformasi Protestan bermaksud menyelamatkan Kristen dari cengkeraman para imam dan hierarki Gereja, seruan Protestanisme Islam dimaksudkan untuk membebaskan Islam dan Muslim Iran dari cengkeraman politik-keagamaan kaum ulama.
Aghajari segera ditahan pada Agustus 2002 dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Hamedan, 6 November, atas sangkaan penghinaan terhadap para ulama Shi’ah dan pejabat tinggi rezim berkuasa Iran meski akhirnya ia terbebaskan dari dakwaan itu. Terinspirasi oleh peran Luther yang mendeligitimasi terpusatnya otoritas imam gereja, seruan Protestanisme Islam menjadikan ulama dalam kekuasaan sebagai sasaran kritiknya. Ia sadar tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Namun, model hierarki keagamaan di Iran sudah mirip dengan hierarki gereja dalam Kristen abad pertengahan pra-Reformasi Protestan. Sekarang ini, lanjutnya, hierarki ulama Shi’ah Iran lebih dekat menyerupai Katolik ketimbang Islam yang tidak mengenal sistem kependetaan. Para ulama terlampau mencampuri urusan personal umatnya dengan bertindak sebagai mediator. Aghajari memberikan terapi kejut dengan mengatakan: "tidak ada mediator antara seorang Muslim dan Tuhan dalam hal beribadah kepada-Nya dan memahami Kitab Suci-Nya. Mengikuti jejak Luther tentang imamat am orang percaya, ia berargumen bahwa setiap Muslim menjadi imam bagi dirinya sendiri. Keselamatan pun sepenuhnya ditentukan sendiri: melalui kejernihan pikiran-dan ketulusan hati-nya ke hadirat Tuhan.
Mengikuti jejak Luther tentang pentingnya umat Kristen mengakses langsung Bibel, Aghajari berseru agar Muslim diberi jaminan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya dalam mengakses Al Quran, tidak seperti ororitarianisme Mullah yang melarang Muslim mengakses Al Quran melalui metodenya sendiri. Metode apa pun terbuka bagi Muslim, melalui pintu ijtihad, sehingga Muslim Iran terlatih berpikir rasional dan independen. Dalam pidatonya, Aghajari melancarkan kritik tajamnya: "Selama bertahun-tahun generasi muda takut membuka Al Quran. Mereka bilang, ’kita harus pergi dan bertanya kepada Mullah tentang yang Al Quran katakan...’. Generasi muda pun tak diperkenankan mendekati Al Quran; (Generasi muda) diberi tahu bahwasanya (pertama-tama) mereka membutuhkan (latihan dalam) 101 metode berpikir dan mereka tidak memilikinya. Konsekuensinya, (generasi muda) takut membaca Al Quran. Kemudian datanglah Shari’ati dan bercerita kepada generasi muda bahwasanya ide seperti itu sudah bangkrut; (ia berkata) kamu dapat memahami Al Quran dengan metodenya sendiri...."
Mengikuti jejak pikiran Sharî’ati, ajakan penafsiran Al Quran secara rasional dan independen ditujukan untuk mendeligitimasi otoritas tunggal dan hierarkis ulama Shi’ah. Muslim Iran harus diberikan hak yang setara dengan ulama dalam mengakses dan menafsirkan Al Quran. Tak ada keistimewaan apalagi status kesakralan di kalangan ulama. Aghajari (2002: 2) meluruskan kekeliruan asumsi teologis yang melihat ulama sebagai komunitas sakral. Baginya, mereka bukanlah manusia sakral dan, karenanya, kita tak akan pernah memberi status demikian. Faktanya, mereka memainkan kekuasaan politik-keagamaan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Aghajari memuji Sharî’ati sebagai reformis yang begitu tajam mengkritik para Imam Iran: "Kamu bukanlah para imam, bukan pula para nabi; (kamu) tidak bisa menganggap orang-orang sebagai makhluk setengah manusia." Puluhan tahun para ulama dan rezim berkuasa Iran mengabaikan prinsip dasar hak-hak asasi manusia dan membelah rakyatnya menjadi the insiders dan the outsiders, lantas memberangus the outsiders. "Inikah logika keislaman? Ketika tak ada penghormatan terhadap manusia?" gugatnya. Ia memandang manusia sebagai subjek yang rasional, humanis, dan independen sesuai dengan semangat utama seruan Protestanisme Islam.
Pengembaraan gagasan Protestanisme Islam
Seperti halnya orang-orang dan mazhab kritis, ide-ide dan teori-teori juga mengembara- dari orang ke orang, situasi ke situasi, dan dari satu periode ke periode lain. Kultur dan kehidupan intelektual biasanya dipelihara dan sering kali dipertahankan melalui sirkulasi ide-ide dan entah itu terwujud dalam bentuk pengakuan, pengaruh tak sadar, peminjaman kreatif, atau penyesuaian secara keseluruhan pergerakan ide-ide dan teori-teori dari satu tempat ke tempat yang lain adalah fakta kehidupan dan memungkinkan aktivitas intelektual yang bermanfaat. (Edward Said, 1984:226)
Menganalisis pemikiran ketiga Muslim Luther Iran dan seruannya atas Protestanisme Islam dapat ditarik sejumlah temuan menarik.
Pertama, gagasan Protestanisme Islam terbukti mengembara dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari. Terdapat apa yang dirumuskan Said sebagai a point of origin, di mana suatu gagasan lahir atau memasuki ruang diskursus. Di sini a point of origin ditemukan pada pemikiran keagamaan Afghânî. Tentunya ia belumlah menyerukan gagasan Protestanisme Islam secara eksplisit. Namun, ia dikenal sebagai reformis Muslim Iran yang menaruh apresiasi dan kekaguman tinggi terhadap Luther dan kesuksesan Reformasi Protestan. Memandang Luther sebagai pahlawan besarnya, Afghânî kemudian melihat dirinya sebagai sang Muslim Luther Iran yang memetik buah Reformasi Protestan sebagai model reformasi Islam. Ide bahwa "Islam butuh sang Luther", menurut Hourani, adalah "tema favorit Afghânî dan barangkali dia memandang dirinya sendiri dalam peran serupa". Dengan alasan itu, "reformasi Islam model Protestan" yang dirintisnya dapat diletakkan sebagai a point of origin yang pada gilirannya memasuki ruang diskursus akhir abad ke-19. Terbukti, Afghânî menghabiskan waktu di Istanbul dalam diskursus liat dengan murid dan koleganya seputar Martin Luther, Reformasi Protestan, Akal dan Kemajuan, Peradaban Barat, dan Reformasi Islam model Protestan di Iran.
Gagasan Protestanisme Islam lalu mengembara dari Afghânî menuju Sharî’ati. Sejumlah pidato umum dan tulisannya memperlihatkan Sharî’ati mengikuti jejak Afghânî tentang "Reformasi Islam model Protestan". Misalnya, dalam pidato umum di Husayniah Irshâd pada 1970-an ia terbuka memuji Afghânî sebagai inteligensia progresif yang telah memunculkan dan menyebarluaskan "Reformasi Islam model Protestan". Ia juga terbuka dan eksplisit menyebut pentingnya Protestanisme Islam sambil memberi napas pemikiran dan gerakan baru terhadap gagasannya sehingga lebih revolusioner berhadapan dengan kekuasaan otoriter Shah.
Akhirnya, gagasan Protestanisme Islam mengembara dari Sharî’ati menuju Aghajari. Ia memang sepenuhnya berada di bawah "pengaruh sadar" Sharî’ati. Dalam pidatonya, Aghajari menyebut Sharî’ati dan mengutip secara kreatif gagasannya lebih dari 10 kali untuk mengartikulasikan versinya sendiri tentang pentingnya Protestanisme Islam di Iran. Ia persis melakukan apa yang dirumuskan Said (1984) sebagai "peminjaman kreatif" dalam memodifikasi dan menyegarkan kembali gagasan Protestanisme Islam. Dibandingkan dengan Afghâni dan Sharî’ati, Aghajari relatif berhasil membuat gagasan Protestanisme Islam jadi diskursus publik lintas nasional yang populer. Perhatian sejumlah intelektual terkemuka, dalam maupun luar Iran, benar-benar tersedot. Di Amerika, misalnya, intelektual dan kolumnis prolifik, Thomas Friedman, harus menulis kolom khusus di koran terkemuka The New York Times (4/12/2004) tentang Aghajari: "Yang terjadi di Iran," tulis Friedman, "…adalah bentuk kombinasi antara Martin Luther dan Tiananmen Square", yang menyerukan Protestanisme Islam.
Kedua, pengembaraan gagasan Protestanisme Islam dari Afghânî, Sharî’ati, ke Aghajari tidaklah terjadi dalam konteks kevakuman sejarah. Sebuah gagasan mengembara, meminjam rumusan Said (1984), sebagai respons terhadap perubahan sosial dan sejarah yang spesifik. Ketiga Muslim Luther Iran itu hidup dalam kurun berbeda dengan tantangan berbeda pula. Afghâni hidup dalam suatu masa ketika negara Eropa mencapai puncak dominasi kolonialismenya di dunia Islam. Gagasan reformasinya lahir dan berkembang sebagai respons spesifik terhadap tantangan ganda: memperkuat dunia Islam sekaligus menaklukkan imperialisme. Satu sisi dia menyerukan pentingnya persatuan dunia Islam dan gagasannya diarahkan demi kemajuan umat Islam di dunia modern. Namun, di sisi lain, gagasannya juga dipakai sebagai senjata keagamaan-politik melawan kekuasaan kolonial dan imperialisme. Selama di Paris, ia bersama murid liberalnya, Abduh, menerbitkan jurnal Pan-Islam terkemuka, al-’Urwa al-Wuthqâ, sebagai respons terhadap dan bentuk perjuangan intelektual yang canggih melawan kebijakan imperialisme Inggris di Mesir, India, dan Sudan.
Berbeda dengan Afghâni, seruan Protestanisme Islam Sharî’ati lebih diarahkan sebagai respons spesifik terhadap meningkatnya proses internalisasi kolonialisme dalam diri dan kepemimpinan rezim Shah. Dikenang sebagai ideolog revolusi, ia berhasil membangunkan kesadaran kritis di hampir semua lapisan untuk bersatu padu melawan rezim Shah. Meskipun dia punya banyak kesamaan dengan Afghâni dalam hal mengimani Islam sebagai sumber kemajuan dan peradaban, Sharî’ati tampak lebih revolusioner. Ini kemungkinan besar dipengaruhi sosiologi marxisme, teori dunia ketiga Fanon, dan pengajaran Islam atas martir Shi’ah Iran periode awal.
Ternyata, silih bergantinya rezim baru Iran pascarevolusi (1978-1979) sampai terpilihnya Presiden Khatami untuk kali kedua tidaklah mengantarkan era baru: dari revolusi menuju secercah reformasi dan berbalik ke era kegelapan kembali. Pidato kontroversial Aghajari tentang seruan Protestanisme Islam adalah sebagai respons terhadap kecenderungan meningkatnya otoritarianisme, baik di kalangan ulama maupun rezim Khatami. Masuknya ulama dalam kekuasaan menjadi distingsi jelas antara tantangan yang dihadapi Sharî’ati dan Aghajari. Dalam pidatonya ia menegaskan "beda antara zaman kita dengan Sharî’ati adalah bahwasanya keulamaan tidak memiliki kekuasaan. Sekarang Islam berada di kekuasaan, ulama berada di pemerintahan. Itu sebabnya Protestanisme Islam jadi lebih penting saat ini". Keterlibatan ulama dalam kekuasaan telah menjadi tantangan serius Aghajari membebaskan Islam dan Muslim Iran dari cengkeraman politik-keagamaan ulama dan rezim. Reformasi Islam Iran masih jauh dari harapan!
Sukidi Kader Muda Muhammadiyah; Associate Researcher di The Indonesian Institute; dan Mahasiswa Teologi di Universitas Harvard, Cambridge, MA, AS
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/02/Bentara/1592653.htm
Spiritualitas Perkotaan
ABAD ke-21 menandai fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat kota di Indonesia, yaitu munculnya minat lebih tinggi dari biasanya terhadap jalan spiritual (the spiritual path). Sampai dikatakan, abad ini merupakan abad spiritual. Tampaknya jalan spiritual telah menjadi pilihan ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensi dirinya dalam hidup di tengah dinamika perkotaan.
MENGAPA kecenderungan ini terjadi bisa ditelusuri secara historis dan psikologis pada budaya Indonesia secara umum. Namun, pada dasarnya, fenomena yang belakangan ini marak berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia sebagai akibat krisis berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang kota.
SPIRITUALITAS adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut agama menekuninya. Bahkan beberapa agama memperlakukan aktivitas pemberdayaan spiritual sebagai praktik yang tertutup, khawatir dicap "klenik".
Lokus spiritualitas adalah diri manusia. Bila wilayah psikologi mengkaji jiwa sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit. Budaya Barat menyebutnya inner self (diri pribadi), sesuatu yang "diisikan" Tuhan pada saat manusia diciptakan. Meski diyakini bahwa agama berasal dari Tuhan, namun spiritualitas adalah area manusia. Spiritualitas adalah sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam diri manusia, meski tidak mesti demikian.
Sering menjadi pertanyaan, mengapa pemberdayaan spiritualitas yang sering dicap klenik dapat mudah dilakukan pada masa perkembangan Islam di Indonesia. Simuh dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (2002), menjelaskan bahwa kemungkinan itu dapat terjadi karena Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam azali, yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Dan Persia, khususnya, adalah sentra perkembangan tradisi tasawuf.
Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al Quran dan Hadis dan Tasawuf Murni atau Mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan.
Berakhirnya era tasawuf Islam pada tahun 728 M memperkuat dugaan bahwa aliran tasawuf yang masuk pada awal perkembangan Islam di Indonesia bersifat mistikisme. Mengacu pada pengertian "miskisme" sebagai suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan akan hakikat dan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui meditasi atau penyadaran spiritual tanpa melibatkan panca indera dan akal pikir, dapat dimengerti mengapa Islam di Indonesia mampu berkompromi dengan budaya Hindu-Buddha, dan segera berkonsekuensi pada pergerakan mistikisme Jawa atau Kejawen.
Mistikisme subur di masyarakat pedesaan karena pada masa kolonial Hindia Belanda aliran-aliran ini menampilkan figur simbolis Imam Mahdi yang berhasil menyokong semangat rakyat menentang penjajahan. Karena itu, mistikisme lantas dianggap aliran kepercayaan marginal, yang tidak mampu menyokong aspirasi masyarakat perkotaan yang umumnya terpelajar serta lebih rasional.
Baru pada tahun 1920-an hingga 1930-an aliran mistikisme mendapat tempat di hati masyarakat pribumi yang tertekan sebagai akibat depresi besar yang tengah melanda dunia pada saat itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari suatu masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan akibat krisis ekonomi. Sementara itu, agama dirasakan tidak mampu membangkitkan kesadaran spiritual masyarakat, yang terutama disebabkan oleh penentangan kaum Muslim azali yang mengedepankan ketaatan lahiriah dan rasional dengan nilai-nilai "pahala-dosa" dan "surga-neraka". Bersamaan dengan itu, bermunculan figur-figur yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa umat menghadapi kiamat-isu yang meluas menyusul kondisi dunia yang kacau-balau diterpa depresi besar.
TERDAPAT dua landasan analisis di balik munculnya tren spiritualitas perkotaan belakangan ini. Pertama, dari sudut pandang psikologi sosial, kebutuhan akan jalan spiritual merupakan konsekuensi penderitaan psikis masyarakat yang tertekan oleh krisis ekonomi. Kedua, dari sudut pandang anti-religious intellectualism yang menganggap tren belakangan ini sebagai upaya popularisasi aliran mistikisme yang esoterik.
Landasan kedua kurang dapat diterima mengingat sejumlah jalan spiritual yang dimasuki masyarakat kota dewasa ini telah eksis di Indonesia sejak lama, meski masih bersifat marginal. "Popularisasi" rasanya kurang tepat, melainkan lebih merupakan "pengadopsian" dampak positif amalan sejumlah konsepsi spiritualitas yang diterima sebagai solusi bagi derita psikis masyarakat kota.
Dalam kaitan kondisi psikologis akibat krisis berkepanjangan, landasan pertama dapat diterima sebagai latar belakang maraknya tren kebutuhan akan Jalan Spiritual di tengah dinamika perkotaan. Di samping itu, juga kemerosotan nilai-nilai moral yang demikian mudah merembes ke gaya hidup masyarakat kota.
Spiritualitas selama ini termarginalisasi. Dan memang konsepsi penghayatan kepada kekuasaan Tuhan dapat diterima dengan mudah oleh alam bawah sadar masyarakat pedesaan karena hidup mereka yang "apa adanya". Mereka bekerja untuk memenuhi keperluan hidup. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat perkotaan yang menjadikan agama sekadar kewajiban, bagi masyarakat desa agama adalah kebutuhan, yang secara praktis-setelah melalui proses pemberdayaan sisi spiritualitasnya-dapat memberi mereka jawaban-jawaban esensial untuk melakoni hidup. Bagi masyarakat kota, situasi kehidupan materialisme membuat materi menjadi solusi kebahagiaan sehingga penghayatan agama terkesampingkan.
Ketika intelektualisme dan materialisme kian mengakar dalam segala segi kehidupan kota, masyarakat mulai gamang, terutama sejak pukulan krisis ekonomi berdampak pada merosotnya nilai materi sebagai solusi kebahagiaan. Intelektualisme pun, pada tingkat tertentu, berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju Tuhan. Hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi. Bukan sebaliknya!
Mengapa pemberdayaan spiritualitas dapat dengan mudah dicerap masyarakat kota yang gamang? Sejauh yang dapat diketahui, jalan spiritual jarang menerapkan ketaatan yang dipaksakan atau doktrin dogmatis. Sifat esoterisme jalan spiritual juga mempunyai peran penting dalam memudahkan orang menerima amalan-amalannya. Dalam hal ini, hubungan dengan Tuhan bersifat pribadi, yang menyebabkan proses penyembuhan kejiwaan si pelaku berlangsung relatif mudah karena ia cenderung mematuhi tuntunan diri pribadinya.
Sebagai contoh praktis, simak pendekatan-pendekatan yang diterapkan beberapa Jalan Spiritual di bawah ini (yang dipilih karena pengaruhnya yang mendunia).
Tasawuf, merupakan interpretasi transformatif dari Islam. Bagaimanapun, banyak dari para eksponennya menyokong doktrin-doktrin yang dapat dipandang kaum Muslimin sebagai sesuatu yang asing bagi agama mereka. Kawasan perkembangannya terpusat di Timur Tengah dan Asia. Terdapat ribuan tarekat Sufi di seluruh dunia, baik yang eksklusif Islam maupun lintas agama. Aspek-aspek tertentu dari tasawuf belakangan ini mulai merebut perhatian dan popularitas di antara para pencari spiritual, terutama karena upaya-upaya yang dilakukan eksponen terkemukanya di zaman modern ini, yaitu Idries Shah (meninggal tahun 1996).
Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral amalan batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu keadaan yang direpresentasi oleh "kemabukan", "pembebasan", "penyerapan diri ke dalam Sang Kuasa" (imanensi) dan sebagainya, yang timbul sebagai hasil dari kepasrahan sepenuhnya, dan tidak didukung oleh upaya yang bersangkutan. Gagasannya adalah bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan- angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki.
Pengkajian tasawuf kini banyak dilakukan di dalam pengajian-pengajian eksklusif pengusaha dan selebriti di kota-kota besar. Belakangan malah mewabah diskusi-diskusi wacana "tasawuf modern" atau "tasawuf saintifik" di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Susila Budhi Dharma (Subud), merupakan suatu perkumpulan spiritual yang didirikan oleh Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Yang mengagumkan dari sebuah aliran yang berasal dari Indonesia, yang tidak punya reputasi internasional di bidang spiritualitas, pada tahun 1957 Subud menarik perhatian dan menyebar ke seluruh dunia, dan menarik minat para pengikut spiritual lainnya, termasuk para penganut dari semua agama utama. Hingga kini, organisasi internasionalnya beranggotakan hampir tujuh puluh negara. Di Indonesia sendiri Subud berkembang baik di perkotaan maupun pedesaan dan anggotanya mencakup kalangan intelektual, birokrat, dan pebisnis.
Subud mewakili suatu paradigma baru di mana kekuasaan di balik kehidupan manusia dapat diakses langsung oleh semua orang tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan ketergantungan murid kepada guru. Meski berasal dari suatu pengalaman spiritual, Subud bukan agama ataupun aliran kepercayaan, sehingga keanggotaannya terbuka bagi semua pemeluk agama, bangsa maupun budaya. Tidak ada teori, ajaran atau pelajaran, maupun tata cara ritual penyembahan.
Di Subud unsur yang konstan dan aktif adalah latihan berserah dirinya yang dikenal sebagai latihan kejiwaan, suatu bentuk pelatihan pada isi dari diri. Latihan kejiwaan merupakan suatu keadaan penyerahan diri secara ikhlas di mana di dalamnya akan terasa suatu energi. Energi ini memotivasi seorang peserta sesuai dengan kondisinya pada waktu itu. Penyerahan diri di Subud dilakukan langsung kepada kekuasaan Tuhan tanpa upaya atau perantaraan apa pun. Mengadakan upaya atau perantaraan justru bertentangan dalam konteks ini.
Aliran eklektis (electic movements)-disebut demikian karena aliran-aliran esoteris tersebut menyempal dari tradisi keagamaan yang sudah mapan dan mencampuradukkan gagasan-gagasan dari agama atau kepercayaan yang lain. Pergerakan biasanya dipelopori pendeta, imam atau pemimpin pada institusi keagamaan yang disempalinya. Faktor penyebabnya, pada umumnya adalah terabaikannya pemberdayaan spiritualitas dalam praktik-praktik ibadahnya serta ketidakpuasan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang menjunjung rasionalisme. Zen dan Scientology adalah contoh dari pergerakan ini. Beberapa ashram Yoga juga berimplementasi menjadi aliran pemberdayaan spiritualitas dengan mengadaptasi filsafat etika Hindu. Kebanyakan aliran eklektis memakai pendekatan teosofi (paduan teologi dan filsafat) serta meditasi transendental dalam membawa pengikutnya ke jalan spiritual. Di Amerika Serikat dan Eropa banyak pengikut aliran eklektis berasal dari kalangan selebriti, intelektual, dan pejabat pemerintahan.
MASA depan keberlangsungan spiritualitas perkotaan susah ditebak. Semuanya tergantung pada kondisi mental spiritual masyarakat dan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Sampai beberapa waktu lalu, pendidikan agama lebih ditekankan pada pengembangan nalar sehingga manusia sibuk berintelektualisasi dan berasionalisasi, tapi kurang mengembangkan spiritualitas. Padahal dalam diri manusia terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi, yang biasa disebut realitas spiritual. Dalam otak manusia terdapat apa yang disebut Danah Zohar (Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, 2000) sebagai God spot. Seiring kenyataan ini, bisa dikatakan bahwa kebutuhan akan spiritualitas bagi masyarakat perkotaan akan semakin signifikan.
Spiritualitas masyarakat kota dewasa ini di mana nilai-nilai, tujuan hidup, dan kesadaran bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan Tuhan, telah menjadi dasar dari pengembangan kepribadian yang sangat menentukan kebahagiaan hidup lahir dan batin mereka di tengah dinamika perkotaan.
Anto Dwiastoro Alumnus Jurusan Sejarah FSUI, Aktivis Sebuah Jalan Spiritual, Tinggal di Surabaya
sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/28/opini/1614801.htm
Agama, Mistik, dan Ecstasy
AGAMA adalah candu rakyat (Kritik atas Filsafat Hukum Hegel, 1844) merupakan teks Karl Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya saja, kalimat pendek ini tidak jarang salah dikutip. Kadang-kadang kita membaca religion is the opium for the people, sedangkan sebenarnya tertulis religion is the opium of the people. Perbedaannya kecil saja, hanya for dan of, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama sekali dari aslinya.
VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.
Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.
Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).
Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.
YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.
Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.
Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.
Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.
Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.
Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.
Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.
Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.
K Bertens Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/opini/661835.htm
Ratzinger dan Relativisme Iman
KARDINAL Joseph Ratzinger menjadi Paus ke-265 dan memilih nama Benediktus XVI. Sebelum konklaf dimulai, Ratzinger mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik Roma adalah tersebarnya suatu "relativisme iman". Pernyataan tersebut merangkum inti keyakinan Ratzinger selama ini.
Dalam konteks Indonesia yang dicirikan oleh keragaman agama, kepercayaan, dan budaya, pernyataan tersebut bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Dua di antaranya adalah tentang dialog antar-agama dan tentang fundamentalisme agama.
PERTAMA, dialog antar-agama. Pada tahun 1984 Vittorio Messori, seorang wartawan Italia, melakukan wawancara dengan Ratzinger. Dalam terjemahan bahasa Inggris, hasil wawancara tersebut diterbitkan dengan judul The Ratzinger Report: An Exclusive Interview on the State of the Church (1985). Salah satu pertanyaan kritis-atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai salah satu kekhawatiran di kalangan orang Katolik Roma-adalah bahwa keyakinan Ratzinger akan menghambat berkembangnya dialog antar-agama. Dalam kerangka pembicaraan tentang hubungan Gereja Katolik Roma dengan Gereja-gereja lain, ia mengatakan, "dialog dapat memperdalam dan memurnikan iman Katolik, tetapi tidak dapat mengubahnya dalam tataran esensinya yang sejati" (1985:155).
Dalam kesempatan yang sama Ratzinger juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog" (1985:155). Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".
Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang bisa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama. Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi (Latin: tollerare, berarti ’mengangkat’) adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah sikap yang yakin bahwa segala sesuatu adalah relatif; bahwa segala sesuatu ditentukan bukan oleh apa yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan oleh hubungan (Latin: relatio) antara sesuatu dan sesuatu yang lain.
Relativisme iman adalah sikap yang menghayati iman bukan dengan keyakinan akan apa yang ada dalam kekayaan iman tertentu, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain. Relativisme menomorduakan gerakan ke arah dalam karena terus menyibukkan diri dengan pandangan ke arah luar. Relativisme menghindari kejujuran untuk melihat ke-khas-an yang berbeda di dalam karena terus mencoba menemukan ke-umum-an yang sama di luar.
Sebuah dialog antar-agama yang sejati tidak mungkin ada tanpa sebuah keyakinan akan apa yang ada di dalam kekayaan iman tertentu. Dengan kata lain, relativisme iman, dalam bentuknya yang paling ekstrem, justru akan membawa orang pada sebuah keengganan, atau bahkan ketakutan, untuk berpegang pada komitmen imannya. Tanpa sebuah komitmen iman ke dalam, tidak mungkin seseorang bisa menopang bersama apa yang ada di luar. Relativisme iman, dengan demikian, justru merupakan musuh terbesar yang bisa menghambat terciptanya sebuah toleransi antar-agama yang sejati.
Keyakinan Ratzinger (atau sekarang Paus Benediktus XVI) adalah keyakinan yang justru ingin menyerukan pentingnya toleransi. Dalam konteks Indonesia, keyakinan itu bisa dibahasakan sebagai sebuah seruan untuk menciptakan sebuah iklim beriman di mana setiap orang, apa pun agamanya, mendapat ruang luas untuk secara berani membuat komitmen imannya. Toleransi sepihak, di mana pihak yang takut harus menopang adanya perbedaan antara apa yang ada di dalam iman yang diyakininya dan apa yang ada di luar, bukanlah sebuah toleransi, melainkan depresi. Toleransi sepihak, di mana pihak yang begitu berani meminta pihak luar untuk menopang apa yang ada di dalam keyakinan imannya sendiri bukanlah sebuah toleransi, melainkan opresi. Baik depresi iman maupun opresi iman tidak akan pernah menjadi dasar kokoh bagi terciptanya dialog antar-agama yang sejati.
KEDUA, fundamentalisme agama. Sebuah sikap berani dan yakin bisa berkembang menjadi terlalu berani dan terlalu yakin. Yang terjadi adalah sebuah sikap yang memutlakkan kebenaran yang dimiliki di dalam serta menutup diri terhadap kebenaran lain di luar. Maka pertanyaan krusial terhadap sikap Paus Benediktus XVI yang menentang dengan tegas suatu relativisme iman adalah: kriteria apa yang bisa menjadi batas antara keyakinan iman yang berani, tetapi tetap inklusif? Artinya, bagaimana orang mengembangkan dengan berani sebuah keyakinan iman yang tidak eksklusif, tidak absolut, tetapi sekaligus tidak relativistis?
Pada tanggal 27 Januari 1988 Ratzinger berbicara di Gereja Lutheran Santo Petrus di kota New York dalam kesempatan Erasmus Lecture. Pokok pembicaraan adalah seputar penafsiran Kitab Suci. Ulasan Ratzinger itu diterbitkan sebagai salah satu tulisan dalam buku berjudul Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989). Dalam kesempatan itu ia kembali menegaskan demikian, "Tentu saja teks- teks (Kitab Suci) harus pertama-tama dirunut kembali ke asal-usul historisnya dan ditafsirkan dalam konteks sejarah yang tepat. Meskipun demikian, selanjutnya dalam tahap penafsiran yang kedua, orang harus melihat teks-teks itu juga dalam terang totalitas perjalanan sejarah […]" (1989:20).
Strategi penafsiran semacam ini menjadi peringatan tegas bagi bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Kitab Suci. Strategi ini menegaskan bahwa dalam penafsiran Kitab Suci, orang harus melakukan dua hal penting. Pertama-tama, orang harus berani masuk sedalam mungkin pada kekhasan iman dalam titik sejarah tertentu dalam proses penyusunan teks (artinya, sebuah keterpisahan momen yang eksklusif). Meski kemudian, orang harus berani keluar dan menempatkan satu titik khusus dalam sejarah itu dalam rangkaian sejarah yang jauh lebih luas (artinya, sebuah keterkaitan momen- momen yang inklusif).
Rangkaian sejarah yang lebih luas ini mencakup juga sejarah pewahyuan kebenaran dalam agama-agama lain. Penafsiran Kitab Suci yang benar tidak akan pernah membuat orang menjadi fundamentalistis dan tertutup. Bukan karena semua iman sama, tetapi karena orang tersebut melihatnya dalam terang sejarah yang lebih luas. Singkat kata, Paus Benediktus XVI, sejalan dengan sikap Gereja Katolik Roma, menentang dengan tegas fundamentalisme agama dalam bentuk apa pun, termasuk yang mungkin timbul di kalangan orang-orang dalam Gereja Katolik Roma sendiri.
Bagaimana Paus Benediktus XVI ini akan mengembangkan keyakinannya, tentu masih harus dibuktikan. Hari-hari ini orang-orang dari Gereja Katolik Roma bisa berseru kepada (dan bersama) orang-orang sedunia: Habemus papam!
TA Deshi Ramadhani Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Dosen Tafsir Kitab Suci; Doktor Teologi dari Jesuit School of Theology, Berkeley, California, Amerika Serikat
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/21/opini/1701701.htm
Filsafat Deregulasi
KETIKA harga minyak mulai rontok di tahun 1982, rezim Orde Baru berangsur-angsur kehilangan otonomi fiskal. Sejak itu gerak ekonomi-politik Indonesia mencari motor baru dalam rupa bisnis swasta dengan deregulasi sebagai instrumen utama. Era deregulasi mulai di tahun 1983 mencakup keuangan, pajak, tarif, bea cukai, perdagangan, investasi, pasar modal, perbankan, komunikasi, dan sebagainya.
Apakah deregulasi baik atau buruk? Ada baiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra. Namun, sebagai uji coba, baiklah mulai dari posisi pro: deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang sangat baik adanya.
Bila diringkas, deregulasi menunjuk ke- bijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Dengan itu lanskap ekonomi Indonesia juga tidak lagi bergantung pada uang minyak.
Deregulasi telah menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi. Akan tetapi, penciutan istilah "deregulasi" ke bidang ekonomi itu sangat menyesatkan. Deregulasi pertama-tama bukan gagasan ekonomi, tetapi premis baru ketatanegaraan.
Premis baru
Isi premis baru ketatanegaraan itu mungkin bisa ditunjuk dengan dua lapis argumen berikut. Lapis pertama, deregulasi berisi gagasan bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya suatu negeri tak boleh lagi hanya bergantung pada kekuasaan rezim yang sedang memerintah. Jadi, jatuh-bangun dan hidup-matinya ekonomi, budaya, atau pendidikan di Indonesia tidak boleh lagi hanya bergantung pada inisiatif pemerintah, entah itu rezim Soeharto atau Susilo B Yudhoyono. Itulah mengapa deregulasi melibatkan pemindahan berbagai inisiatif, dari pemerintah ke sektor-sektor nonpemerintah.
Sejak 1 Januari 1984, misalnya, metode "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Artinya, penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Tentu perubahan itu ditujukan untuk sasaran ekonomi, seperti efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari pajak. Namun, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan aparat pemerintah.
Lapis kedua, justru karena itu deregulasi juga menunjuk gagasan baru bahwa jatuh-bangun dan hidup-matinya kondisi politik, ekonomi, budaya, ataupun pendidikan di Indonesia juga tidak bisa lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Lugasnya, solusi atas masalah Indonesia juga merupakan beban tanggungan sektor-sektor nonpemerintah. Lapis ini sejajar dengan lapis pertama di atas. Andaikan "deregulasi" adalah sekeping mata uang, pokok dalam lapis pertama dan kedua merupakan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.
Dua lapis pengertian di atas mungkin terdengar aneh bagi mereka yang mengartikan deregulasi hanya sebagai soal teknis, seperti pengertian umum dalam alam pikir ekonomi dewasa ini. Namun, dalam "republik refleksi", kita selalu butuh kembali ke prinsip paling sederhana, yang kira-kira berbunyi begini: pengertian luas bukanlah bukti validitas.
Dari pokok-pokok di atas mungkin segera tampak, de-regulasi bukan berarti tidak-adanya regulasi, melainkan perluasan/pemindahan locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Maka, de-regulasi sesungguhnya berisi re-regulasi, dengan self sebagai aktor-regulator alternatif. Istilah "self" bisa berupa individu perorangan, bisa juga badan usaha bisnis/ perusahaan, dan bisa pula pemerintahan lokal yang otonom.
Regulator alternatif
Apa dasar self bertindak sebagai aktor-regulasi alternatif? Dasarnya adalah self-determination yang terungkap dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Tetapi masih perlu dikejar lanjut. Kalau sumber daya pemerintah melakukan state-regulation adalah mandat, apa sumber daya self-regulation? Jawab: pemilikan/kontrol atas berbagai sumber daya (finansial, teknologis, fisik, informasi, material, dan sebagainya) yang diubah menjadi capital. Itulah mengapa terjadi penerapan istilah "capital" pada bidang-bidang seperti budaya (cf cultural capital), pengetahuan (cf symbolic capital), dan lain-lain.
Dengan itu deregulasi melahirkan gejala baru, yaitu kedaulatan dan kebebasan selera individual menjadi locus kekuatan regulatif baru yang tidak kalah menentukan dibanding kekuatan regulatif pemerintah. Modelnya adalah kinerja "kebebasan pilihan individual" dalam ekonomi pasar-bebas (cf "saya bebas berbuat apa pun menurut selera saya dan selera apa pun yang bisa saya beli"). Dalam arti tertentu bahkan bisa dibilang, pemerintah sering tinggal menjadi penjaga legalitas, tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator.
Ambillah acara di layar televisi sebagai contoh. Sudah lama meluas keluhan tentang rendahnya mutu acara televisi yang dikuasai program gosip, klenik, jingkrak-jingkrak, badut-badutan, serta histeria idola. Pemerintah tidak bisa lagi menjadi regulator acara televisi tanpa dituduh otoriter. Mungkin para programmers acara televisi bilang acara-acara itulah demand pemirsa. Tetapi karena klaim itu tidak ada sebelum programmers menayangkan acara-acara tersebut, dengan lugas bisa dikatakan regulatornya adalah corak selera para programmers televisi. Kemudian muncul apologi, misalnya "bukankah pepatah Romawi pun mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan roti, tetapi juga komedi?" (Tajuk Kompas, 8/9/2004). Dalih itu menggelikan karena soalnya justru sebagian besar acara televisi berupa "komedi". Tambahan lagi, pepatah itu datang dari kaisar seperti Nero dan Commodus sebagai siasat meninabobokan warga Roma dengan orgi darah di Colosseum.
Sekali lagi, de-regulasi bukan pengha- pusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi. Dengan itu kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera/pilihan individual. Pokok sederhana ini punya implikasi sangat jauh.
Etika deregulasi
Bila deregulasi berisi premis hidup-matinya negeri ini tak boleh lagi tergantung hanya pada pemerintah, tentu itu juga berarti hidup-matinya negeri ini tidak boleh lagi hanya menjadi beban tanggungan pemerintah. Segera tampak deregulasi pertama-tama bukan urusan teknis ekonomi, tetapi etika baru manajemen masyarakat. Dan itu berlaku baik untuk bidang ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, maupun politik. Jadi, kita mesti pro atau kontra deregulasi? Dua pokok berikut ini mungkin bertentangan dengan paham tradisional yang luas diyakini, tetapi semoga ada gunanya diajukan.
Pertama, andaikan Anda penentang gigih deregulasi. Posisi kontra ini salah satunya melibatkan penolakan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Anda mungkin dituduh mendukung otoritarianisme, tetapi tuduhan itu bisa diabaikan. Salah satu agenda pokok penganut posisi kontra deregulasi lalu adalah memastikan agar gerakan civil society mengoreksi dan memberdayakan kapasitas pemerintah sebagai badan regulator yang baik karena pemerintah dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Tetapi, agenda ini tidak lebih dari meneruskan teriakan-teriakan kita selama ini dan deregulasi lalu juga kehilangan arti.
Kedua, andaikan Anda penuntut gigih deregulasi. Posisi pro ini berisi kesetujuan atas pemindahan/perluasan otoritas regulasi dari state-regulation ke self-regulation. Implikasi utamanya, civil society tidak-bisa-tidak berfokus pada gerakan memastikan agar sektor-sektor nonpemerintah juga menjadi aktor-regulator yang baik karena self-regulation berarti pemerintah bukan lagi satu-satunya penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Lugasnya, persis dari logika-internal deregulasi, sektor-sektor nonpemerintah itu kini juga tidak-bisa-tidak menjadi penanggung jawab hidup-matinya negeri ini. Itu berlaku baik bagi sektor bisnis, media, maupun perguruan tinggi, dari soal acara televisi, rusaknya gedung sekolah, busung lapar, sampai keluasan korupsi.
Apa yang terjadi bila sektor-sektor nonpemerintah menuntut deregulasi seluasnya, tetapi membebankan semua hanya kepada pemerintah dan juga tidak mau ikut menjadi solusi atas labirin masalah Indonesia? Itulah yang rupanya sedang terjadi. Deregulasi lalu tidak lebih dari siasat para pelaku sektor-sektor nonpemerintah untuk menjadi free riders di negeri ini. Free rider kira-kira berarti "penumpang yang tidak membayar". Maka tidak perlu kaget bila para programmers televisi merasa tidak punya urusan dengan pendidikan kultural warga Indonesia. Tak mengherankan pula bila para bos perusahaan tambang merasa tidak punya urusan dengan kehancuran lingkungan seperti di Pantai Buyat.
Kita bisa meratapi atau merayakan deregulasi, tetapi itu masih jauh dari memahami bahwa deregulasi melibatkan agenda ketatanegaraan yang lebih mendalam daripada sekadar perkara efisiensi ekonomi.
B Herry-Priyono Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Alumnus London School of Economics (LSE), Inggris
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/opini/1789156.htm
Filsafat Politik, Politik Harian, dan Demokrasi
BULAN Februari 2002 bukan bulan yang baik bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Usai sidang parlemen, dia menjadi bahan olok-olok para anggota parlemen.Blair menjadi bulan-bulanan karena ketidakmampuannya merumuskan secara singkat dan sederhana filsafat politik yang mendasari politik hariannya. Sandungan tersebut datang dari anggota parlemen asal partainya sendiri-yang kebetulan bekas pengajar filsafat di universitas. Insiden tersebut menyimpan satu pertanyaan. Apakah politik harian membutuhkan inspirasi filsafat politik. Gus Dur pernah menjadi bulan-bulanan saat memberi sedikit abstraksi filosofis-juridis di sidang parlemen. Wacana akademis! Begitu olok-olok sebagian anggota parlemen waktu itu. Dasar berpikir sebagian anggota parlemen waktu itu jelas. Politik harian tidak membutuhkan filsafat politik. Politik harian membutuhkan retorika, bukan logika. Raison d’etre-nya adalah pragmatisme. Politik praktis, begitu orang awam menyebutnya.
Benarkah tesis yang mengatakan bahwa politik harian tidak membutuhkan filsafat? Leo Strauss, filsuf politik asal Chicago, tidak sependapat. Dia menyuarakan pentingnya pencerahan filosofis atas politik. Para filsuf harus turun gunung mewejangi para politisi harian. Hanya dengan itu politik harian bisa berbobot. Tidak semata karnaval kebodohan dan kemunafikan yang memuakkan.
Filsuf ideal Straussian mesti bekerja sebagai bejana pikiran bagi para politisi harian. Membantu merumuskan kebijakan-kebijakan politik berbasiskan argumentasi filosofis yang kuat. Tidak sekadar mengikuti common sense yang dangkal tak berdasar. Singkat cerita, politik harian harus tunduk pada filsafat politik. Namun, tidak semua filsuf sepakat dengan Strauss. Jonathan Wolff, seorang filsuf politik lainnya, menolak keterjalinan antara filsafat politik dan politik harian. Filsafat politik, menurut Wolff, bukanlah "hakim epistemik" bagi kebijakan politik. Ia ini dipaksakan, sebentuk otoritarianisme kognitif menyembul. Dan ini tidak kondusif bagi perkembangan atmosfer demokrasi.
Kalau filsafat politik tidak boleh turun tangan pada persoalan politik harian, lalu apa tugas praksis para filsuf? Apakah mereka cukup berpikir di menara gading, tidak menyentuh kehidupan sehari-hari? Atau mengelus dada saja bila melihat kekacauan berpikir para politisi harian? Sikap-sikap seperti itu juga bukan sesuatu yang positif.
PARA filsuf politik kontemporer mengambil sikap moderat. Filsafat politik bukan lagi "hakim epistemik" bagi politik harian. Perannya sekarang adalah pengatur lalu lintas yang merumuskan rambu-rambu bagi percaturan politik yang fair.Ini tidak boleh diserahkan pada para politisi harian. Karena begitu diserahkan, rambu-rambu yang dibuat semata-mata melayani kepentingan the ruling party or parties. Inilah yang mendasari protes partai-partai gurem terhadap aturan main pemilu yang disusun parlemen sekarang.
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa fairness dalam proses-proses politik. Tak adanya pembatasan dan pengawasan terhadap dana kampanye membuat partai-partai miskin jadi lemah posisinya dalam merebut hati publik. Hanya partai-partai kaya mampu membiayai reklame-reklame prime time di stasiun-stasiun TV raksasa. Kesempatan menjadi tidak setara untuk menjual dagangan politik antarpartai. Demokrasi memberikan keleluasaan bagi berbagai ideologi untuk hidup dan berkembang. Pada masyarakat tertutup-otoritarian, hanya satu ideologi yang berhak hidup; yang lain harus tunduk dan turut. Hal seperti itu tidak berlaku pada masyarakat terbuka-demokratis.
Dalam masyarakat terbuka menuntut kosongnya percaturan politik dari apa yang disebut Rawls "kebenaran metafisik". Sebentuk kebenaran yang mengabsolutisir dirinya dan menutup pintu komunikasi dan toleransi. Perdebatan ideologis yang paling tajam, menurut Rawls, adalah soal keadilan. Karena itu, filsafat politik Rawls mencoba merumuskan satu prosedur yang fair guna menentukan prinsip keadilan yang bisa diterima semua pihak. Prinsip keadilan yang bisa diterima baik oleh sayap kiri, kiri-tengah, maupun kanan.
Pluralisme bentuk kebenaran dalam masyarakat terbuka-demokratis juga menggelitik filsuf politik lainnya bernama Habermas. Filsuf politik ini memformulasikan apa yang disebutnya sebagai etika diskursus. Etika diskursus adalah prosedur yang fair bagi pertarungan epistemik-etik berbagai bentuk kebenaran demi mencapai konsensus.
Sama seperti Rawls, Habermas juga berbicara dalam bingkai demokrasi. Bingkai yang tidak boleh dimuati satu pun kebenaran absolut. Konkretnya begini. Satu kebijakan publik, misalnya, tak hanya diambil berdasarkan satu dasar ideologis. Namun, harus berdasarkan konsensus pihak-pihak ideologis yang berkepentingan.
Pengurangan subsidi BBM sangat brilian dari sudut pandang ideologi neo-liberalisme. Efisiensi ekonomi menuntut absennya campur tangan kekuasaan. Namun, ada prioritas nilai yang harus dipertimbangkan; misalnya, apakah efisiensi mesti mengorbankan kualitas hidup sebagian besar masyarakat; haruskah kalkulasi ekonomi meminggirkan hak sosial-ekonomi warga negara; atau benarkah ada dampak langsung efisiensi perusahaan pada turunnya angka pengangguran. Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya kurang diperhatikan para pengambil kebijakan.
Nyata sekali terlihat bagaimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sangat mono-dimensional. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak pernah dilibatkan. Atau, kalau dilibatkan, hanya satu pihak dan itu pun belum tentu representatif. Ini artinya ada sesuatu yang unfair dalam percaturan politik di republik ini. Dengan kata lain, filsafat politik masih dibutuhkan.
SELAIN merumuskan prosedur yang fair, filsafat politik juga berjasa memberi perspektif baru atas kenyataan politik. Filsafat politik Foucault, misalnya, memberi kita perspektif baru tentang kekuasaan yang berbeda dengan teoretisasi filosofis sebelumnya. Foucault menggugat teoretisasi klasik yang memandang kekuasaan sebagai hasil dari kontrak sosial dari individu-individu yang berkumpul dan berkonsensus. Kekuasaan yang selalu disangkut-pautkan dengan negara sebagai makro-politik.
Sebaliknya, ia memandang bahwa kekuasaan dalam realitas jauh dari bentukan individu, tetapi malah membentuk individu. Menjadikan individu sebagai tubuh-tubuh politik yang senantiasa melakukan swa-pengawasan atas dirinya. Kekuasaan macam ini memanifestasikan dirinya bukan hanya dalam negara, tetapi juga menyelusup masuk dalam jejaring mikro-mikro politik, mulai dari keluarga sampai penjara.
Ini adalah epistemologi baru (bahasanya Herry Priyono) dalam mempersoalkan kodrat kekuasaan. Kalau kekuasaan tidak lagi bersemayam di negara, maka target kontrol demokratis harus berubah. Lembaga ekonomi, spiritual, sains, sampai pedagogi. Semuanya itu adalah lembaga politis par excellence. Dan semua bentuk lembaga yang mengepung individu secara politis, mestilah akuntabel.
Uraian ini menyisakan pertanyaan sekaligus gugatan. Bagaimana nasib filsafat politik di republik ini. Karena kayaknya, kecenderungan skolastikal masih cukup dominan di kalangan akademisi filsafat. Kerja filosofis sekadar membolak-balik traktat tanpa mampu mengaitkannya dengan isu-isu keseharian. Sedangkan demokrasi di republik ini masih compang-camping.
Politik harian, menurut hemat saya, masih membutuhkan masukan prosedural dari para filsuf politik. Demokratisasi berjalan di tempat tanpa terobosan-terobosan teoretisasi baru filsafat politik.
Politisi boleh mengatakan: "filsafat adalah filsafat sementara politik adalah politik". Itu benar. Namun, kekeraskepalaan keduanya tidak akan menghasilkan apa-apa. Keduanya harus menemukan titik temu. Para filsuf republik, mulailah bekerja!
Donny Gahral Adian, dosen filsafat UI; Ketua Asosiasi Praktisi Filsafat Indonesia
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/04/opini/105078.htm
Neoliberalisme
Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal. Mengapa istilah itu berawalan neo?
Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.
Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Dari hal kecil itu tampak, betapa sulitnya menunjuk persis arti neoliberalisme. Selain itu, neoliberalisme merupakan istilah yang lebih terpahami dalam konteks intelektual Eropa (istilah liberal punya arti lain di AS). Dalam perjalanan sejarah yang tumpang tindih, neoliberalisme banyak dikaitkan visi ekonomi kelompok seperti Mont Pelerin Society dan ekonom mazhab Chicago, seperti Milton Friedman, Gary Becker, dan George Stigler. Namun, neoliberalisme bukan sekadar ekonomi. Ia visi tentang manusia dan masyarakat, dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Mungkin dua lapis definisi yang saling terkait dapat membantu memahami jantung filsafat ekonomi neoliberalisme.
Visi antropologis
Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan.
Apakah visi antropologis yang telah diciutkan demi keketatan proses berpikir suatu bidang ilmu mengungkapkan seluruh dimensi manusia, tentu soal lain. Dari keragaman bidang akademis pun dari matematika hingga sastra, dari antropologi sampai teknologi sudah pasti penciutan asumsi bukan seluruh fakta dimensi manusia. Manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia.
Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia. Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Tak ada yang lebih eksplisit dalam proyek perentangan ini daripada Gary Becker dalam The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Bagaimana mungkin sebuah visi, yang karena tuntutan bidang ilmu berdiri di atas penciutan asumsi, menjadi dominan? Tak ada teori yang berjalan sendiri.
Virtualisasi ekonomi
Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama neoliberalisme. Perspektif oeconomicus bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Ada anggapan, maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke investasi di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gérard Duménil dan Dominique Lévy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS maupun di Perancis. Simpulnya, finance finances itself, but does not finance investment. Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme biasanya dianggap sikap anti-investasi, antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan semacamnya.
Dalam fakta, visi neoliberal yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan itu tentu penuh kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi neoliberal tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Itulah mengapa tak sedikit ahli menyimpulkan, neoliberalisme merupakan cara para tuan besar modal merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah PD II sampai dasawarsa 1970-an.
Jadi, neoliberalisme baik atau buruk? Silakan menyimpulkan sendiri. Namun, untuk itu kita perlu berguru. Bulan Oktober 2005 terbit buku A Brief History of Neoliberalism karya David Harvey, mahaguru geografi dan ekonomi politik.
Buku serius tetapi ringan itu amat perlu dibaca presiden, wakil presiden, para pengambil kebijakan publik, pelaku bisnis, dan khalayak pembaca di Indonesia.
Seusai membaca buku itu, saya merasa Indonesia mirip negeri yatim piatu.
B Herry-Priyono Peneliti, Sementara Tinggal di California
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/15/opini/2290496.htm
Melampaui Kosmopolitanisme Politik
Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu melumatkan sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang menggerayangi Amerika dan Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Dunia Ketiga.
Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam siapa pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris sebagai musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan yang pernah terjadi di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan untuk menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.
Mendelegitimasi Pencerahan
Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis: kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi maupun konstitusi politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai abad XX seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme mendesak kita menggagas ulang makna konsep-konsep yang lahir dari rahim Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi, keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama.
Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.
Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum- hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan metafor mengenai kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi dengan kesanggrahan (hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi berbeda dari pemahaman Kant yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan imperatif moral. Melalui kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia membagi kesanggrahan ini dalam dua pola.
Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi. Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak, keadilan akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum (positivisme). Sebagai produk sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah. Keadilan selalu berada di luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada di batas tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat khusus.
Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma, dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi. Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum, tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.
Globalisasi dan tiga momen otoimun
Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi komunisi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosis terhadap patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah terorisme.
Terorisme berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas, membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.
Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme. Terorisme secara eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan resistensi diri terhadap prinsip- prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar. Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak kekerasan biasa karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan demokratis.
Berbeda dengan Habermas, Derrida menampik globalisasi sebagai keniscayaan sejarah karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi, yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya merayakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan tekno-sains. Globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah: kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, AIDS, dan seterusnya. Globalisasi hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan menyeluruh sarana produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi internasional untuk mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan kekuatan imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.
Otoimunitas merupakan kata kunci untuk memahami gagasan Derrida mengenai terorisme sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks lahirnya terorisme, otoimunitas ini melalui tiga momen peristiwa.
Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak yang berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS sendiri selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa 11 September merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.
Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi dan dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam Perang Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia menimbulkan pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman traumatis ini melukai masa depan sebanyak ia melukai masa kini.
Ketiga, lingkaran setan penindasan. Ini menggambarkan cara bagaimana (dengan mengumumkan perang melawan terorisme) koalisi negara-negara Barat membangkitkan perang melawan dirinya sendiri. Ketiga teror otoimun yang didedahkan Derrida ini tidak dapat dibedakan. Ketiganya saling mengandaikan dan menentukan satu sama lain. Derrida telah memperlihatkan elemen-elemen destruktif globalisasi yang telah mengaburkan batas-batas kategori: teror, teritori, dan terorisme.
Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa terorisme merupakan konsep yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya yang sangat kompleks. Terorisme ditandai dengan kekaburan konseptual dan tanpa referensi. Media Barat secara serampangan menggunakan terminologi terorisme seakan-akan sudah jelas dengan sendirinya. Melalui media-media global, Amerika Serikat dan sekutunya memaklumatkan perang melawan terorisme, sebuah maklumat yang ditolak oleh Habermas dan Derrida. Habermas menganggap perang melawan terorisme merupakan kekeliruan besar, baik secara normatif maupun pragmatis. Secara normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke status musuh dalam perang, padahal musuh tersebut belum teridentifikasi. Secara pragmatis, perang tidak dapat dilancarkan terhadap jaringan yang tidak sepenuhnya memiliki identitas gamblang.
Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas, Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau dan lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun panjang, motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya sepakat terhadap tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan atas nama Tuhan sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang. Keduanya sedang melakukan otokritik terhadap demokrasi Barat.
Menuju demokrasi radikal
Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan.
Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi politik, ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu demokrasi mendatang: sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat dipresentasikan, bukan ide regulatif dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat, untuk menggugat diri sendiri, mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.
Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.
Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini, sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan, tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.
I have had occasion to say that deconstruction is a project in favour of the Enlightenment (Les Lumières), and that one must not confuse the Enlightenment of the eighteenth century with the Enlightenment of tomorrow, kata Derrida suatu hari.
Dr YUDI LATIF Wakil Rektor Universitas Paramadina, Jakarta Abdul dubun Hakim Dosen Sejarah Filsafat Eropa Universitas Paramadina, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/03/Bentara/2246603.htm
Humanisme Sudah Mati?
HARI Kamis (20/3/2003) lalu, Bumi dilanda keterperangahan, keterpanaan, dan keterdiaman massal, meresapi kenyataan bahwa kerasnya pesan menolak perang atas nama kemanusiaan, politik, ekonomi, atau agama yang dikirim seluruh dunia kepada AS dan sekutunya, lumer bak lelehan es krim. Meski gelombang protes telah dan terus mengalir secara spektakuler dari seluruh penjuru dunia, invasi ke Irak tetap terjadi. Lonceng kematian bagi humanisme?
Judul ini diadopsi dari salah satu tema diskusi Komunitas Bambu akhir September 2000. Diskusi dibawakan oleh Hendra Pasuhuk, jurnalis Deutsche Welle, memaparkan situasi terakhir ketegangan filsafat di Jerman saat itu akibat kontroversi pemikiran Peter Sloterdijk saat menuduh humanisme gagal membawa perbaikan pada peradaban manusia.
Tesis Sloterdijk mempunyai makna yang amat penting untuk dikaji lagi terutama dalam upaya memaknai konflik global baru-baru ini akibat agresi militer AS dan sekutunya ke Irak, tentunya dari sudut pandang kemanusiaan.
KERIBUTAN dimulai saat Sloterdijk membawakan papernya Regeln für den Menschenpark. Ein Antwortschreiben zum Brief über den Humanismus (Aturan untuk Kebun Manusia. Sebuah jawaban atas Surat tentang Humanisme), dalam simposium filsafat internasional di Bavaria yang bertema: Exodus from Being, Philosophy after Heidegger, Juli 1999.
Menurut profesor filsafat dan aestetik dari Karlsruhe, Jerman, ini, filsafat sejauh ini pasif mengamati perilaku sainstek. Padahal, aktivitas sainstek telah menjarah domain konflik etika serius yang bahkan belum pernah tuntas dikerjakan filsafat. Sloterdijk menggugat gagasan humanisme yang ada kini dan konsep-konsep "mendidik manusia" yang dilahirkan karena dianggap tak mampu menjawab persoalan kemanusiaan di masa depan.
Ia mengusulkan agar manusia segera menyusun aturan orientasi etika baru sebagai respons atas perkembangan teknologi rekayasa genetika. Aturan ini diarahkan sebagai pedoman teknologi eugenik (teknik pemilihan gen-gen sempurna) yang bakal menghasilkan populasi manusia yang lebih beradab. Bila selama ini otoritas pembentukan manusia dipegang oleh kultur, sejalan dengan aturan-aturan seleksi dan kombinasi manusia melalui interaksi antarkelas, kasta, perkawinan, dan sebagainya, kini kita harus menerima kenyataan bahwa kemajuan bioteknologi telah membuka peluang lahirnya model aturan dan kombinasi yang baru. Strategi ini dianggap jauh lebih baik dan bertanggung jawab karena manusia bisa aktif mengendalikan masa depan dan memastikan peradaban berkembang ke arah yang lebih baik.
Sloterdijk jelas provokatif. Tesisnya tak cuma menohok kegagalan humanisme itu sendiri, tetapi juga mengoyak luka lama bangsa Jerman karena memakai istilah seperti: Selektion (seleksi), Menschenzähmung (pembentukan manusia), Menschenzucht (peternakan manusia), dan Antropotechnik (rekayasa manusia). Dalam kaidah bahasa Jerman, kontemporer istilah-istilah itu belakangan tak digunakan karena membawa kenangan buruk saat rezim Nazi mencoba membuat manusia Aria sempurna dan aktivitas Dr Josef Mengele di kamp pembantaian Auschwitz. Serunya lagi, Sloterdijk membacakan papernya dalam simposium yang disponsori komunitas Yahudi!
Terang saja kecaman segera berdatangan. Kalangan penjaga moral seperti agamawan mengecam ide-ide rekayasa manusia. Sementara komunitas filsuf sayap kiri dari mazhab Frankfurt dimotori Jurgen Habermas membantah kegagalan humanisme dan bereaksi keras dengan menyebut koleganya ini sebagai "fasis".
DI luar hingar-bingar wacana itu, ada pesan signifikan dari Sloterdijk; apakah benar manusia mampu mengendalikan peradaban agar berkembang ke arah yang lebih baik? Era modernitas, yang merupakan keniscayaan bagi humanisme, ternyata malah menandai kembalinya peradaban barbar, di mana angka perilaku kekerasan dan kekejaman manusia terus bertambah. Modernitas juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan atau keberlanjutan kualitas kemanusiaan peradaban manusia. Kemiskinan tetap menjadi fenomena universal, ditambah meningkatnya suhu ketegangan sosial, konflik, dan menjamurnya kecurigaan di tingkat lokal, regional, sampai internasional.
Premis dasar Sloterdijk ini kembali terasa relevan saat kita menyaksikan AS dan sekutunya menginvasi Irak tanpa mandat PBB, sebuah otoritas hukum internasional tertinggi yang eksistensinya merupakan simbol peak experience humanisme. Berbagai upaya diplomatik dan unjuk rasa tak mampu mencegah invasi itu. Kenyataan ini selain melukai rasa kemanusiaan, juga menindas prinsip- prinsip dasar humanisme yang mempercayai etika dan moralitas sebagai basis segala hubungan antarmanusia di Bumi. Padahal, semangat inilah yang mendorong manusia menyusun deklarasi HAM sebagai spirit PBB. Patutlah bila kini kita mengevaluasi ulang berapa besar komitmen kita terhadap kemanusiaan, dan apakah humanisme, sebagai ideologi yang mengadvokasinya, perlu direvisi ulang.
SEPERTI halnya agama, humanisme memiliki kekuatan karena bersifat utopis, yakin bahwa situasi ideal dapat dicapai berkat sifat-sifat baik manusia. Karenanya, filsafat humanisme mengkritik Freud yang dianggap mengabaikan potensi-potensi positif dari manusia, seperti kebaikan, kasih sayang, berbagi, dan kedermawanan. Padahal, gara-gara terlalu percaya diri, humanisme lupa bahwa manusia punya potensi negatif yang acapkali lebih dominan daripada potensi positifnya. Terlelap dalam utopia berkepanjangan, ia membiarkan manusia memerkosa prinsip-prinsipnya dengan leluasa.
Invasi AS ke Irak ini merefleksikan seriusnya konflik yang diderita humanisme. Dalam Manifesto I-nya di tahun 1933, semangat gerakan humanisme adalah "satu dunia" (One World) di mana, "semua manusia bersaudara" (Alle Menschen werden Brüder). Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan sukarela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika kemudian "universal" menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala itu amat tegang, empat puluh tahun kemudian Manifesto Humanisme II memperjelas arti "universal" sebagai penolakan kategorisasi manusia berdasar kebangsaannya.
Sayang, tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak imbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama, yang lalu berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan, dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan universalitas cara pandang dalam memahami manusia dan nilai-nilai hidupnya. Sebagian berpendapat globalisme dan kosmopolitanisme adalah baik dan tepat, sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang tertinggi.
Bukannya mencoba menyelesaikan masalah ini, langsung ke akar, humanisme malah sering membiarkan diri terjebak dalam situasi dilematis seperti digambarkan Paul Tillich dalam karya Love, Power, and Justice; haruskah cinta yang kita rasakan pada seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan membebaskan kita dari kewajiban menegakkan keadilan?
Tokoh humanis progresif AS, Carleton Coon, awalnya menentang aksi militer AS ke Irak, namun saat keputusan perang dijatuhkan, ia tak punya pilihan lain selain mendukung pemerintahnya dan tentara yang berjuang atas nama negerinya. Menurut dia, yang perlu dikerjakan adalah memastikan pembangunan kembali Irak dalam kerangka kemanusiaan (persis seperti bunyi pamflet kampanye perang AS).
Jepang juga memanfaatkan "dukungan kemanusiaan" sebagai ujud dukungannya terhadap perilaku AS karena konstitusi Jepang melarangnya terlibat secara militer dalam pertikaian negara lain. Kedua ilustrasi ini menggambarkan, humanisme kedodoran dalam mempertahankan visi gerakannya sehingga mudah di-abuse oleh kepentingan minoritas-dominan seperti nasionalisme atau ekonomi-politik.
Selain itu, sama seperti filsafat, humanisme juga keteteran menghadapi sainstek. Ia lupa bahwa bagi manusia, teknologi adalah representasi kesuksesan. Wajar bila teknologi turut berpartisipasi dalam merajut konflik antarbudaya dan kepentingan ekonomi. Sejarah membuktikan, manusia kini tak lagi menunggu saja sesuatu terjadi, ia akan dan mampu membuatnya terjadi. Inilah yang digambarkan Martin Heidegger sebagai karakteristik relasi antara teknologi produksi dan kepentingan ekonomi satu sisi, dan antara etnoteknologi dan perang, di sisi lain. Perang dipandang penting oleh kalangan bisnis dan pimpinan politik-militer sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan di tengah persaingan dengan para kompetitor dan musuhnya, tak peduli ketika karakter psikologis dunia lantas didominasi asumsi-asumsi paranoid yang bakal terus termanifestasi dalam aneka bentuk kekerasan.
Buat mereka, ini bukan masalah karena justru berarti keuntungan. Tetapi, bagaimana dengan manusia lainnya yang cuma bisa jadi penonton? Apakah kita harus membesarkan anak dalam atmosfer kebencian dan kekerasan lengkap dengan senjatanya dan membiarkan humanisme (baca: PBB) jadi dekor saja dalam adegan peperangan yang kita saksikan live dari televisi. Inilah kegelisahan yang dirasakan Sloterdijk saat sadar bahwa manusia bakal sulit lepas dari jerat konspirasi teknologi-bisnis-kekuasaan.
Dari sini gerakan humanisme dunia masa kini dan mendatang jadi makin penting. Logika humanismenya harus dibenahi dan tidak membiarkan pelanggaran atas prinsipnya diklaim sebagai suatu keharusan ekonomi-politik. Betapapun pesimisnya, langkah ke sana tetap harus dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan diri bahwa manusia mampu menyiapkan masa depan terbaik buat generasi penerus. Bila tidak, mungkin tesis Sloterdijk menjadi satu-satunya alternatif yang masuk akal.
Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/27/opini/215166.htm
Nalar Puitis sebagai Metafilsafat
PERTENGKARAN keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi wujud.
Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar, namun diam-diam menariknya ke dalam.
Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta raya.
Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa.
Puisi tidak melentingkan kita ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosakata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.
Metafilsafat
Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa.
Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru.
Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.
Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan.
Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.
Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis.
Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun.
Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.
Matinya epistemologi
Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah.
Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya.
Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah.
Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.
Naluri akan yang lain. Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat.
Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang.
Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran.
Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas.
Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.
Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama.
Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer.
Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara.
Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.
Hening
Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis.
Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang.
Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, Puisi-puisinya dibukukan dalam Menulis Sajak Itu Indah (1998)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/05/Bentara/998332.htm
"Virtual Cosmology"
Oleh Robertus Wijanarko
"A boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing" (Martin Heidegger).
FENOMENA pasar global dan liputan perang (invasi) Amerika Serikat dan sekutunya dengan (ke) Irak kian menegaskan datangnya fajar baru era kehidupan manusia, era virtual cosmology (kosmologi virtual).
Betapa tidak? Wawasan tradisional kita tentang kosmos, baik yang tercipta melalui lensa nilai-nilai dan keyakinan tradisi agama monoteistik, kerangka pikir Yunani-abad pertengahan-maupun lensa modernitas-aufklarung-digeser lensa fenomenologis-intensional-virtual.
Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi kita lihat pertama-tama sebagai ciptaan Tuhan yang teratur, bukan pula struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api, tumbuhan, binatang, cakrawala, manusia, dll), atau sebagai ens yang merupakan emanasi dari the ultimate ens (atau perwujudan dari Substance), tetapi merupakan sebuah pasar, komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi jual-beli itu (produksi-distribusi-advertasi), yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan informasi dan komunikasi virtual.
DI era pasar global, kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan interaksi manusia yang dibidik melalui lensa "dagang" dan disuguhkan secara virtual melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik merupakan fenomena aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).
Hal senada bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan sekutunya ke Irak. Liputan perang di Irak, yang dilakukan media dengan memotret kisah-kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari, yang disuguhkan secara virtual, dan dibidik-disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology (kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan.
Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera. Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme a la Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.
Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang, yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.
Karena itu tepat yang dikatakan filsof fenomenologis, Martin Heidegger, "a boundary is not that at which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing." Kosmos tidak lagi dibatasi bentangan spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi atau dipigura horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual itu.
MENGINGAT kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu, maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas "lensa" yang menciptanya, akan membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas "intensionalitas" lensa itu dan membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan kosmos tertentu.
Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan (faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan era "postmodern" yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomen-fenomena keseharian.
Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi, sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.
Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi dasar-dasar etis bagi relasi sosial.
Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri ignoran terhadap kosmogoni dan kosmologi modern, yang berciri fenomenologis-virtual-intensional, akan membuat kita sekadar menjadi "bidak-bidak catur" yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang rumit dan kompleks.
Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem atau jaringan tindakan, maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan, yang mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya, menjadi kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual itu. Kita tidak akan pernah menjadi subjek!
Robertus Wijanarko Rohaniwan, mahasiswa S-3 Filsafat DePaul University, Chicago
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/opini/275463.htm
Pemahaman Absolut
Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Bowie, Lee G., Michaels, Meredith W., Solomon, Robert C. Twenty
Questions "An Introduction to Philosophy. Harcourt Brace & Company,
3rd ed. Kierkegaard 72- 75
Diterjemahkan dari: Cyberessays
Antropologi Keyakinan
Kegagalan melembagakan demokrasi, atau paling tidak ketiadaan orientasi ide untuk menuntun pelembagaan itu, membawa kecemasan politik bagi mereka yang berkehendak mewujudkan suatu masyarakat terbuka.
Ruang politik yang kini membesar justru lebih terasa dihuni pekerja-pekerja "politik identitas", yaitu mereka yang berjuang untuk suatu cita-cita politik absolut, terutama karena mendasarkan perjuangan politik pada doktrin keagamaan. Lebih karena keyakinan final tentang "moralitas politik" agama, yang sebagian merupakan lanjutan obsesif dari perdebatan tentang dasar negara pada awal pendirian RI, politik identitas itu memperoleh reperkusi historisnya dari perkembangan sejenis di dunia internasional.
Globalisasi tidak dipandang oleh politik identitas sebagai sarana percaturan ide-ide global, tetapi dimusuhi sebagai penghalang pelaksanaan keyakinan politik agamais. Fundamentalisme pasar berhadapan dengan fundamentalisme nilai, tidak di dalam upaya sintetik untuk mencapai stabilitas relatif sistem dunia modern, tetapi berhadap-hadapan dalam pertarungan kategoris tentang kebenaran absolut. Globalisasi secara kategoris dirumuskan sebagai sumber penghancuran peradaban, sementara agama, dalam versi konservatifnya, diajukan sebagai solusi satu-satunya peradaban baru.
Kendati kontrapolasi itu mengandung banyak kepalsuan, mengingat begitu seringnya kohesifitas keagamaan terbelah karena persaingan politik dalam kelompok itu sendiri, namun nada umum politik global memperdengarkan disharmoni politik antara pendukung etika kosmopolitan dan pembela logika politik akhirat.
Dalam jargon clash of civilization, tersimpan psikologi absolut dari persaingan politik global. Nilai-nilai absolut telah melampaui parameter-parameter konvensional politik dunia. Gejala ini cukup kasatmata: akumulasi kapital dan teknologi bukan lagi nilai utama yang dikejar, tetapi sekadar alat untuk mewujudkan suatu impian ideologi yang absolut. Dalam praktik terorisme mutakhir, prinsip ini bekerja amat sempurna.
Konstruksi historis global inilah yang kemudian menjadi latar perkembangan politik identitas di Indonesia sekarang ini. Namun, sumber-sumber politik identitas itu juga memiliki akar-akar lokal. Memang kondisi otoritarianisme Orde Baru telah menghambat artikulasi kultural dari politik identitas itu, melalui teknik-teknik politik korporatisme, kooptasi, dan represi. Ekonomi Orde Baru telah berfungsi memoderatkan penyebaran sosial dari politik identitas, melalui monetisasi kehidupan umum, dan berbagai insentif kesejahteraan umat. Namun, antropologi bangsa ini rupanya memang kuat bertumpu pada antropologi keyakinan, yaitu kecenderungan untuk memandang kehidupan secara ideologis, secara absolut. Akibatnya, penampilan ulang politik identitas justru menjadi-jadi ketika politik mengalami keterbukaan maksimal dan ekonomi mengalami penurunan total.
Kontrak sosial demokrasi
Kita tentu tidak ingin kembali pada suasana otoritarian karena jaminan terhadap demokrasi tidak di dalam rangka tukar tambah politik dengan larangan terhadap politik identitas. Yang ingin kita upayakan adalah suatu kerangka kerja demokrasi yang mampu menghargai kondisi antropologis bangsa ini, sekaligus mampu mengembangkan kultur kritisisme individu dalam kebudayaan politik, yaitu kultur yang secara sosial dapat mencegah perwujudan-perwujudan absolut dari tuntutan- tuntutan politik identitas itu. Kultur semacam itu pertama-tama dimaksudkan untuk mendorong pertukaran kepentingan di antara warga negara, berdasarkan prinsip bahwa politik adalah gejala temporer yang harus lepas dari obsesi-obsesi permanen.
Kita telah memilih demokrasi. Memilih menjalankan politik majemuk. Memilih melaksanakan hak asasi manusia. Karena itu, kita harus menerima konsekuensi tertinggi, yaitu kemajemukan harus menghasilkan kesementaraan tujuan. Tidak ada finalitas dalam kemajemukan. Demokrasi tidak mungkin mensponsori suatu pandangan politik tunggal. Demokrasi adalah jaminan rasional terhadap keragaman tujuan hidup individual. Dengan cara itu, hak asasi manusia dapat diselenggarakan secara maksimal. Karena itu, hal maksimal yang dapat disediakan demokrasi adalah fasilitas konstitusi untuk konsensus sekuler di antara berbagai kepentingan temporer. Inilah kontrak sosial sesungguhnya dalam kehidupan publik, yaitu bahwa jarak politik antara warga negara hanya boleh diukur berdasarkan ayat-ayat konstitusi, dan bukan dengan ayat-ayat suci.
Menerima pluralisme berarti menerima etika politiknya, yaitu bahwa semua obsesi politik yang absolut, yang mengejar finalitas, hanya boleh dipraktikkan di wilayah privat. Ini bukan diskriminasi dalam demokrasi, tetapi konsekuensinya.
Artinya, sejauh "politik identitas" hanya bermaksud artikulatif, maka sistem demokrasi harus menampung dan memperlakukannya sebagai politics of difference, yaitu suara marjinal yang harus dilindungi. Namun, begitu ia mulai bermaksud akumulatif, yaitu berupaya menghomogenkan ruang publik dengan mengintrodusir prinsip-prinsip politik absolut, demokrasi harus segera menolaknya karena ia mengancam prinsip dasar demokrasi itu sendiri: ruang publik tidak boleh dirumuskan secara final. Ia harus bebas dari obsesi-obsesi absolut.
Ruang politik adalah ruang relatif, ruang falibilis, ruang profan. Itulah sebabnya kita mendaur ulang politik setiap lima tahun. Namun, kita tidak membuat pilkada untuk Tuhan.
Rocky Gerung Pengajar Filsafat FIB UI
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/opini/2678803.htm
Jumat, 03 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar