Rabu, 18 Juli 2007

macam skripsi

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah
Urgensi jual beli tidak bisa dipandang sebelah mata, bisnis selalu memegang peran penting di dalam kehidupan sosial ekonomi sepanjang masa. Karena kekuatan ekonomi mempunya kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensinya dapat emmpengaruhi terhadap individu, sosial, regional, nasional dan internasional. Allah telah menjadikan manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, supaya mereka saling tolong-menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau usaha yang lain, baik dalam urusan pribadi sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.

Keterlibatan orang Islam dalam jual beli bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Namun orang Islam saat ini menghadapi masalah terkait dalam jual beli yang dilakukan anak yang belum mumayiz. Pada dasarnya semua jual beli dalam literatur Islam termasuk kategori muamalah yang dibahas dalam bab buyu’ yang hukum asalnya secara prinsip boleh, berdasarkan kaidah fiqh yaitu hukum asal segala suatu termasuk mu’amalah adalah boleh. Hubungan benda dengan pemilikan sangat erat kaitannya, seakan dua hal itu adalah satu. Sangatlah sukar untuk menggambarkan suatu kehidupan manusia tanpa kepemilikan sama sekali, sekurang-kurangnya untuk sesuatu yang ia makan dan ia pakai untuk memenuhi dan mempertahankan hajat hidupnya.

Naluri kepemilikan dan kecenderungan untuk memiliki adalah sangat kuat dalam diri manusia seolah-olah naluri tersebut menyatu dengan naluri mempertahankan hidup itu sendiri. Ajaran Islam tidak menutup mata dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada diri manusia, bahkan kenyataan itu dalam tingkatnya yang sempurna telah direkam dalam al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 14, sebagai berikut;:

زين للناس حب السهوات من النساء والبنـين والفناطرين المقنطرة من الدهب والفضة والحيل المسومة والانعام والحرث ذلك متاع الحيوة الدنيا والله عنده حسن الماءب (العمران|3|14)

Terjemahnya: Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, hata yang banyak dari jenis perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading, itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allahlah tempat yang baik. .(QS. Ali Imron/3: 14)[1]



Pada ayat lain juga dijelaskan bahwa harta benda itu merupakan perlambang dari kehidupan manusia, hal ini tercantum dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46, sebagai berikut;

المال والبنون زيـنة الحيوة الدنيا والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوابا وخير املا (الكهف|18|14)

Terjemahnya: Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhan, serta lebih baik untuk menjadi harapan. .(QS. 18: 14)[2]

Oleh karenanya harta benda tidak boleh dibenci dan hasrat untuk memilikinya tidak boleh dimatikan, tetapi hanyalah dijinakkan dengan mujahadah serta memahami ajaran Lillah-Billah, Lirrosul-Birasul, Lilgouts-Bilgauts.

Salah satu aspek sumber pemilikan harta dalam agama Islam, adalah jual beli atau dengan kata lain interaksi dua pihak dengan mengadakan suatu statement tentang harga, satu pihak menyerahkan harganya (pembeli) dan dipihak lain menyerahkan barangnya (penjual), menurut aturan tertentu dan dalam waktu tertentu pula.

Persepsi yang berbeda dalam pemahaman sumber hukum dan kesempatan yang luas untuk bertindak hukum serta didorong oleh keinginan-keinginan untuk memiliki harta yang banyak, untuk memenuhi hajat hidup, maka teknis pelaksanaan jual beli di masyarakat beraneka ragam. Keanekaragaman itu terjadi pada subyek hukum, dan juga terjadi pada obyek hukum jual beli.

Selanjutnya guna memberikan gambaran tentang jual beli yang tidak langsung atau menggunakan tenaga orang lain sebagai subyek huku, maka penulis merasa tertarik menguraikan pikiran dalam sebuah karya ilmiah dengan judul; “Akad Jual Beli yang Dilakukan Anak Belum Mumayis dalam Perspektif Hukum Islam”

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang masalah di atas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana hukum Islam memandang jual beli yang dilakukan oleh anak belum mumayiz?”

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka terdapat beberapa tujuan dalam pembahasan skripsi ini diantaranya:

“Untuk mengetahui jual beli yang dilakukan oleh anak belum mumayiz menurut hukum Islam?”

D. Kegunaan Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini diharapkan berguna bagi penyusun sediri khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Adapun diantara kegunaan pembahasan dalam skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis: Dapat menjadi sumbangan bahan pemikiran untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan kesyari’ahan bagi mahasiswa dan masyarakat.

2. Secara praktis: Pembahasan ini dapat menyelesaikan permasalahan yang menyangkut pertimbangan hukum tentang keabsahan jual beli yang dilakukan oleh anak belum mumayiz, yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam bentuk barang dan jasa.

3. Untuk menambah perbendaharaan bacaan di perpustakaan STISWA yang sampai saat ini masih kekurangan referensi.

E. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dan menyatukan pemahaman terhadap judul skripsi ini yaitu “Akad Jual Beli yang Dilakukan Anak Belum Mumayis dalam Perspektif Hukum Islam”, maka perlu ada penegasan judul skripsi tersebut. Adapun arti dari istilah tersebut adalah sebagai berikut:

Akad; menurut bahasa adalah ikatan yang ada di antara ujung sesuatu barang, sedang menurut istilah pada ahli fiqih ialah ikatan ijab qabul menurut cara yang telah ditentukan dalam syari’at. Sedangkan menurut Hasbi ash-Shidieqie pengertian aqad adalah; “Robath (mengikat) yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda”.[3]

Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang dan sekaligus pembeli sebagai pihak yang membayar barang yang dijual.[4]

Yang dilakukan artinya yang dikerjakan atau dapat pula diartikan dilaksanakan atau dijalankan.[5]

Belum mumayiz adalah orang yang belum dewasa atau anak yang belum tamyiz, baik ditinjau dari segi hukum agama maupun ditinjau dari segi hukum lain.[6]

Jadi maksud yang dikehendaki dari judul skripsi ini ialah ingin mengetahui secara pasti mengenai keabsahan persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang dan sekaligus pembeli sebagai pihak yang membayar barang yang dijual yang dilakukan oleh anak belum mumayiz, menurut kaidah-kaidah syari’at Islam.

F. Metode Pembahasan
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan methode ilmiah guna menyelesaikan permasalahan yang akan dibahas. Dalam upaya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini diperlukan langkah-langkah berikut:

1. Sumber Data

Jenis penelitian yang dipakai dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian pustaka. Karena itu upaya pengumpulan data dalam skripsi ini ditekankan untuk menelusuri bahan pustaka semisal: Ar-Risalah, Al-‘Um, Fiqih al-Alim wal Mutha’alim dan Musnad, Al-Madzahib al-Arba’ah, Fiqhus Sunah, Fathul Wahab, Al-Muhaddab, Kifayatul Akhyar dan lain-lain.



2. Jenis Data

Adapun jenis data yang diperoleh dari sumber data pustaka adalah sebagai berikut:

a. Tentang hukum jual beli baik mengenai jenis benda yang dijualbelikan, kadar besar kecilnya, rukun dan syarat wajib jual beli.

b. Tentang hal-hal yang bisa dijadikan sebagai syarat gugurnya seorang yang melakukan aqad jual beli. Dan diantara penyebab gugurnya.

c. Tentang jual beli menurut pendapat ulama’.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengingat sumber datanya adalah penelitian pustaka, maka tehnik pengumpulan datanya dengan cara mengumpulkan beberapa literature untuk ditelaah bagiannya. Setelah data-data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mendiskripsikan dasar-dasat tersebut.

4. Analisa Data

Data-data yang penulis peroleh dari penelitian adalah data kualitatif,[7] maka metode analisa data yang digunakan adalah:

a. Metode Deduktif: yaitu metode pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum dan ditarik ke dalam hal-hal yang bersifat khusus.[8] Contoh: Jual beli dapat mendatangkan keuntungan dan perputaran modal, tapi banyak orang yang tidak menerima keuntungan karena adanya paksaan.

b. Metode Deskriptif, yaitu menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adannya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (generalisasi).

c. Metode Komparatif, yaitu suatu upaya untuk membandingkan atau beberapa pandangan dengan teknik menguraikan pandangan secara tuntas atau satu persatu yang ditemukan dalam bentuk analisa.[9] Dalam hal ini dengan cara mengkombinasikan metode induktif dan deduktif kemudian ditarik satu kesimpulan dengan terlebih dahulu mengkaji dan kemudian menganalisa data untuk menghasilkan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dimaksud.

5. Cara Pendekatan

Cara pendekatan dalam masalah yang dibahas pada paparan skripsi ini diantaranya menggunakan pendekatan:

a. Pendekatan Tekstual: Yaitu analisa teks dalil-dalil baik yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijtihad Ulama Fiqh.

b. Pendekatan Normatif: Yaitu dengan cara melihat aturan hukum yang sudah ada, dipegangi dan sudah berlaku semisal hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

G. Sisematika Pembahasan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan skripsi ini benar-benar mengarah pada tercapainya tujuan pembahasan, maka penulis membuat sistematika pembahasan skripsi ini agar mempermudah pembahasan terhadap masalah yang disajikan.

Adapun sistematika pembahasan skripsi ini adalah terdiri dari beberapa bab dan sub-sub yang perinciannya sebagai berikut:

Bab I: Berisi pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan, kegunaan pembahasan, definisi operasional, metode pembahasan dan sistematika pembahasan.

Bab II: Berisi tinjauan umum tentang jual beli, meliputi pengertian jual beli, syarat dan rukun jual beli, dasar hukum jual beli.

Bab III: Berisi tentang Tinjauan Hukum Islam yang meliputi Maqosid Hukum Islam, dan Pengertian hukum Islam.

Bab IV: Berisi Pembahasan hasil analisa akad jual beli menurut hukum Islam dan jual beli yang dilakukan anak belum mumayiz menurut hukum Islam.

Bab V : Berisi penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.







BAB II

PENGERTIAN JUAL BELI DALAM ISLAM



Pengertian Jual Beli
Sebelum membahas pengertian jual beli menurut ahli fiqh, penulis lebih dahulu mengemukakan jual beli menurut bahasa.

Arti Menurut Bahasa

Asal makna jual beli ialah;

قابلة شيء بشيء

Artinya: “Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”[10]

Sedangkan menurut Imam Taqiyuddin dalam kitabnya “Kifayatul Ahyar” memberi definisi bahwa jual beli adalah:

اعطاء شيء فى مقابلة شيء

Artinya: Memberikan sesuatu untuk ditukar dengan sesuatu yang lain.[11]

Adapun menurut pokok-pokok hukum perdata arti jual beli adalah “sesuatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyenggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya”.[12]

Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 16 Allah Swt. telah berfirman;

أولئك الذين اشتروا الضلالة بالهدى فما ربحت تجارتهم وما كادوا مهتدين (البقرة : 16)

Terjemahanya; “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, mereka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”.[13] (QS. al-Baqarah: 16).

Demikian juga dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 111 Allah Swt. telah berfirman;

إن الله اشترى من المؤمنين أنفسهم وأموالهم بأن لهم الجنة يقاتلون فى سبيل الله فيقتلون ويقتلون وعدا عليه حقا فى التوراة والإنجيل والقرأن (التوبة : 11)

Terjemahanya; “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh (itu telah terjadi) janji yang besar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an”.[14] (QS. at-Taubah: 16).

Dari dua ayat di atas, nampak jelas bahwa lafadz “isytaro” menunjukkan arti membeli, sedang dalam ayat yang lain mempunyai arti menjual, seperti firman Allah Swt. surat Yusuf ayat 20 yang berbunyi;

وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وكانوا من الزاهدين (يوسف : 20)

Terjemahnya: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dhinar saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinyaa pada Yusuf”.[15] (QS. Yusuf: 20).

Dari uraian dan beberapa ayat di atas, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa jual beli menurut bahasa mempunyai arti menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan jalan/cara tertentu.

Arti Menurut Istilah

Ada beberapa definisi dalam mengartikan pengertian jual beli, namun pada hakekatnya maksud dan tujuannya sama. Syekh Muhammad Isma’il as-San’ani dalam kitabnya “Shubulus Salam” mendefinisikan jual beli sebagai berikut;

تمليك مال بمال عن تراض

Artinya: “suatu pemilikan harta dengan harta yang lain dengan saling rela”.[16]

Sedang Syekh Abi Yahya Zakariah al-Anshori dalam kitabnya “Fathul Wahab” mengemukakan jual beli dengan;

مقابلة مال بمال على وجه مخصوص

Artinya: “Tukar menukar harta dengan harta (sesuatu) yang lain dengan jalan tertentu”[17]

Dari beberapa definisi istilah jual beli tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual dan semua itu dilakukan dengan rela sama rela.

Dengan demikian, maka dalam jual beli itu melibatkan dua pihak, satu pihak yang menyerahkan uang selaku pembeli dan pihak lain yang menyerahkan barang sebagai ganti atas uang yang diterimanya (penjual).

Syarat dan Rukun Jual Beli
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan dasar umum dalam segala aktifitas manusia di muka bumi ini terutama dalam bidang ekonomi yang senantiasa dituntut harus mentaati peraturan-peraturan yang digariskan (diatur) dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Jual beli di syah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

Adapun rukun dan syarat jual beli yang seharusnya dipenuhi bagi pelaku jual beli adalah sebagai berikut;

1). Adanya aqid atau orang yang melakukan aqad yakni penjual dan pembeli.

2). Adanya sighat aqad dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

3). Adanya barang yang menjadi obyek dari jual beli (ma’qul alaih).

1. Aqid

Yang dimaksud dengan aqid adalah orang-orang atau pihak-pihak yang melakukan aqad (jual beli). Jual beli tidak akan terwujud tanpa adanya pihak yang melakukan, karena itu aqid sangat berperan dalam menentukan terwujudnya transaksi jual beli. Dengan demikian aqid merupakan rukun pertama yang harus dipenuhi, sebagai pihak yang melakukan proses jual beli yakni penjual dan pembeli. Hal ini dapat dilihat pada waktu terjadi transaksi jual beli dimana pada saat itu pula ijab dan qabul (sighat) baru terwujud apabila dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.

Untuk memenuhi keabsahan dalam melakukan transaksi jual beli, maka penjual dan pembeli (aqid) harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu;

a. Aqid hendaknya mumayiz atau bisa membedakan baik dan buruk

Adapun anak-anak yang sudah mengerti (mumayiz) tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama’, mereka diperbolehkan melakukan jual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak diperbolehkan, sudah barang tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sendiri tidak akan menetepkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya. Sedangkan jual beli yang dilakukan hamba sahaya hukumnya tidak sah sekalipun mukallaf begitu juga orang gila dan orang buta.

b. Hendaknya orang yang melakukan aqad harus muktar artinya tidak dipaksa dan atas kehendak sendiri hal ini berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi;

لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم (النساء:29)

Terjemahnya: Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.[18] (QS. An-Nisa’: 29)

Dan berdasarkan keterangan dari hadits nabi Muhammad saw. yaitu;

عن داود بن صالح المدنى عن أبيه قال سمعت أبا سعيد الخضرى قال : قال رسول الله ص.م. إنما البيع عن تراض. (رواه ابن ماجه)

Artinya: Dari Dawud bin Sholeh al-madani, dari ayahnya berkata: “Saya mendengar, Abi Sa’id al-Khudhari berkata bahwa Rasulullah saw bersabda; “sesungguhnya jual beli atas dasar saling merelakan” (HR. Ibnu Majah).

2. Sighot Aqad

Pengertian aqad menurut bahasa adalah ikatan yang ada di antara ujung sesuatu barang, sedang menurut istilah pada ahli fiqih ialah ikatan ijab qabul menurut cara yang telah ditentukan dalam syari’at.

Sedangkan menurut Hasbi ash-Shidieqie pengertian aqad adalah;

الربط وهو جمع طرفي حبلين ويشد أحدهما بالأخر حتى يتصل فيصبحا كقطعة واحدة

Artinya: “Robath (mengikat) yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda”.[19]

Sedangkan pengertian aqod secara istilah;

ارتباط إيجاب بقول على وجه مشروع يظهر أثره فى محله.

Artinya: “Perikatan ijab dengan qobul secara syari’at Agama nampak bekasnya pada yang diaqodkan itu”.[20]

Sebagai contoh perkataan penjual, umpanya; “saya jual barang ini sekian”, kemudian si pembeli menjawab; “saya terima (saya beli) dengan harga sekian”. Perkataan yang disampaikan oleh penjual disebut dengan ijab sedang ucapan atau jawaban yang diutarakan oleh pembeli disebut dengan qabul.

Aqad itu syah dilakukan dengan cara apa saja yang penting menunjukkan kepada maksudnya, baik dengan perkataan atau perbuatan. Maka segala sesuatu yang dipandang oleh manusia sebagai jual beli maka itulah jual beli, sekalipun terdapat perbedaan istilah dan lafadz dan perbuatannya.

Aqad itu syah bagi apa saja yang dimengerti oleh masing-masing bangsa, baik dalam sighat maupun dalam af’al, karena itu tidak ada pembatasan tertentu dari syara’ dalam segi bahasa, jadi aqad boleh dengan istilah yang mereka pergunakan menurut bahasa mereka. Prinsip ini dipegang oleh Imam Malik dan Madzhab Ahmad.

Dengan memperhatikan segala bentuk ketentuan syara’ maka dapat diambil kesimpulan bahwa aqad jual beli dapat dilakukan dalam segala macam pernyataan yang dapat difahami maksudnya oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad, baik dalam bentuk pernyataan (sighat) dan perbuatan (af’al), serta isyarat bagi orang bisu, maupun dalam bentuk tulisan (kitabah) bagi yang saling berjauhan.

Adapun sighat ijab qabul yang merupakan rukun jual beli harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Keadaan ijad dan qabul berhubungan, artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.

b. Makna keduanya hendaknya mufakat (sama). Artinya ada kesepakatan dalam ijad qabul mengenai barang dan harga barang tersebut dengan rela, walaupun lafadz keduanya berlainan.

c. Keduanya tidak disangkutkan (digantungkan) dengan urusan yang lain, seperti perkataan “Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian”

d. Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak syah.

Ungkapan ijad qabul tidak harus sama hanya disesuaikan dengan adat kebiasaan yang ada, seperti yang tertulis dalam buku “Fiqih Islam” karya Sulaiman Rasyid sebagai berikut:

Lafadz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal semacam itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada satu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafadz berdasarkan pendapat Imam Nawawi, Mutawali, Bagami dan para ulama’ lainnya..[21]



3. Ma’qul ‘Alaih

Dalam aqad jual beli agar menjadi syah harus ada ma’qul ‘alaih, yaitu barang yang menjadi obyek jual beli, dan ma’qud ini merupakan barang yang diperjualbelikan atau sesuatu yang digunakan untuk membeli harus memenuhi persyaratan-persyaratan diantaranya;

a. Barang yang diperjualbelikan harus suci. Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak. Sabda Rasulullah saw.;

عن جابر بن عبد الله قال رسول الله ص.م. يقول عام الفتح وهو بمكة أن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى بها الجلود ويستصبح بها الناس؟ قال لا هو حرام قاتل الله اليهودان لما حرم عليهم شحومهما حملوه ثم باعوه فأكلوا ثمنه (رواه مسلم)

Artinya: Dari Jabir Abdullah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Pada waktu terbukannya kota Mekkah “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala. “Pendengar bertanya, bagaimana dengan lemak bangkai, ya rasulullah, karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit dan minyak lampu”. Jawab beliau tidak boleh semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya”.[22] (HR. Muslim)



b. Barang yang dijualbelikan harus ada manfaatnya, maka tidak boleh menjualbelikan barang yang tidak ada manfaatnya.[23]

c. Keadaan barang harus bisa diserahterimakan, maka tidak sah menjual sesuatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya menjual ikan dalam laut, barang yang sedang dijaminkan, burung yang masih lepas, karena semua wujud barangnya tidak ada atau ada tapi tak dapat diserahterimakan. Kecuali jual beli saham, jual beli sesuatu yang belum ada, tetapi sifat-sifatnya dan bentuk-bentuknya telah ditentukan dan ada pada tanggungan penjual, sebab jika keadaan barang tidak dapat diserahkan, kemungkinan besar akan terjadi penipuan, kekecewaan pada salah satu pihak. Dan demikian itu dilarang oleh hukum Islam karena termasuk dalam kategori jual beli ghoror. Nabi saw. bersabda;



Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Ia berkata: Bahwasannya Nabi saw. melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli ghoror atau mengandung tipudaya.[24] (HR. Muslim).

d. Barang yang diperjualbelikan milik sendiri, milik yang diwakilinya atau yang menguasakannya. Tidak sah menjualkan barang milik orang lain tanpa seizing yang punya.[25]

e. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli, baik dzatnya, bentuk, kadar maupun sifatnya, sehingga tidak terjadi keluh mengeluh di antara kedua belah pihak. Begitu pula harganya harus ada kesepakatan sehinga terhindar dari pertentangan.[26]

Sedang sesuatu yang sudah dimaklumi menurut adat kebiasaan seperti jual pohon, kacang tanah yang masih dalam tanah, walaupun belum bisa dideteksi baik atau tidaknya, hal tersebut diperbolehkan karena sudah adat kebiasaan. Seandainya terjadi kerugian tidak dipermasalahkan dan semua itu karena kemaslahatan serta untuk memudahkan pekerjaan.

Dari kelima hal tersebut di atas, ada sebagian ulama’ yang mengharuskan memenuhi kelima point di atas tapi juga ada yang memperbolehkan salah satu point tidak terpenuhi.

Dalam jual beli dikenal beberapa alat pembayaran yang sering dipergunakan dalam transaksi jual beli, diantaranya;

a. Uang

Uang dalam proses perekonomian perdagangan uang mempunyai daya guna yang relatif besar, yaitu sebagai alat pembayaran di samping sebagai hitungan serta pembayaran dengan menggunakan uang sangat fleksibel, dibandingkan proses pembayaran dengan lainnya.

b. Barang

Di dalam pembayaran yang dilakukan dengan barang pada prinsipnya tidak boleh sama jenisnya dengan barang yang diperjualbelikan. Seandainya sama maka harus memenuhi ketentuan agar jual belinya menjadi sah. Seperti yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Swt. dalam sabdanya;

عن عبادة بن صامت قال النبي ص.م. الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والثمر بالثمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأصناف فبايعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد (رواه أحمد ومسلم)

Artinya: “Dari Ubaidah bin Shamit, Nabi bersabda: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, henaknya sama banyaknya, serta kamu jual sekehendak kamu dengan tunai”[27]

Dari hadits tersebut dapat dijelaskan bahwa jual beli barang harus berimbang dan sama antara nilai, bentuk dan jumlahnya.

Dasar Hukum Jual Beli dan Barang-barang yang Dilarang Diperjualbelikan
Dasar Hukum

Adapun yang menjadi dasar hukum tentang disyari’atkannya jual beli, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits adalah sebagai berikut;

وأحل الله البيع وحرم الربا (البقرة : 275)

Terjemahannya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”[28] (QS. al-Baqarah: 275).



Dari ayat tersebut di atas, jelas bahwa Allah telah mensyari’atkan dan menghalalkan jual beli. Dan melarang keras jual beli yang mengandung riba atau yang mengarah padda bentuk jual beli yang merugikan orang lain. dalam ayat lain Allah juga menegaskan;

ياأيها الذين أمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما (النساء :29)

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.[29] (QS. An-Nisa’: 29)



Ayat tersebut menjelaskan kepada manusia bahwa diharamkan bagi semua orang memakan harta sesama dengan jalan yang batil, baik itu dengan jalan mencuri, merampok, memeras, ataupun dengan jalan yang lain yang tidak dibenarkan agama, keuali dengan perniagaan atau jual beli yang didasari atas suka sama suka, Nabi Muhammad saw, bersabda;

عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه أن النبي ص.م. سئل أي الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل البيع مبرور (رواه البر وصححه الحاكم)

Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya: “usaha apakah yang paling baik”? Rasulullah menjawab; “perbuatan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur)”.[30]

Dari hadits tersebut dapat difahami bahwa usaha seseorang yang baik adalah usaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan setiap jual beli yang didasari dengan hati yang jujur tanpa adanya kecurangan dan penipuan.

Jual Beli dilihat dari segi Hukum

Jual beli kalau dilihat dari segi hukumnya dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam yaitu:

Jual beli mubah, yaitu hukum asal dari jual beli itu sendiri.

Jual beli wajib, sebagaimana seorang qodli yang menjual barang atau harta seorang muflis (orang yang lebih banyak hutangnya dari pada hartanya).

Jual beli haram, yaitu jual beli barang atau sesuatu yang dilarang oleh syara’ seperti menjual khomr, bangkai, dan smacamnya.

Jual beli sunah, seperti jual beli pada sahabat atau famili yang dikasihi dan kepada orang yang sangat berhajat pada barang itu.[31]

Barang-barang yang Dilarang Diperjualbelikan

Segala sesuatu barang apapun yang membawa pada kemaksiatan, maka memperjualbelikan barang tersebut dilarang dalam agama Islam. Atau sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, tetapi bagian dari macam kemaksiatan, maka membeli atau memperdagangkan hukumnya haram. Misalnya babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan, berhala dan sebagainya, karena memperdagangkan barang tersebut dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat atau mendekatkan dan mempermudah manusia untuk melakukan kemaksiatan. Dengan diharamkannya memperdagangkan hal-hal semacam itu secara tidak langsung telah memperlambat kepada perbuatan maksiat dan menjauhkan dari perbuatan yang mungkar.

Di dalam jual beli ada beberapa syarat-syarat yang mesti harus dipenuhi agar dalam berjual beli menjadi sah, diantaranya adanya ma’qud’alaih (orang yang menjadi obyek jual beli) harus tidak mengarah kepada perbuatan maksiat.

Sebagaimana hadits Rasulullah saw.:

عن جابر بن عبد الله قال رسول الله ص.م. يقول عام الفتح وهو بمكة أن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام فقيل يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى بها الجلود ويستصبح بها الناس؟ قال لا هو حرام قاتل الله اليهودان لما حرم عليهم شحومهما حملوه ثم باعوه فأكلوا ثمنه (رواه الجماعة)

Artinya : Dari Jabir Abdullah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda; Pada waktu terbukannya kota Mekkah “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala. “Pendengar bertanya, bagaimana dengan lemak bangkai, ya rasulullah, karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit dan minyak lampu”. Jawab beliau tidak boleh semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya”.[32].

Dalam hadits tersebut di atas Rasulullah saw. tidak memberi petunjuk atau menjelaskan kepada para sahabat mengenai pengharaman pemanfaatan barang-barang tersebut di atas, begitu juga Rasulullah tidak memberikan keringanan dalam memperjual belikan barang-barang tersebut dan tidak pula mencegah untuk dimanfaatkan. Illat pengharaman jual beli barang (babi, khomr, dan bangkai) adalah Karena najis. Begitu pula menurut jumhur ulama segala bentuk barang yang najis haram diperjualbelikan.

Kenajisan daging babi sebagaimana dijelaskan Abdurrahman al-Jaziri, adalah diqiyaskan pada kenajisan pada anjing karena antara kedua hewan tersebut mempunyai kesamaan dalam hal tingkah lakunya:

واما نجاسة الخنزير فبالقياس على الكلب لأنه أسواء حالا منه
Artinya: “Adapun najisnya babi maka diqiyaskan pada najisnya anjing, karena mempuyai kesamaan dalam tingkahnya”.[33]

Sedangkan khome adalah najis karena firman Allah Swt. menegaskan :

إنما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان (المائدة: 9)

Terjemahnya: “Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaitan” (QS. Al-Maidah : 90).[34]

Sebagian golongan berpendapat bahwa ia suci sedang kata-kata najis pada ayat mereka menafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “najis” dihubungkan dengannya, padahal semua itu sekali-kali dapat dikatakana najis biasa. Firman Allah :

.... فاجتنبواالرجس من الاوثان (الحج: 30)

Terjemahnya: “….Hendaklah kamu jauhi najis yang berupa berhala” (QS. Al-Hajj : 30).[35]

Pemahaman najis khamr sebagai najis maknawi saja tersebut sesuai dengan penjelasan para mufassir bahwa dalam ayat tersebut ada di tajsirkan, ia merupakan pekerjaan syaitan yang menimbulkan permusuhan dan saling membenci serta jadi penghalang terhadap mengingat Allah dan melakukan shalat

Menurut madzhab Hanafi dan Zahiri mengecualikan barang yang ada manfaatnya, hal itu dinilai halal untuk dijual untuk itu mereka mengatakan: diperbolehkan seseorang menjual kotoran-kotoran atau tinja dan sampah-sampah yang mengandung najis, karena itu sangat dibutuhkan dalam menyuburkan tanaman.

Demikian pula diperbolehkan menjual setiap barang yang najis yang dapat dimanfaatkan bukan tujuan memakannya dan meminumnya, seperti minyak najis yang digunakan untuk keperluan bahan bakar penerangan dan cat untuk pelapis, serta mencakup semua barang yang sejenisnya boleh diperjualbelikan sekalipun najis, hanya terbatas pada pemanfaatannya bukan bermaksud untuk dimakan atau diminum.

Setelah memperhatikan hal-hal yang menjadi syarat sah jual beli dalam Islam walaupun sebatas mengemukakan pendapat madzhab Hanafi dan Zahiri, namun dapat dianggap cukup untuk memberi gambaran mengenai jual beli dalam Islam.

BAB III

TINJAUAN TENTANG HUKUM ISLAM



A. Maqosid Hukum Islam
Munculnya hukum Islam merupakan pergulatan intelektual yang panjang dan intensif. Para konseptor hukum Islam sosial, tidak hanya menghadapi penguasa politik, melainkan juga mendapat tantangan dari dalam, terutama ulama yang mensikapi teks-teks klasik dengan istilah lain semangat membara.[36] Yakni, mereka yang memandang teks dengan hati-hati. Begitu berhati-hatinya sampai tidak berani mengkritik sedikitpun. Istilah mazhab manhaji sebagai salah satu ciri hukum Islam, hemat penulis hanyalah strategi saja, agar wacana hukum Islam mendapat ruang dalam masyarakat Islam. Dan memang terbukti, secara perlahan namun pasti, gagasan itu diterima dalam kalangan masyarakat Islam.

Selain itu, istilah mazhab manhaji juga dipandang sebagai upaya kompromistik antara mempertahankan sistem bermazhab dengan respon masyarakat Islam terhadap tuduhan sikap defensif pada perubahan. Namun, dengan lahirnya mazhab manhaji, bukan berarti bemazhab secara qauli dihilangkan. Keduanya berlaku dalam wilayahnya masing-masing. Jika mazhab qauli (tekstual) berlaku bagi orang awam yang tidak mempunyai pilihan lain selain bermazhab, maka mazhab manhaji berlaku bagi ulama yang sudah memiliki perangkat keilmuan tetapi belum mencapai derajat mujtahid mutlak mustaqil.[37]

Sistem bermazhab seperti ini, dengan demikian tidaklah dimaksudkan untuk mempertentangkan antara ijtihad dan taqlid melainkan untuk merangkai keduanya dalam proporsi yang serasi. Sehingga dalam pengertian metodologis, bermazhab lalu dipahami sebagai kerangka dasar untuk melakukan ijtihad, meskipun itu berupa “ijtihad muqayyad” (ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum/istinbath al-ahkam) dari metode yang dipinjam dari orang lain. Dan, di sinilah medan para ulama masyarakat dapat mengambil dua kepentingan sekaligus, yakni pertama, pola bermazhab (yang sudah menjadi tradisi dalam komunitas) masih dipertanyakan; kedua, mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi, sehingga produk pemikiran masyarakat Islam tidak usang.

Perubahan metode bermazhab itu membawa konsekuensi berubahnya wacana dan orientasi produk pemikiran hukum Islam . Jika sebelumnya produk pemikiran hukum Islam dipengaruhi semangat eksklusivisme dan vested interest, maka setelah mazhab manhaji dicetuskan, lebih tertuju pada cita-cita masyarakat etik normatif: Suatu tatanan masyarakat yang emansipatoris, berkeadilan sosial dan egalitarian.

Wacana hukum Islam, diharapkan mampu menjadi landasan etik bagi umat untuk melakukan aktivitas politiknya secara bebas dan demokratis guna menegakkan tatanan dan struktur negara yang berkeadilan. Hal demikian tidak sulit bagi hukum Islam, karena memiliki ushul hukum Islam (legal theory) dan kerangka normatif yang bernama kaidah hukum Islam iyyah (legal maxims) dalam mengkokntruksi pemikiran hukum. Dalam kaidah hukum Islam itulah dapat diketahui adil dan tidaknya sebuah negara. Apakah negara berorientasi pada kemaslahatan umat atau mementingkan kelompok tertentu. Jadi, sebetulnya kehadiran hukum Islam sosial merupakan respon tegas terhadap pembelaan kaumtertindas baik secara politik maupun ekonomi, yang menjadi korban pembangunan. Ini terlihat dengan adanya konsep maslahah ummah yang menjadi muara hukum Islam sosial. Kepentingan umum (maslahah ummah) memang selama ini menjadi hak monopoli penguasa yang menafsirkannya.

Meskipun maslahat seperti dirumuskan berbeda dengan konsep maslahatnya Ath-Thufi dan Syathibi, tapi paling tidak sudah ada pemihakan yang jelas, yakni untuk pembelaan rakyat banyak. Di sini terlihat urgensi wacana pembelaan rakyat banyak. Di sini terlihat wacana hukum Islam sosial sebagai medium penguatan umat yang berdasarkan cita-cita etik profetis masyarakat Islam disebut masyarakat etik.[38] Masyarakat etik adalah masyarakat yang mampu mengembangkan tiga dimensi sekaligus meliputi humanisasi, liberasi dabn transendensi.

Humanisasi adalah proses pemanusiaan manusia, karena pola pikir industrial dan kecenderungan reduksionistik yang telah membawa masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Selain itu, akibat mesin politik dan mesin pasar telah menjadikan manusia menjadi objek yang tidak pernah memiliki otonomi dan kreatifitas. Potensi masyarakat Islam sia sebagai human dignity lenyap bersamaan dengan pemujaan manusia terhadap humanisme sekuler. Sementara itu, dimensi liberasi dimaksudkan agar setiap individu dalam masyarakat mampu membebaskan diri dari kekejaman kemiskian, keangkuhan teknologi dan pemerasan kelimpahan.

Kehadiran hukum Islam diharapkan mampu menyatukan rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kungkungan teknokratis dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Sedangkan aspek transendensi dimaksudkan untuk menambahkan dimensi transendental pada kebudayaan. Dimensi ini diperlukan untuk mencegah mamasyarakat Islam sia dari erosi hedonisme dan materialisme yang merupakan produk dari alam pikiran rasionalistik yang telah membawa mamasyarakat Islam sia pada budaya dekaden dan asing terhadap dirinya sendiri.

B. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam diformulasikan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslim dalam segala aspeknya baik yang bersifat individual maupun kolektif. Karakteristik yang serba mencakup inilah, menempatkan pada posisi penting dalam pandangan umat Islam. Bahkan sejak awal, hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan yang istimewa –suatu posisi yang belum pernah dicapai teologi.

Adapun tujuan disyari'atkannya hukum Islam adalah merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat mamasyarakat Islam sia. kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan mamasyarakat Islam sia yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni; dharuriyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyat (pelengkap).[39] Terdorong maksud untuk memberikan kemaslahatan itulah, ada bagian dalam hukum Islam yang dinamakan siyasah syar'iyah, yakni untuk membuat masyarakat lebih dekat kepada kebajikan dan menjauhi keburukan. Memasyarakat Islam rut Ash-Shiddieqy, siyasah syar'iyah pada dasarnya sama dengan maslahah mursalah itu sendiri.[40]

Jadi sejak awal syari'at Islam sebenarnya tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan mamasyarakat Islam saja. Ungkapan standar bahwa syari'at Islam dicanangkan demi kebahagiaan mamasyarakat Islam sia, lahir batin, dunia akhirat, sepemasyarakat Islam hnya mencerminkan kemaslahatan, tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap teks (nash), seperti dipromosikan oleh paham ortodoksi, telah membuat prinsip kemaslahatan sebagai jargon kosong.

Adalah Imam Syafi'i (w. 204/820 M) yang merintis paradigma ortodoksi untuk kalangan Sunni, ketika pertama, ia menandaskan bahwa tanpa sunah nabi, al-Qur'an hampir tidak bisa 'bunyi' dan kedua bahwa apa yang dimaksud dengan sunah nabi, tidak lain adalah tradisi nabi sebagaimana diungkapkan secara verbal (kemudian menjadi literer dalam kitab-kitab hadits) melalui mata rantai periwayatan yang teruji, shahih.

Abu Zayd secara tegas meragukan watak moderatisme Syafi'i dengan jaring-jaring epistemologinya dalam ilmu hukum Islam ,. Jaring-jaring itu adalah pembakuan model pemaknaan al-Qur'an sebagai teks "berbahasa Arab", teoritisasi sunnah sebagai sumber tasyri' yang otoritatif, perluasan arti sunnah sehingga mencakup Ijma' dan kemudian membonsai Qiyas agar aktifitasnya tidak keluar dari wilayah nash.[41] Akibatnya, terjadi penyampuran yang ruwet di antara teks-teks keagamaan. Tidak dapat dipilih lagi mana yang primer dan mana yang sekunder. Ini memasyarakat Islam njukkan --kata Abu Zayd-- bahwa watak moderat Syafi'i adalah semu, karena alur argumentasinya yang ekletik, terkesan seperti dipaksakan untu mempertahankan "Quraisy sentrisme" di dalam sejarah Islam

Berkat teori Imam Syafi'i ini, yang kemudian diyakini secara fanatik oleh para santrinya, Ahmad bin Hanbal, maka otoritas hadits menjadi tegak, tidak pernah dipersoalkan hampir 11 abad belakangan. Melebihi Syafi'i yang hanya memberikan otoritas kepada hadits sahih saja.

Hukum Islam sebenarnya upaya manusiawi, yang melibatkan proses penalaran (reasoning), baik dalam tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum agama.[42] Dengan menyebut mamasyarakat Islam siawi, dimaksudkan untuk membedakan dengan syari'at, yang secara longgar dipakai untuk menyebut agama Islam dan merujuk kepada hukum Tuhan sebagaimana terkandung dalam korpus-korpus wahyu, tanpa melibatkan unsur-unsur masyarakat Islam. pendeknya, hukum Islam adalah refleksi dari syari'at.

Karena sifatnya reflektif, dibutuhkan kemampuan kognitif guna menjabarkan teks-teks agama yang idealis ke dalam realitas sosial yang empiris. Inilah urgensi ijtihad. Karena hukum Islam timbul dari hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk hukum Islam yang dikenal dengan ushul hukum Islam (legal theory) dan qawa'id hukum Islam iyyah (legal maxim). Yang pertama dipahami oleh para ahli hukum Islam sebagai bangunan prinsip dan metodologi investigatif yang dengannya aturan-aturan hukum praktis memperoleh sumber-sumber partikularnya. Sedang yang terakhir lebih bercorak sebagai pedoman pengambilan hukum-hukum agama secara praktis, yang menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang melatarbelakangi suatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan.

Dua pendekatan yang cukup dominan dalam kajian hukum Islam, adalah pendekatan formalistik-legalistik dan pendekatan historis. Yang pertama, antara lain mencurahkan perhatiannya pada analisa aspek materi disiplin ilmu hukum Islam dan ushul hukum Islam seperti ibadah, mua’amalah, dan huquq al-ibad. Sedangkan kedekatan kedua, menitikberatkan dimensi historis hukum Islam .

Pendekatan formalistik-legalistik lebih banyak bergelut dengan “realitas” hukum Islam yang sudah “jadi”. Produk-produk hukum Islam , baik berupa aturan-aturan formal seperti pelbagai transaksi dalam bidang mu’amalah maupun bangunan teoritis hukum Islam seperti ijtihad dan maslahat, hampir secara keseluruhan diletakkan dalam dimensi yang transenden, lepas dari konteks kesejarahan. Itulah sebabnya, banyak kalangan yang menyebutnya sebagai pendekatan tekstualis—sebagai imbangan dari pendekatan kontekstual. Pemasyarakat Islam lis sebut sebagai pendekatan “formalis” dimaksudkan bukan hanya sebagai pendekatan tekstual, tetapi juga disebut sebagai pendekatan monolitik, sebuah pendekatan yang membatasi dirinya pada teks-teks tertulis dan kurang menaruh perhatian pada the living islamic tradition.

Sebagai antitesa terhadap metode pertama, muncullah pendekatan historis yang dikembangkan kalangan “modernis” dan orentalis. Mereka menggarisbawahi fungsi sosial hukum Islam , yang menilai bahwa syari’at bisa disesuaikan dengan dinamika perubahan sosial dan kemajuan zaman untuk mememasyarakat Islam hi kebutuhan masyarakat modern.[43] Pendekatan ini memandang hukum Islam sebagai a fact, bukan a practice. Fakta-fakta historis ditampilkan sebagaimana adanya sebagai penjelasan atas “kenyataan hukum Islam ”. Tidak sebatas itu—dalam mengangkat fakta-fakta tersebut—mereka mengabaikan munculnya dua pola berfikir antara “hukum relegius” dan “hukum positif” pada periode awal formasi hukum Islam. Padahal, dua bentuk produk hukum Islam itu tidak lepas dari konteks sosiologis, terutama jika dikaitkan dengan relasi-relasi kekuasaan.

Sebagai implikasi pendekatan yang terkesan positivis itu, hukum Islam direduksi dari fungsinya sebagai medium kritik sosial. Dengan kata lain, kalangan modernis lebih banyak menghadirkan hukum Islam sebagai instrumen rekayasa sosial, bukan sebagai pembebasan atas emansipasi sosial.

Akibatnya selanjutnya, setiap gejala hukum Islam yang berbeda dari pola berpikir yang dominan, cenderung dilihat sebagai penyimpangan (dengan demikian diabaikan). Inilah kekurangan dari pendekatan historis murni, tanpa melibatkan perangkat sosiologi.

Dua pendekatan di atas, dinilai belum bisa menjelaskan secara utuh bagaimana suatu proses hukum berjalan dalam kondisi masyarakat tertentu yang dalam banyak hal tidak lepas dari proses sosial-politik yang mengitarinya. Oleh karenanya, diperlukan suatu pendekatan baru yang menempatkan hukum Islam pada konteks sosiologis dan historisnya. Pendekatan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan sosiologis-historis, yang merupakan embrio lahirnya “hukum Islam sosial”, khususnya dalam komunitas orang Islam.

Secara epistemologis, terma hukum Islam itu masih diperdebatkan. Apakah wacana baru pemikiran hukum Islam ini lahir dari hasil refleksi hukum Islam murni ataukah disebabkan kondisi obyektif masyarakat berkuasa tersisihkan secara politis, sehingga bersikap reaksioner? Pertanyaan ini memang cukup problematis. Bisa jadi, hukum Islam sosial muncul karena “tuntutan zaman” yang sudah sedemikian kompleks dan dinamis yang tidak memungkinkan lagi untuk diatasi secara legal-formalistik, sehingga memunculkan kesadaran dari dalam untuk melakukan “reaktualisasi” terhadap hukum Islam. Atau, di pihak lain sangat mungkin munculnya hukum Islam sosial ini sebagai bentuk “perlawanan” terhadap struktur sosial-politik yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kekuasaan.

Ada beberapa peristiwa (kasus) yang dapat dijadikan sebagai indikasi adanya “perlawanan” itu. Dalam forum Bahtsul Masa’il, biasanya muncul berbagai persoalan yang mencakup problem kemasyarakatan. Salah satu persoalan yang mencakup problem kemasyarakatan. Salah satu masalah yang diangkat—dan dianggap mempertanyakan keabsahan program pemerintah—adalah masalah transplantasi.[44]

Munculnya pergeseran dalam memandang hukum Islam yakni, dari hukum Islam sabagai paradigma “kebenaran ortodoksi” mmenuju paradigma “pemaknaan sosial” tidak lepas dari hasil-hasil diskusi atau halaqah. Jika yang pertama memasyarakat Islam ndukkan realitas kepada kebenaran hukum Islam dan berwatak “hitam-putih” dalam memandang realitas, maka yang kedua menggunakan hukum Islam sebagai counter wacana dan memperlihatkan wataknya yang bermasyarakat Islam ansa.[45]

Hukum Islam sebagai paradigma “pemaknaan sosial”, memiliki lima ciri yang menonjol. Pertama, interpretasi teks-teks hukum Islam secara kontekstual; kedua, perubahan pola bemazhab, dari bermazhab secara tekstual ke bermazhab secara metodologis; ketiga, verifikasi mendasar, mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); keempat, hukum Islam dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara; dan kelima, pengenalan metodologis pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[46]

Kehadiran hukum Islam dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap metode utama kekuasaan. Baik kekuasaan yang berbentuk negara yang mematikan kreatifitas civil society maupun terhadap kekuasaan pola berpikir lama yang berujung pada konservatif. Memang, sebuah kekuasaan—apapun namanya—telah mengakibatkan teks suci agama yang semula berisi pesan-pesan universal berubah mejadi teks-teks baku yang hanya melayani “seleraa” penguasa. Apakah ia bernama negara, kelas literati atau lembaga agama itu sendiri. Peresmian itu akhirnya bersifat fatal: Agama (hukum Islam) kehilangan pesang profetisnya sebagai “agama pembebasan”, dan idielogisasi berakibat pada dehumanisasi.

Dekonstruksi teks (baca: hukum Islam sosial) telah membawa konsekuensi yang bersifat sosiologis, yakni membongkar kaum feodalis-konservatif yang telah memitoskan teks atas nama “otoritas mutlak” itu. Dengan wacana hukum Islam yang menjadikan masyarakat Islam sebagai pusat (baca: antrophosentris) telah membuka peluang demokratisasi dalam melakukan penafsiran atas teks-teks hukum Islam yang selama ini dibekukan dan dibakukan.

Dengan menjadikan antrophosentrisme sebagai “watak”, hukum Islam sosial telah membuka peluang pluralitas tafsir. Dalam konteks pluralisme itulah, hegemoni tafsir diruntuhkan, dan teks menjadi “hidup” kembali. Dengan runtuhnya hegemoni tersebut, runtuh pula “feodalisme teks” pada agama, negara dan ideologi yang menjadi awal kebekuan wacana hukum Islam, terlepas dari apa yang melatar belakangi munculnya konsep itu.



BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN



Lafal-lafal Akad Jual Beli
Sebuah akad dinyatakan sah apabila disertai dengan lafal jual beli. Bentuk kata kerja yang dipakai adalah kata kerja masa lalu (sighah madhiyah) misalnya penjual berkata “telah kujual padamu”, dan pembeli berkata “telah kubeli darimu.”. apabila pembeli berkata, “juallah barangmu padaku dengan harga sekian“. Kemudian penjual berkata “Aku telah menjualnya” menurut Imam Malik jual beli itu telah terjadi dan telah merupakan ikatan bagi orang yang memahami, kecuali jika ia bisa mendatangkan asalan lain untuk itu.

Menurut syafi’i jual beli itu tidak sempurna kecuali jika pembeli berkata, “Aku sudah membeli”. Begitu pula jika pembeli berkata kepada penjual, “Berapa kamu jual barangmu?” kemudian penjual berkata; “sekian atau segini” lalu pembeli berkata “aku beli darimu”, maka dalam hal seperti ini diperselisihkan, apakah jual beli tersebut terjadi atau tidak sehingga penjual berkata “telah kujual barang itu padamu”.

Menurut Syafi’i jual beli bisa terjadi baik dengan kata-kata (lafal) yang jelas maupun kinayah (kiasan). Menurut penulis hal tersebut tidak dipermasalahkan lagi ijab kabulnya yang mempengaruhi terjadinya jual beli misalnya jika penjual berkata “aku jual barangmu dengan harga sekian” lalu pembeli diam dan tidak menerima jual beli hingga keduanya berpisah, maka jika pembeli datang lagi sesudah itu dan berkata ”aku terima” maka kata-kata tersebut tidak merupakan ikatan bagi si penjual.

Jual Beli Menurut Hukum Islam
Ada lima pokok yang berkaitan dengan kajian masalah jual beli (al-buyu’), yaitu macam-macam jual beli, syarat-syarat sahnya jual beli, syarat-syarat batalnya jual beli, hukum-hukum jual beli yang sah dan hukum-hukum jual beli yang batal.

Karena di antara sebab-sebab batal dan sahnya jual beli ada yang bersifat umum bagi semua jenis jual beli atau bagi sebagian besarnya, dan ada pula yang bersifat khusus. Demikian pula tentang hukum-hukum sah dan batalnya, mka tinjauan secara teknis menghendaki disebutkannya terlebih dahulu hal-hal yang saling berkaitan pada keempat macam tersebut, yaitu persoalan umum tentang sebab-sebab pembatalan, sebab-sebab keabsahan, hukum-hukum keabsahan, dan hukum-hukum pembatalan bagi semua jenis jual beli. Kemudian baru peneliti sebutkan persoalan yang khusus dari keempat hal jual beli tersebut termasuk hukum jual beli yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

Setiap muamalah pasti terjadi antara dua orang dengan kemungkinan-kemungkinan berupa pertukaran barang dengan barang, atau barang dengan sesuatu yang berada dalam tanggungan (utang), atau tanggungan dengan tangggungan. Masing-masing dari ketiga kemungkinan itu terkadang dilakukan dengan tunai dan terkadang tidak. Sedang masing-masing dari kedua kemungkinan terakhir kadang dilakukan dengan tunai oleh kedua belah pihak dan kadang tidak tunai oleh salah satu pihak. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan ini jual beli itu ada beberapa macam sebagaimana disebutkan di atas. Adapun jual beli yang dilakukan secara tidak tunai oleh kedua belah pihak, ijma’ ulama menyatakan ketidakbolehannya baik pada barang maupun tanggungan karena merupakan transaksi utang dengan utang yang dilarang.

Nama-nama dari jual beli ini ada yang ditilik melalui segi sifat akad (perjanjian) dan keadaannya, dan ada pula yang ditilik dari sifat barang yang dijual. Demikian itu lantaran pernjualan tersebut berupa barang dengan barang, terkadang hal itu terjadi antara harga dengan barang, terkadang hal itu terjadi antara harga dengan harga, jual beli tersebut dinamakan sharf. Dan jika jual beli itu antara harga dengan barang dinamakan jual beli umum. Begitu pula jika jual beli tersebut berupa barang dengan barang menurut syarat-syarat yang telah disebutkan di bagian dua, jika jual beli tersebut antara barang dengan tanggungan, maka disebut salam yakni jual beli secara bertempo. Jika jual beli tersebut didasarkan atas pilihan maka ia disebut khiyar. Jika didasarkan atas penentuan laba, jual beli tersebut dinamakan murabahah. Dan jika didasarkan atas penambahan, maka ia disebut muzayanah.

Jika menilik sebab-sebab yang karenanya dikeluarkan larangan-larang syara’ tentang keadaan jual beli, yakni sebab-sebab pembatalan secara umum, maka akan didapatkan larangan barang yang dijual, riba, penipuan, dan syarat-syarat yang berasal dari salah satu dari kedua persoalan yang terakhir ini, yaitu riba dan penipuan, atau dari keduanya secara bersamaan. Persoalan tersebut pada dasarnya merupakan pangkal, pembatalan karena hanya bertalian dengan masalah jual beli, yakni dari aspek jual beli itu sendiri dan bukan lantaran hal-hal yang berada di luarnya.

Akan halnya dengan perkara-perkara yang dilarang lantaran hal-hal yang berada di luarnya adalah tindakan penipuan secara disengaja (al-ghasysy) dan tindakan yang menimbulkan kerugian (adh-dharar). Termasuk pula di dalamnya adalah karena persoalan waktu yang berhak terhadap sesuatu yang lebih penting daripada jual beli. Juga termasuk di dalamnya karena memang tidak boleh dijual.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak-anak tidak sah hukumnya karena Imam Syafi’i menganggap bahwa anak-anak belum bisa matang secara kejiwaan dalam bertransaksi dan dikawatirkan akan mudah ditipu oleh pihak-pihak tertentu baik penjual maupun pembeli. Pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu yang artinya : “Adapun anak-anak dan orang gila, maka jual beli keduanya adalah tidak sah”

Alasan Imam Syafi’i tersebut jelas sekali mengkategorikan anak-anak dan orang gila tidak dapat berfikir secara baik dan jernih dalam bertransaksi. Selanjutnya Imam Syafi’i berpendapat pula “Adapun anak kecil, maka tidak sah jual belinya dan juga sewa menyewanya, dan juga tidak sah aqad-aqad lain baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.”

Sebaliknya Imam Hanafi berlainan pendapat dengan Imam Syafi’i tentang jual beli yang dilakukan anak di bawah umur. Imam Abu Hanifah membolehkan jual beli yang dilakukan oleh anak-anak asalkan mereka sudah mumayiz yaitu sudah dapat membedakan baik dan buruk. Untuk lebih jelasnya dalam kitab Mizaul Qubro, “Tidak disayaratkan dalam jual beli adanya balig, merdekanya penjual dan pembeli, oleh sebab itu maka sah jual belinya anak atau hamba untuk dirinya dan untuk orang lain.”

Selanjutnya ditegaskan pula oleh Abu Hanifa “Berkata Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal sesungguhnya sah jual beli yang dilakukan oleh anak di bawah umur apabila ia mumayiz”.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat Imam Abu Hanifah mengenai jual beli yang dilakukan anak di bawah umur hukumnya sah dengan persyaratan anak tersebut harus sudah mumayiz (sudah mengerti baik dan buruk) walaupun belum sampai umur dewasa. Mereka diperbolehkan jual beli barang kecil-kecilan, karena kalau tidak diperbolehkan sudah barang tentu menjadi kesulitan dan kesukaran. Karena agama Islam sendiri tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

BAB V

PENUTUP



A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan hasil penelitian ini, maka dapatlah dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut;

Mengenai aqad jual beli yang dilakukan oleh anak belum mumayiz menurut hukum Islam tidak dibolehkan atau tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak belum mumayiz. Sedangkan menurut beberapa ulama fuqaha terjadi perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Abu Hanifah tentang jual beli anak belum mumayiz. Perbedaannya terletak pada tanggungjawab anak tersebut menurut pendapat yang diunggulkan bahwa anak-anak belum mumayiz tersebut mudah mengalami tipuan oleh orang lain sehingga belum bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sedangkan sebagian ulama mensyaratkan anak tersebut sudah dapat membedakan baik dan buruk sehingga dapat membedapakan pula barang yang baik dan barang yang jelek untuk dibeli maupun dijual. Tetapi harus dibatasi terhadap jual beli terhadap barang-barang yang nilainya kecil saja.

B. Saran–Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran, yang mungkin dapat dijadikan input dalam rangka menjawab beberapa persoalan keagamaan di masyarakat yang ada kaitannya dengan jual beli.

1. Hendaknya perbedaan pendapat yang terjadi dalam menyikapi persoalan yang berkembang di masyarakat tentang jual beli yang dilakukan anak anak yang belum mumayiz dilihat secara baik dan konstektual.

2. Kalaupun ada anak yang belum mumayiz melakukan aqad jual beli barang hendaknya barang tersebut yang nilainya kecil karena dikawatirkan kalau nilainya besar, anak tersebut kurang mampu melindungi dirinya dan barangnya terhadap ancaman penipu, perampok dan pencuri.





DAFTAR PUSTAKA



Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo; Dar al-Fikr, 1939..

Al-Syafi’i, Al-Risalah, Kairo; Musthafa al Babi al Halabi, 1940.

Ash-Shidieqie, TM. Hasbie, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. VI, edisi 2, 2001.

___________________, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

As-Shon’ani, Muhammad bin Isma’il, Subulus Salam, Beirut: Dar al-Fikr, Juz III, tth.

Imam Muslim, Shoheh Muslim, Bandung: Sickatul Ma’ariful Litobi Wanasyri, tth.

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhul’ala, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

________________, Kitab Fiqh Ala Mdzahibil Arba’ah, Beirut: Darul Fikri, tth.

Baker, Anto, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Rosda Karya 1992.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989.

Fazlurrahman, Islam, Terjemahan, Ahsin Muhammad, Bandung; Pustaka, 1984.

Gibbs, H.A.R, Muhammadism, terj. Abu Salamah, Jakarta; Bharatakaya Aksara, 1983.

Hasan, A. Qodhir, Nailul Author, Jilid IV, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Hasan, Ahmad, “The Early Development of Islamic Jurisprudence”, Terj. Agah Ganadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqh, terj. Nur Iskandar al-Barsani, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

________________, Ringkasan Sejarah Perundang-undangan Islam, Terj. Aziz Masyhuri, tth. tt.

Madjid, Nurcholis, “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits; Implikasi dalam Pengembangan Syari’ah”, Budi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta; Paramadina,1995.

Mahfufh, Sahal, “Istinbath al-Ahkam dalam kerja Bahtsul Masa’il Syuri’ah NU”, Semarang, 14-16 Oktober 1990.

Majdi, Muhammad Zainul, “Kesempurnaan Syari’at Islam dan Probabilitas Penerapan” Jurnal Ulumuna, Vol. VII Edisi II Nomor 1 Januari-Juni 2003, Mataram; STAIN Mataram.

Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995.

Purwadarminto, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: At-Thohiriyah, 2000, Cet. XXVII.

Sugiono, Methodologi Penilitian Administrasi, Bandung: Alphabeta, 1994.

Sutrisno Hadi, Methodologi Reseach II, Yogyakarta: Hadi Offset, 1987, hlm. 1993.

Subekti, Pokok-pokok Hokum Perdata, Jakarta: Intermas, 1992, Cet. XXIV.

Sukandy, M. Syarit, Tarjamah Bulugul Maram, Bandung: al-Ma’arif, Tth.

Syekh Abi Yahya Zakaria al-Anshori, Fathul Wahab, Semarang: Thoha Putra, Juz I, Tth.

Taqiyuddin, Imam, Kifayatul Akhyar, Bandung: Al-Ma’arif, Tth.

Usman, Suparman, Hukum Islam; Azas-azas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, tth.

Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung; Mizan, 1995.



BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Hukum yang berlaku di Indonesia dalam masalah pidana adalah kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), sebagai hukum positif yang telah dikodifikasi. Dalam kitab tersebut telah diatur mengenai perbuatan-perbuatan pidana baik berbentuk kejahatan maupun yang berbentuk pelanggaran. Setiap perbuatan yang melanggar peraturan tersebut dan telah memenuhi pelanggaran, maka pelaku akan dikenakan sanksi pidana menurut ketentuan yang tercantum dalam KUHP.

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu telah terdapat pasal-pasal yang membahas mengenai penghinaan beserta bentuk-bentuknya, yang menjadi sasaran obyeknya manusia perorangan. Pasal-pasal tersebut terangkum dalam satu bab yakni bab penghinaan.

Penghinaan secara umum adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibat serangan ini biasanya penderita akan merasa malu. Kehormatan yang diserang bukanlah yang bersifat seksual, akan tetapi kehormatan yang menyangkut nama baik seseorang. Sedangkan kehormatan yang menyinggung bidang seksual itu termasuk kejahatan bidang kesopanan atau kesusilaan yang termaktub dalam pasal 281 – 303 KUHP.

Penghinaan menurut R. Soesilo, terbagi menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut: “Menista (pasal 310 ayat 1), menista dengan surat (pasal 310 ayat 2), memfitnah (pasal 311), penghinaan ringan (pasal 315), mengadu secara memfitnah (pasal 317), menuduh secara memfitnah (pasal 318)”.[47]

Semua bentuk penghinaan itu merupakan delik aduan, sehingga hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan (dihina), atau dengan kata lain dinamakan dengan delik aduan mutlak. Sasaran penghinaan ini haruslah diarahkan kepada manusia perorangan. Jelasnya, bukan instasi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan dan lain-lain. Kendati pun nanti dalam penjelasannya memuat dan menerangkan tentang pasal-pasal lain yang ada hubungannya dengan permasalahan di atas. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyatno sebagai berikut :

Apabila sasaran penghinaan itu bukan manusia perorangan maka dikenakan pasal-pasal khusus seperi pasal 134 dan 137 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 142-144 mengenai penghinaan terhadap Kepala Negara Asing, pasal 156-157 tentang penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia.[48]

Adapun mengenai pasal-pasal yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu pasal 310–321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penghinaan yang menyangkut nama baik seseorang. Sedangkan pasal-pasal yang lain tentang penghinaan seperti yang telah disebutkan di atas, tidak dibahas dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengatasi masalah agar tidak terlalu melebar. Dan menurut R. Sugandi Penghinaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

Menista yang dalam bahasa asingnya “smaad” (pasal 310 ayat 1) mempunyai unsur-unsur :1. Sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. 2. Menuduh perbuatan tertentu ,dan 3. Dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan hal itu dengan orang banyak .4. semua ini dilakukan dengan lesan, apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka dinamakan menista dengan surat yang tercantum dalam pasal 310 ayat 2 KUHP.[49]

Sedangkan menista atau pencemaran yang ditujukan untuk kepentingan umum, atau terpaksa membela diri maka tidak dapat dituntut dan terdakwa terbebas dari hukuman. Sesuai dengan pendapat Wirjono Projodikoro sebagai berikut: “Bahwa jika menista atau pencemaran itu ditujukan untuk kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri, maka tidak dapat dituntut berdasarkan pasal 310 ayat 3 KUHP dan terdakwa akan bebas dari hukuman“.[50]

Pada hakekatnya kita telah memaklumi bahwa Islam dengan melalui ajarannya telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia bahkan sampai kepada bentuk mensucikannya. Allah Swt. berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 11, berbunyi :

يايهاالذين امنوا لايسخر قوم من قوم عسى ان يكونوا خيرامنهم ولانساء من نساء عسى ان يّكنّ خيرا منهنّ, ولا تلمزواانفسكم ولاتنابزوا با لقاب بئس الاسم الفسوق بعدالايمان ومن لم يتب فأولئك هم الظلمون(الحجرت/ ٤٩:١١)



Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokan) lebih baik dari wanita yang (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar –gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah(panggilan yang buruk) sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. 49: 11)[51]



Allah Swt. juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 191 berbunyi:

...والفتنة اشد من القتل...(البقرة|2: 191)

Terjemahnya: “…dan memfitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan” [52] (QS. 2: 191)

Sedangkan bentuk penodaan kehormatan yang berat adalah menuduh orang-orang mukmin perempuan yang terpelihara telah melakukan perbuatan mesum. Dalam hal ini Allah Swt. mengancam dengan firmannya, surat An-Nur ayat 4 berbunyi :

والذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمنين جلدةولا تقبلوا لهم شهادة ابدا واولئك هم الفسقون (النور|24: 4)

Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.[53].(QS. 24: 4)



Berdasarkan dua pandangan, baik dari hukum positif (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun Hukum Islam mengenai tindak pidana penghinaan, yang di antaranya itu tidak dapat dikatakan sama, akan tetapi banyak juga perbedaan-perbedannya. Oleh karenanya penulis tertarik mengangkat sebagai kajian ilmiah dalam bentuk skripsi yaitu “Analisis Tindak Pidana Penghinaan Ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Islam”

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tindak pidana penghinaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam?

2. Sejauhmana perbandingan (persamaan dan perbedaan) tindak pidana penghinaan menurut KUHP dan Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Berpijak dari perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tindak pidana penghinaan menurut Kitab Undang-Undang Hukun Pidana (KUHP) dan Hukum Islam.

2. Ingin mengetahui perbandingan (persamaan dan perbedaan) tindak pidana penghinaan menurut KUHP dan Hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun karya ilmiah bagi penelitian berikutnya serta untuk mengetahui kriteria ketentuan tentang tindak pidana penghinaan.

2. Sebagai bahan pemikiran dan petunjuk untuk memotivasi masyarakat, terutama aktifitas yang berkaitan dengan program pembinaan dan pemantapan kehidupan beragama khususnya yang berkenaan dengan pergaulan seseorang di lingkungan masyarakat.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Kajian

Jenis kajian ini adalah kajian pustaka, yaitu pemaparan argumentasi penalaran keilmuan yang diambil dari hasil berbagai kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan bacaan atau teori-teori dari para ilmuan yang terdapat dari berbagai sumber, baik buku, majalah, dan koran, tentunya yang sesuai dengan objek ini sehingga bisa dijadikan bahan acuan dalam penelitian ini.

2. Metode Kajian

Sedangkan metode kajian dalam penulisan ini adalah pengumpulan data dengan analisis isi (contens analisys).[54]

Ditinjau dari tempatnya, penelitian ini disebut dengan penelitian kepustakaan.[55] Penelitian ini ada yang menyebut kajian pustaka murni, yaitu penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil pikir peneliti mengenai satu masalah (topik). Penelitian hasil kajian pustaka ini memuat atau menggali gagasan atau proposi yang berkaitan dan harus didukung oleh data atau informasi yang diperoleh dari sumber pustaka (literature). Dengan landasan filosofisnya yang kualitatif dan rasionalistik.

Sumber pustaka untuk kajian ini dapat berupa jurnal penelitian, transkrip, diskusi ilmiah, majalah dan sebagainya. Bahan-bahan pustaka tersebut lalu dibahas dan dianalisis secara kritis dan mendalam dalam rangka mendukung proposi dan gagasan.

3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah catatan atau dokumen yang berupa kajian pustaka seperti buku-buku bacaan ilmiah, majalah dan lain-lain.

a. Metode pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data dari subyek penelitian diterapkan metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan lain-lain.[56] Dalam pengumpulan data penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis mempelajari buku-buku yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas, kemudian mengambilnya sesuai dengan permasalahan. Hal ini sebagai bahan perbandingan untuk memperkuat dasar dan proses penulisan skripsi.

b. Metode analisis data

Untuk menganalisa data-data yang sudah terkumpul dari studi kepustakaan tersebut, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1) Metode induktif.

“Berfikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum”.[57]

2) Metode Deduktif

“Yaitu berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu, kita hendak

menilai sesuatu kejadian khusus”.[58]

3) Metode Komperatif

“Yaitu memperbandingkan satu variabel dengan yang lainnya katakanlah ini tergolong penelitian yang dikait-kaitkan untuk diperbandingkan”.[59]

Ketiga cara ini dipergunakan dalam mengambil kesimpulan yang berguna untuk memperbandingkan antara kedua norma hukum tentang tindak pidana penghinaan dengan mencari persamaan dan perbedaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam.

F. Definisi Operasional

Agar nantinya pembaca tidak salah menafsirkan dalam memahami judul dan isinya skripsi, maka penulis akan menjelaskan istilah yang penting dalam judul, sebagai berikut :

1. Analisis adalah: “kupasan, Uraian“.[60] yang dimasudkan adalah menganalisa sebagai macam uraian ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana penghinaan seseorang individu bukan perkumpulan.

2. Tindak pidana penghinaan : Tindak pidana dalam arti melakukan pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku yang berkaitan dengan kejahatan kehormatan manusia. “Penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik orang, sedangkan kehormatan yang diserang ini hanyalah kehormatan seseorang sebagai manusia baik dan bukan kehormatan dalam bidang seksual dalam nafsu birahi kelamin“.[61]

3. KUHP adalah “ Kitab peraturan Pidana yang dipakai sehari-hari“.[62]

4. Hukum Islam adalah : “Hukum Pidana, yaitu hukum yang mengatur bagaimana negara menghukum orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran“.[63]

5. Hukum Islam adalah “ titah Allah yang mewujudkan suatu hukum, yakni yang dihadapkan kepada para mukallaf yang berhubungan dengan perbuatan mereka, atau kaidah yang dinashkan syara’ mengenai sesuatu masalah“.[64]

Dari penegasan istilah tersebut diatas, bahwa permasalahan yang ingin diketahui adalah sampai sejauh mana kriteria ketentuan hukum tentang tindak pidana penghinaan dan hukuman yang dikenakan terhadap pelakunya yang terdapat dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam (Hukum Islam), kemudian membandingkanya. Dengan kata lain analisa perbandingan antara Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai tindak pidana penghinaan.

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini penulis membagi menjadi lima (V) bab, yaitu;

Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode pengumpulan data, metode analisa data, definisi operasional dan sistematika penulisan.

Bab II : Tindak pidana penghinaan menurut KUHP dan Hukum Islam, meliputi tinjauan penghinaan menurut KUHP, dan tinjauan penghinaan menurut Hukum Islam.

Bab III : Problematika tindah pidana penghinaan, meliputi akibat hukum bagi orang yang menghina menurut KUHP dan Hukum Islam, dan hal-hal yang dapat menghilangkan hukum menurut KUHP dan Hukum Islam.

Bab IV : Analisis tindak pidana penghinaan menurut KUHP dan Hukum Islam (analisis persamaan dan perbedaan), meliputi akibat hukum bagi orang yang menghina menurut KUHP dan Hukum Islam dan hal-hal yang dapat menghilangkan hukuman menurut KUHP dan Hukum Islam.

Bab V : Penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

TINDAK PIDANA PENGHINAAN MENURUT KUHP

DAN HUKUM ISLAM



A. Pengertian Penghinaan Menurut KUHP

Delik penghinaan merupakan kejahatan yang banyak ragamnya dalam KUHP, yang diatur dalam pasal-pasal yang berbeda pula. Namun didalam kitab undang-undang hukum pidana, definisi penghinaan itu tidak ada rumusan yang jelas dan tegas, akan tetapi penulis berusaha untuk mencari pengertian sebenarnya dari penghinaan menurut KUHP. Ini tentu tidak lepas dari perbandingan pendapat ahli hukum pidana. Sedangkan penghinaan itu diatur dalam bab XVI buku II KUHP. ( antara pasal 310 – 321 KUHP).

Pengertian penghinaan secara umum menurut R. Sugandhi adalah: “Menghina adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibat serangan ini biasanya penderita akan merasa malu”.[65]

Pengertian yang diutarakan oleh R. Sugandhi di atas bahwa penghinaan mengakibatkan rasa malu. Pendapat tersebut juga diutarakan oleh R. Soesilo, Bahwa : “penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik orang. Sedangkan kehormatan yang diserang adalah hanya mengenai kehormatan seseorang sebagai manusia baik dan bukan kehormatan dalam bidang seksual dalam lingkungan nafsu birahi kelamin“.[66]

Penghinaan itu dapat dilakukan dengan berbagai macam diantaranya dengan lesan/kata atau dengan tulisan atau dengan perkataan/isyarat. Penghinaan dengan tulisan itu banyak berhungan dengan pers,media elektronik yang kerap kali memberitakan tentang keadaan seseorang. Memang dalam prakteknya pers sering kali berhadapan dengan delik pencemaran atau penghinaan ringan.

Jadi pengertiannya bahwa yang dimaksud penghinaan adalah menyerang atau merusak kehormatan nama baik seseorang sebagai manusi. Dan yang dirusak itu bukanlah kehormatan dalam bidang seksual, akan tetapi kehormatan dalam bidang nama baik dan harga diri seseorang. Sedang yang dimaksud memfitnah atau menista adalah melakukan penghinaan dengan jalan menuduhkan tentang terjadinya sesuatu peristiwa yang tidak baik yang dilakukan oleh orang itu dengan tujuan untuk menyiarkannya kepada khalayak ramai.

Sedangkan Wirjono berpendapat bahwa :

Dalam masalah penghinaan yang dirusak adalah harga diri seseorang. Dan untuk mengukur harga diri itulah harus diobyektifkan sedemikian rupa, sebab mengenai harga diri seseorang itu berbeda-beda. Sedangkan untuk mempermudah pengobyektifan penilaian tetang perbuatan itu apakah merupakan suatu penghinaan atau tidak yaitui melalui pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri yakni bagaimana apabila dirinya itu diserang atau dikatakan demikian ? inilah yang dalam bahasa jawanya diistilahkan dengan “tepo seliro”.[67]

Semua bentuk penghinaan ini adalah merupakan bentuk delik aduan, kecuali penghinaan terhadap pegawai negeri yang sedang melaksanakan tugasnya dengan syah (pasal 316–319 KUHP). Mengenai sasaran penghinaan itu haruslah ditujukan kepada manusia perorangan, jelasnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, atau seglongan penduduk dan lain-lain. Akan tetapi menurut pasdal 310 KUHP dinyatakan: “bahwa semua bentuk penghinaan tersebut tidak kena hukuman apabila tindakan itu dilakukan demi membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri”.[68]

Perlu diketahui bahwa kata-kata, kalimat atau perbuatan itu dipandang sebagai suatu penghinaan akan tergantung dari keadaan, tempat dan waktu. Suatu kata-kata akan disebut penghinaan juga sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh pendapat umum di tempat di mana seseorang mengeluarkan pernyataan.

1. Pasal-pasal Mengenai Penghinaan Dalam KUHP

Telah dijelaskan dalam uraian diatas bahwa delik penghinaan dan fitnahan adalah merupakan delik atau kejahatan yang banyak ragamnya dalam KUHP serta diatur dalam pasal-pasal yang berbeda-beda. Hal ini memang disebabkan adanya perbedaan sifat dan obyek dari penghinaan itu sendiri. Pasal-pasal penghinaan dan fitnahan yang obyeknya selain manusia perorangna itu tersebar dalam bab-bab yang berbeda. Sedangkan pasal-pasal penghinaan yang obyeknya manusia perorangan itu yaitu pasal 310-321, seperti contoh pasal 310 ayat 1 sebagai berikut :

Barang siapa menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan penjara pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.[69]

Semua bentuk kejahatan penghinaan diatas itu adalah, termasuk delik aduan, kecuali apabila penghinaan itu terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan tugasnya secara sah. Hal ini sesuai dengan pasal 316 KUHP. Mengenai pasal ini penuntutnya tidak perlu adanya suatu pengaduan dari orang yang menderita atau terhina. Jadi khusus pasal ini bukan merupakan delik pengaduan.

Akan tetapi dalam prakteknya, walaupun penghinaan itu dilakukan terhadap pegawai negeri, namun masih disuruh untuk membuat surat pengaduan. Disamping itu masih ada penghinaan yang bukan merupakan delik aduan pasal 134,137,142,143,147,208 dan pasal 208 KUHP.

Kemudian hinaan dan fitnah yang obyeknya bukan manusia perorangan diatur dalam pasal-pasal khusus yaitu pasal 134 dan 137 (penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden), pasal 142, 143 dan 144 (penghinaan terhadap kepala negara asing), pasal 156 dan 157 (penghinaan terhadap segolongan penduduk), pasal 207 dan 208 (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).

2. Macam–macam Penghinaan Menurut KUHP

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa delik penghinaan, itu telah tersebar dalam berbagai pasal yang berbeda-beda. Akan tetapi khusus mengenai kejahatan penghinan yang telah terkumpul dalam satu bab yakni bab XIV (pasal 310 – 321 KUHP). Dalam bab tersebut terdapat berbagai macam bentuk penghinaan yang diantara ahli hukum tidak sama dalam membagi macam-macam tersebut.

Menurut R. Soesilo: Penghinaan itu dibedakan menjadi enam macam yaitu :

1). Menista (pasal 310 ayat 1)

2). Menista dengan surat (pasal 310 ayat 2)

3). Memfitnah (pasal 311)

4). Penghinaan ringan (pasal 315)

5). Mengadu secara memfitnah (pasal 317)

6). Menuduh secara memfitnah (pasal 318).[70]

Jenis kejahatan terhadap kehormatan orang, ada lima macam, seperti pendapat beberapa ahli hukum diantaranya Moch. Anwar, mengatakan bahwa penghinaan yang merupakan kumpulan dari berbagai jenis kejahatan terhadap kehormatan orang, itu ada lima macam yaitu

1). Menista secara lesan

2). Menistra secara tulisan

3). Memfitnah

4). Mengadu secara memfitnah

5). Menuduh secara memfitnah.[71]

Dengan adanya perbedaan pendapat dalam hal pembagian penghinaan tersebut, maka penulis akan menjelaskan mengenai bentuk penghinaan yang dibagi menjadi enam macam tersebut maka sekaligus juga akan terjelaskan bentuk penghinaan yang lima macam itu.

Macam- macam penghinaan tersebut sebagai berikut :

a. Menista yang dalam bahasa asingnya “smaad” tersebut dalam pasal 310 ayat 1 KUHP, itu mempunyai unsur-unsur yaitu :

1). sengaja menyerang nama baik dan kehormatan orang lain dengan

2). menuduh sesuatu perbuatan tertentu dan

3). dengan maksud yang nyata untuk meyiarkan hal itu pada orang banyak

4). semua ini dilakukan dengan lesan, dan apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka dinamakan menista dengan surat sebagaimana tercantum dalam pasal 310 ayat 2 KUHP.

b. Penistaan dengan tulisan atau gambar

Penistaan dengan ini juga disebut dengan penistaan surat yang dalam bahasa asingnya “smaad scrift”. Ini terdapat dalam pasal 310 ayat 2 KUHP. Unsur-unsur penistaan dengan surat ini sama dengan unsur-unsur dengan lesan, akan tetapi ditambah denga unsur penistaan itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan . apabila pelaku tidak bermaksud untuk menyiarkan dan mengumumkan, maka tidak terkena pasal ini.

Dalam pencemaran dengan surat ini seringkali berhubungan dengan pers sebagai media cetak yang sering memberitakan dengan masalah keadaan seseorang. Agar dapat terkena jaringan delik pers, maka haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :

1). Ia harus dilakukan melalui barang cetakan

2). Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan

3). Dari perumusan, delik harus ternyatakan bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menimbulkan suatu kejahatan apabila kenyataan tersebut dilakukan suatu tulisan.

Selanjutnya ditegaskan bahwa syarat untuk yang ketiga ini yang khusus dapat menyangkut suatu delik menjadi delik pres.

c. Memfitnah

Memfitnah tersebut dalam pasal 311 KUHP itu bahasa asingnya “laster” mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1). Unsur-unsur kejahatan :

- Sama dengan dalam menista dengan lesan

- Sama dengan dalam menista dengan tulisan

2). Dimana diizinkan membuktikan kebenaran atas tuduhan itu

3). Jika tidak dapat membuktikan kebenaran itu ,

4). Tuduhan dilakukan, sedangkan diketahui bahwa tuduhan tidak benar.[72]

KUHP pasal 312, menentukan bahwa pembuktian atas tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal-hal sebagai berikut :

Ke-1, jika hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu untuk menilai pernyataan tertuduh bahwa ia telah melakukan perbuatan itu untuk kepentingan umum atau membela diri.

Ke-2, jika seorang pegawai negeri dituduh melakukan suatu perbuatan pada waktu melaksanakan jabatannya.

Sedangkan menurut pasal 313 KUHP dikatakan bahwa pembuktian yang dimaksud pasal 312 KUHP itu tidak boleh, apabila sesuatu yang dituduhkan itu hanya dapat ditntut dengan melalui pengaduan, sedang pengajuan tersebut tidak dimajukan. Pasal ini termasuk delik aduan.

d. Penghinaan ringan atau bersahaya (penghinaan biasa)

Penghinaan ringan atau bersahaya ini terdapat dalam pasal 315 KUHP. Telah diketahui jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan menuduh suatu perbuatan tertentu terhadap seseorang, maka termasuk pasal 310 atau pasal 311 KUHP. Apabila mengatakan bajingan, sundel atau anjing dan sebagainya, maka termasuk pasal 315 KUHP. Hal ini baik dilakukan dengan lesan atau tulisan serta harus dilakukan ditempat umum dan orang yang dihina itu berada ditempat itu apabila tidak dilakukan ditempat umum maka harus memenuhi syarat, dalam ini dikemukakan pendapat Moch. Anwar, sebagai berikut :

1). Dengan lesan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus berada disitu (melihat dan mendengar sendiri)

2). Bila dengan surat atau tulisan, maka surat itu harus dialamatkan kepada orangnya

Sedangkan unsur-unsur penghinaan ini ada dua yaitu :

1). Unsur obyektif: setiap perbuatan yang tidak bersifat menista dengan lesan atau tulisan.

2). Unsur subyektif: dengan sengaja.[73]

Dalam masalah ini yaitu penghinaan ringan sangat berhibungan dengan pers sebagai media elektronika yang sering memberitahukan keadaan seseorang, hal ini terkadang bukan merupakan kesengajaan yang direncanakan, melainkan karena kesalahan teknis jurnalistik atau kesalahan tulis dari wartawan, atau mungkin terlalu cepat atau dininya persangkaan wartawan terhadap suatu kasus, yang mestinya kasus itu belum sempurna. Atau mungkin juga karena kalimat tertentu yang keliru dibuat oleh seseorang wartawan, seperti kata-kata “jutawan ynag sombong dan pelit itu pada hari ini …”

Dalam meneliti apakah pers melakukan tindak pidana pencemaran atau penghinaan ringan itu maka pertama-tama hakimharus melihat tulisan secara keseluruhan konteks tulisan itu dari relevansi sosialnya. sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan.

e. Mengadu secara memfitnah

Mengadu secara memfitnah ini mempunyai unsur-unsur yaitu:

1). Unsur obyektif, termasuk didalamnya adalah :

a. memasukan secara tertulis

b. menyuruh menuliskan, baik dengan pengaduan pemberitaan palsu.

c. tentang seseorang dengan penguasa negeri

d. sehingga kehormatan dan nama baiknya tercemar

2). Unsur subyektif, yaitu dengan sengaja

Mengadu secara memfitnah yang kata asingnya “laster lijke aanklacht“ itu terdapat pasal 317 KUHP. Pengaduan atau pemberitahuan yang yang diajukan baik secara lesan atau tulisan haruslah sengaja palsu. Dan juga harus diketahui dengan pengaduan tersebut nama baiknya akan terserang (rusak). Karena pemberitahuan yang keliru atau kurang benar (tidak sengaja) itu tidak dapat dikenakan hukuman.

f. Menuduh secara memfitnah

Menuduh secara memftnah yang dalam bahasa asingnya disebut “lasterlijk verdacmaking “ itu terdapat dalam pasal 318 KUHP. Bahwa pasal itu tidak ada dalam KUHP belanda, karena dalam prakteknya di Indonesia itu sering terjadi suatu kejadian misalnya : secara diam-diam seseorang menaruh sebuah barang hasil curian kedalam rumah orang lain dengan tujuan agar penghuni rumah dituduh telah melakukan pencurian atas barang itu, padahal sebenarnya ia tidak melakukannya. Mungkin juga barang tersebut berupa barang selundupan atau sebuah senjata yang baru digunakan membunuh orang secara diam-diam diletakan dirumah orang, sehingga penghuni rumah itu dituduh yang telah melakukan tindak pidana tersebut.

3. Tujuan Diadakannya Larangan Hukuman

Setelah penulis sebutkan pasal-pasal yang mengatur tentang perbuatan penghinaan sebagai tercantum dalam KUHP, maka kiranya perlu kami jelaskan maksud dantujuannya diadakan larangan penghinaan, agar lebih jelasnya pasal-pasal tersebut dalam KUHP bagi yang melanggar larangannya.

Menghina merupakan salah satu perbuatan pidana, oleh sebab itu kita tidak akan dapat melepaskan antara tujuan diadakannya larangan penghinaan dengan tujuan hukum yang pada umumnya dan tujuan hukum secara khusus. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka ada beberapa pendapat sarjana ilmu hukum di antaranya :

Surbekti mengatakan bahwa hukum itu bertujuan untuk melayani negara dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. sedangkan keadilan itu selalu mengandung unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan.[74]

Sedangkan menurut Soejono Dirjosisworo bahwa tujuan hukum itu dititikberatkan pada perlindungan antara dua kepentingan masyarakat yang keduanya itu harus serasi selaras dan seimbang. Apabila hal ini dapat terwujud maka masyarakat akan menjadi aman, tentram dan damai.[75]

Dari beberapa pendapat sarjana berikut dapat diambil pengertian bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai, tenang dan tertib serta bebas dari kekhawatiran dan kecemasan adanya keseimbangan antara dua kepentingan yaitu kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil makmur serta bahagia.

Oleh karena itu menghina merupakan kejahatan yang dilarang oleh KUHP. Maka berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa tujuan diadakannya larangan penghinaan adalahsama dengan tujuan diadakanya hukum pidana atau hukuman yaitu untuk memberi balasan bagi orang yang melanggar larangan tersebut. Dan untuk mencegah timbulnya perbuatan-perbuatan pidana khususnya terhadap tindak pidana penghinaan. Maka tujuan itu adalah untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukannya. Disamping itu untuk memperbaiki diri si terhukum dengan cara mendidiknya pada waktu dia menjalani hukuman, sehingga dia dapat kembali kemasyarakat serta menjadi anggota yang baik.dengan begitu diharapkan akan timbul suatu kesadaran bahwa akibat penghinaan yang dia lakukan itu dapat mengganggu ketenangan dan ketentraman masyarakat , terutama korban penghinaan tersebut.

Di samping itu agar kehormatan dan nama baik setiap individu dalam masyarakat terjamin dan masyarakat merasa tenang bebas dari kekwatiran dan ketakutan dalam bergaul dengan masyarakat yang lain. Dengan begitu ketertiban dalam masyarakat dapat dipertahankan kelestariaany dan kejahatan penghinaan tidak timbul secara bertebaran di kalangan masyarakat.

B. Pengertian Penghinaan Menurut Hukum Islam

Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya :

1). Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain

2). Menjelekan /memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap walikota.[76]

Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah :

“Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt. pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya penghinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”.[77]

Dari pendapat tersebut di atas, dapat penulis ambil pengertian bahwa penhinaan adalah mengganggap rendah derajat orang lain. cara ini baik dilakukan dengan percakapan, perbuatan ataupun isyarat yang menunjukan kearah tersebut.

Termasuk pengertian fitnah yaitu tuduhan palsu yang dalam bahasa arabnya “qadzafa” yang berarti melempar dan menuduh. Sedangkan menurut hukum Islam “qadzaf” itu merupakan salah satu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menuduh orang lain melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukumyang tidak disertai bukti yang nyata dan benar.

Menurut Abdul Qodir Audah bahwa qadzaf itu mempunyai dua arti yaitu :

a. Qadzaf yang pelakunya dihukum had

b. Qadzaf yang pelakunya dihukum dengan ta’zir

Yang dimaksud dengan qadzaf yang pelakunya dihukum dengan had adalah menuduh perempuan muhshon yaitu perempuan yang baik-baik, dan menghilangkan nasab (hubungan). Sedangkan qadzaf yang pelakunya dihukum dengan ta’zir maksudnya adalah tuduhan selain zina dan meniadakan nasab baik yang dituduh itu muhson atau ghoiru muhson.

Melihat pendapat di atas maka dapat dimengerti bahwa penghinaan adalah menggaggap rendah dan remeh kehormatan, serta harga diri orang lain. Sedangkan bentuk penghinaan itu dapat dengan tuduhan palsu, membuka rahasia atau fitnah dan juga menuduh zina. Kenyataan bahwa penghinaan dalam Islam itu dapat diartikan secara luas yang meliputi: menjelekkan nama baik dan harga diri seseorang, cobaan, fitnah, siksaan, caci maki dan naminah (adu domba), menuduh zina dan sebagainya.

1. Nash-nash yang Berhubungan dengan Penghinaan

Di antara nash-nash tersebut dalam al-Qur’an Yaitu firman Allah Swt. surat Al Hujurat ayat 11 :

يايهاالذين امنوا لا يشخر قوم مّن قوم عسى ان يّكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى ان يّكنّ خيرا منهنّ, ولا تلمزواانفسكم ولا تنا بزوابالالقاب بئس الاسم الفسوق بعد الايمان, ومن لم يتب فأولـئك هم الظلمون (الحجرت/ ٤٩: ١١ )

Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi (yang diolok-olokan) lebih baik dari yang mengolok-olok dan janganlah wanita itu (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokan) lebih baik dari wanita-wanita (yang diolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar (panggilan)yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS. 49: 11)[78]

Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang-orang yang mukmin baik laki-laki ataupun perempuan dilarang mengejek dan menghina baik menyebutkan cacat ataupun kekurangannya atau menertawakan perbuatan dan perkataannya antara satu mukmin dengan mukmin lainnya. Karena mungkin orang yang berbuat begitu lebih rendah dari orang yang dihinakan, sedangkan manusia itu di sisi Allah Swt. dianggap sama.

Di samping caci maki terhadap yang hidup, maka orang yang matipun juga dilarang dicaci maki. Ayat yang lain sebagaimana tersebut di atas juga melarang adanya berburuk sangka. Namun Musthofa Husni Assiba’i berpendapat bahwa: “Persangkaan yang buruk itu diharamkan terhadap orang yang benar-benar dan jelas menutupi aibnya, sholeh, serta dapat dipercaya. Sedangkan terhadap orang yang gemar melakukan dosa maka berburuk sangka terhadapnya itu tidaklah dilarang”.[79]

Perbuatan fitnah itu tidak hanya berakibat pada orang yang menfitnah saja, tetapi juga pada orang yang difitnah dan juga terhadap orang lain (masyarakat). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Anfal ayat 25, yang berbunyi:

واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خاصة, واعلمواان الله شديد العقاب (الانفال|8: 25 )

Terjemahnya: Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang yang dianiaya saja di antara kamu dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya.[80] (QS.8: 25)

Bentuk fitnah yang lain adalah menuduh secara palsu (qadzaf), sedangkan qadzaf itu ada dua macam yaitu qadzaf bizzina dan qadzaf bighairi zina.

Demikianlah beberapa macam bentuk penghinaan yang ada dalam hukum Islam dan yang dinashkan dalam Al-Qur’an. Sebenarnya masih banyak lagi nash-nash yang belum diutarakan dalam tulisan ini. Dan nash-nash tersebut di atas penulis anggap cukup sebagai standar dalam pembahasan ini.

2. Hubungan Penghinaan dan Menjaga Kehormatan dalam Hukum Islam

Sesungguhnya Islam telah memelihara dan menjaga kemaslahatan yang telah nyata dan bukan kemaslahatan-kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu. Kemaslahatan yang ada pada perbuatan itu sendirinya serta berlangsung secara terus-menerus maupun kemaslahatan yang hanya berdasarkan waktu.

Kemaslahatan yang dipelihara oleh Islam mengenai penetapan hukuman bagi pelanggarnya itu akan berkisar pada lima pokok, seperti pendapat Musthofa Husni Assiba’i, yaitu: “Melindungi agama, jiwa, akal pikiran, keturunan serta harta benda. Setiap segala sesuatu perbuatan yang tujuannya untuk menjamin terlindunginya hal-hal yang lima tersebut, maka dipandang sebagai kemaslahatan dan yang menentang lima perkara tadi dipandang sebagai pengrusakan”.[81]

Sedangkan bentuk penodaan kehormatan yang paling berat adalah menuduh orang-orang mukmin perempuan yang terpelihara telah melakukan kemesuman (zina). Karena tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka yang dituduh itu mendengarkan dan juga didengar oleh keluarganya serta oleh orang yang suka menyebar berita kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam. Sehingga Allah mengancamnya dengan hukuman yang berat melalui firman-Nya surat An-Nur ayat 23:

ان الذين يرمون المحصنت الغفلت المؤ منت لعنوا فى الدنيا والاخرة, ولهم عذاب عظيم (النور|24: 23)

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka terkena laknat di dunia dan akhirat dan mereka terkena azab yang besar.[82]

Dengan adanya penjagaan terhadap kehormatan manusia ini timbullah kemerdekaan mengemukakan dan lain sebagainya yang masih dalam lingkup kehidupan manusia. Sedangkan pemeliharaan terhadap kehormatan itu termasuk dalam tingkatan kedua yaitu pemeliharaan jiwa. Hal ini telah dituangkan oleh kaidah hukum Islam yang artinya “Tidak boleh memberi mudlorot kepada orang lain dan tidak membalas kemudlaratan dengan suatu kemudlaraan”.[83]

Dengan demikian jelaslah bahwa larangan penghinaan (fitnah) itu erat kaitannya dengan menjaga kehormatan dalam hukum Islam. Oleh karena itu setiap orang wajib memelihara dan menjaga kehormatan orang lain. Sebab hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketenangan dan ketentraman bagi masyarakat, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.



BAB III

PROBLEMATIKA TINDAK PIDANA PENGHINAAN



A. Akibat Hukum Menghina Menurut KUHP dan Hukum Islam

1. Akibat Hukum Menghina Menurut KUHP.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum itu bersifat memaksa dan mengurangi kebebasan manusia. setiap peraturan tidaklah dapat efektif dan berjalan dengan baik, apabila tidak disertai dengan adanya saksi hukuman yang tegas dan memaksa. Hukum itu merupakan peraturan hidup kemasyarakata yang dapat memaksa orang supaya memtaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan saksi yang tegas berupa hukukman bagi siapa saja yang tidak mau mentaatinya.

Jadi salah satu hal yang esensial dan yang dapat membedakan hukum dengan kaidah-kaidah hidup lainya. Menghukum adalah mengenakan penderitaan, yang dimaksud hukuman disini adalah hukuman yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang serta dengan pertimbangan yang matang. Sedangkan akibat hukuman dimaksudkan agar dapat mendidik terpidana serta dapat mengembalikan kepada masyarakat, dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa setiap perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana yang tercantum dalam KUHP. Itu akan terkena hukuman sebagaimana yang tercantum dalam KUHP.jadi jelaslah bahwa fitnah itu mempunayi akibat hukum dan ancaman pidana yang berbeda-beda tergantung bagaimana cara perbuatan itu dilakukan dan kepada siapa kejahatan itu ditujukan serta siapa yang melakukan kejahatan itu.

2. Akibat Hukuman Penghinaan Menurut Hukum Islam

Sesungguhnya syariat Isma itu mengandung suatu agama dan Undang-undang. Dari segi agama syariat Islam itu mengandung hukum-hukum yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh umatnya. Sedangkan dari segi undang-undang, ia merupakan ketentuan yang mengatur tentang hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam rangka pelaksanaan ketentuan tersebut.

Penghinaan merupakan perbuatan yang sangat merugikan masyarakat, sehingga dilarang oleh peraturan manapun. Menurut hukum Islam bahwa orang yang melanggar ketentuan penghinaan ini akan mendapat balasan didunia yaitu berupa celaan dari masyarakat. Dalam delik-delik penghinaan makaTuhan menyerahkan kebijaksanaan hukumnya kepada penguasa. Dan ketentuan ini disebut ta’zir, yang dalam hukum positif dinamakan kebebasan hakim, seperti menuduh komunis, menuduh pencuri, menyiarkan kejelekan orang lain, mengadu domba, menghina orang , membuka rahasia orang dan sebagainya. Delik-delik penghinaan tersebut diantaranya :

a. Menuduh orang berbuat zina dengan tuduhan palsu

“Jikalau seseorang menuduh orang lain berbuat zina, maka penuduh tersebut harus dikenakan hukuman penuduhan berzina (didera 80 kali), dengan tiga syarat bagi penuduh yaitu: 1). Harus dewasa 2). Berakal sehat 3). Bukan Ayah si tertuduh.[84]

Jadi jelaslah bahwa menuduh orang berbuat zina hukumannya 80 kali dera, apabila tuduhan itu palsu. Dan hukuman itu merupakan balasan dari Allah didunia dan diakhiratpun tidak dapat terlepas dari hukuman itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat An-Nur ayat 23:

ان الذين يرمون المحصنت الغفلت المؤ منت لعنوا فى الدنيا والاخرة, ولهم عذاب عظيم (النور|24: 23)

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina) mereka terkena laknat di dunia dan akhirat dan mereka terkena azab yang besar.[85] (QS. 24: 23)

b. Penghinaan biasa baik dengan mengolok-olok, mengejek atau lainnya

Dalam hal ini pelaku dikenakan ta’zir, yang kadar ketentuannya diserahkan penguasa atau hakim untuk menetapkan hukumannya sesuai dengan keadaan terdakwa.

c. Menyampaikan risalah orang dengan adu domba (naminah)atas dasar fitnah dan dengan maksud untuk merusak hubungan diantara mereka

Dalam hal ini pelaku dijatuhi hukuman ta’zir yang kadar ketentuannya diserahkan penguasa. Hal ini merupakan balasan dari Tuhan didunia dan akhirat.

d. Menyebarkan kejelekan orang lain, yang orang itu tidak senang kalau kejelekannya disebarluaskan

Dalam hal ini pelaku dikenai hukuman ta’zir, yang kadar ketentuannya diserahkan kepada penguasa atau hakim, ini merupakan balasan Tuhan di dunia dan di akhirat nanti masih mendapatkan azab yang pedih. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. surat an-Nur ayat 19, yang berbunyi:

ان الذين يحبون ان تشيع الفاحشة فى الذين امنوا لهم عذاب اليم, فى الدنيا والاخرة, والله يعلم وانتم لاتعلمون (النور|24: 19)

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, maka bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah maha mengetahui sedang kamu tidak mengetahuinya“. (QS. 24: 19)[86]



e. Menghina orang atas dasar fitnah, dengan maksud untuk menimbulkan kekacauan masyarakat

Dalam hal ini pelaku dikenakan hukuman ta’zir, yang kadar ketentuannya diserahkan kepada penguasa atau haikm. Dan diakhirat nanti ia masih mendapat adzab dari Allah Swt., hal ini berdasarkan firman Allah surat Al Humazah ayat 1:

ويل لـكل همـزة لمـزة (الهمزة|104: 1)

Terjemahnya: Kecelakaan besar bagi para pengumpat dan pencela.[87] (QS. 104: 1)

f. Memanggil seseorang dengan panggilan yang buruk

Imam Nawawi berkata bahwa ulama telah sepakat tentang memanggil sesama muslim dengan panggilan yang buruk. Pelaku dalam hal ini akan dikenai ta’zir, yang kadar ketentuannya diserahkan kepada penguasa. Sedangkan diakhirat nanti ia masih akan dijatuhi adzab dari Allah.

Memaki-maki orang yang telah mati tanpa adanya kepentingan agama. Perbuatan ini akan menimbulkan keresahan dan kemarahan ahli warisnya, disamping itu juga kepada masyarakat luas. Menurut hukum Islam pelaku akan dikenai hukuman ta’zir sebagai penjelmaan hukuman Tuhan di dunia. Sedang di akhirat nanti ia masih dikenai hukuman Allah berpa adzab yang berat.

Sebenarnya masih banyak lagi bentuk-bentuk penghinaan yang dilakukan dengan cara-cara yang lain yang tidak dapat kami sebutkan disini. Karena mengingat banyaknya perbuatan-perbuatan penghinaan yang diatur dalam hukum Islam, serta yang dinashkan oleh Al qur’an atau hadits Nabi.

Berdasarkan uraian diatas bahwa menurut Hukum Islam pelaku penginaan itu akan dikenakan ta’zir. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab r.a. pada waktu pemerintahan terhadap saksi-saksi palsu. Adapun hukuman peringatan sebagai pelaksanaan hukuman ta’zir itu setinggi-tingginya tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambuk.

Mengenai hukuman akhirat bagi pelanggar delik penghinaan itu pelaksanaannya diserahkan kepada keadilan Allah dan hanya Allahlah yang tahu tentang hukuman akhirat itu lebih berat daripada hukuman di dunia.



B. Hal-hal yang dapat Menghilangkan Hukuman menurut KUHP dan Hukum Islam

1. Menurut KUHP

Pembuat Undang-undang disamping telah menuangkan rumusan mengenai perbuatan pidana, juga menentukan pengecualiapengecualian dengan batasan tertentu. Maksudnya bahwa dalam perbuatan pidana tersebut ada suatu perbuatanyang tidak dapat diterapkan dalam peraturan hukum pidana, karena padanya terdapat alasan penghapus pidana.

Hal-hal yang dapat menghapuskan pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan seorang pelaku pidana tidak dikenakan hukuman atau pidana. Hal-hal yang menyebabkan seseorang tidak dipidana itu ada dua macam yaitu:

a. Meskipun perbuatannya itu memenuhi rumusan tindak pidana, akan tetapi dianggap sebagai tindak pidana, karena perbuatannya itu tidak melawan hukum

b. Meskipun perbuatannya itu tidak dapat dikualisikan sebagai tindak pidana, akan tetapi pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya, padanya tidak ada kesalahan.[88]

Jadi yang dimaksud dengan alasan-alasan yang menghapuskan hukuman dalam bab ini adalah alasan-alasan menghapuskan atau meniadakan hukuman yang terdapat dalam pasal 310 ayat 3 KUHP. Dengan demikian pasal 310 ayat 3 KUHP itu termasuk kedalam alasan penghapus pidana yang hanya berlaku terhadap delik-delik yang tercakup dalam penghinaan secara khusus.

Ada dua hal yang dapat menghilangkan sifat melanggar hukum dari penistaan atau penghinaan, sehingga pelaku tidak dikenakan pidana atau hukuman. Dua hal tersebut ialah :

1). Adanya kenyataan bahwa pelaku dalam menyampaikan tuduhan yang bersifat menghina ini demi untuk kepentingan umum

2). Karena mutlak perlu untuk membela diri tentang sesuatu

Jadi orang yang menyerang kehormatan dan nama baik orang lain dengan menuduhnya melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan atau disiarkan melalui tulisan, maka ia tidak dapat dituntut hukuman apabila perbuatan yang dilakukan itu ternyata demi kepentingan umum atau terpaksa membela diri. Oleh karena itu jiuka ada tuntutan tergadapnya,maka keputusan hakim harus berbunyi “bebas dari tuntutan”.

Apabila dalam kesempatan pembuktian itu ternyata yang dituduhkan tidak terbukti, maka terdakwa tidak dapat dikenakan tuduhan memfitnah, akan tetapi wajib dibebaskan. Hal ini sesuai dengan pasala 314 ayat 1 KUHP :

“Jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap dinyatakan salah satu hal yang dituduhkan, maka pemidanaannya karena fitnah tidak mungkin”[89].



2. Menurut Hukum Islam

Sebagaimana yang terdapat dalam hukum positif, maka dalam Hukum Islam juga terdapat alasan-alasan yang dapat menghilangkan hukuman. Hal-hal yang dapat menghilangkan hukuman menurut Hukum Islam terbagi menjadi dua macam yaitu :

1). Alasan pembenar (asbabul ibahah).

2). Alasan pemaaf (asbabul raf’i al-‘ uqubah)

Menurut Abdul qodir Audah bahwa yang dimaksud dengan alasan pembenar adalah “Sebab-sebab yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilarang oleh syara’ sehingga perbuatan tersebut menjadi benar dan boleh, karena pelaku mempergunakan haknya atau melaksanakan kewajibannya yang telah dibebankan kepadanya“.[90]

Mengenai hal-hal yang termasuk dalam alasan pembenar adalah :

a. Pembelaan yang syah

Pembelaan yang syah menurut syara’ juga ada dua macam yaitu :

1). Pembelaan yang sah dalam arti khusus

2). Pembelaan yang syah dalam arti yang umum, maksudnya amar makruf nahi mungkar, yaitu mengikuti segala perintah dan menahui segala larangan.

Perlu diketahui bahwa ciri atau sifat dari pembelaan khusus adalah menolak serangan dan bukan mengadakan serangan .

Hal ini sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 194 yang berbunyi :

فمن عتدى عليكم فا عتدوا عليه بمثـل مااعتدى عليـكم,....(البقرة|2: 194)

Terjemahnya: “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu“.[91] (QS. 2: 194)

Dan syarat-syarat dari pembelaan diri adalah :

1. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum

2. Penyerangan harus terjadi seketika

3. Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan

4. Dalam menolak serangan hanyalah dengan seperlunya

Dalam syariat Islam, semua muslim itu wajib mengadakan pembelaan untuk kepentingan umum itu tanpa terkecuali. Hal ini berdasarkan surat Ali Imron ayat 104 :

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر, واولـئك هـم المفلحـون (ال عمران|3: 104)

Terjemahnya : “Dan hendaklah di antara kamu segolonagn umat yang menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. [92] (QS. Ali Imron 104)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama telah sepakat bahwa pembelaan umum itu tidak boleh ditinggalkan.

b. Pengajaran

Pengajaran ini dimaksudkan baik pengajaran oleh suami terhadap istrinya, dari orang tua terhadap anaknya, dengan maksud untuk menyadarkan atau memberi peringatan terhadap perbuatan tersebut yang salah. Dalam hukum Islam pengajaran itu termasuk dalam pemakaian hak, sehingga dibolehkan.

c. Pengobatan

Para sarjana hukum Islam telah telah sepakat bahwa mempelajari ilmu kedokteran itu hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya tidaklah dibebani pertanggung-jawaban pidana sepanjang yang dilakukan itu menurut etika ilmu kedokteran. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang artinya: “Sesungguhnya melaksanakan perintah wajib itu tidak terikat dengan keselamatan“.[93]

d. Melaksanakan Undang-undang atau perintah jabatan.

Syari’at Islam membebankan kepada penguasa untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya demi terlaksananya tata aturan yang telah ditetapkan. Hal ini untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara umum. oleh karena itu bagi petugas atau pejabat dalam melaksanakan tugasnya tidak diperkenankan beban pertanggungjawaban pidana.

Adapun yang dimaksud alasan pemaaf adalah sangat berhubungan erat dengan pribadi dengan pembuat jarimah yang mencakup daya paksa, belum dewasa, mabuk, serta gila atau sejenisnya.

Daya paksa menurut Khudlari Baek adalah “Pembebasan kepada orang lain oleh seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak disenanginya, baik dengan kata-kata maupun perbuatan di mana apabila beban (ancaman) itu tidak ada, tentu tidak akan dikerjakan oleh orang yang dipaksa tersebut”.[94]

A. Hanafi, mengatakan bahwa “daya paksa adalah suatu kelakuan yang diperbuat oleh seseorang terhadap orang lain yang karenanya dapat menghilangkan kerelaan atau tidak sempurna lagi pilihannya”.[95]

Menurut Abdul Qodir ‘Audah paksaan ada dua macam yaitu:

1). paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan. Ini yang disebut dengan “paksaan absolut”

2). paksaan yang menghilangkan kerelaan dan tidak merusak pilihan. Ini yang disebut dengan “paksaan relatif”

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa daya paksa adalah suatu ancaman dengan paksa terhadap seseorang dari orang lain untuk mengerjakan suatu perbuatan, di mana tidak ada pilihan lain bagi orang yang dipaksa kecuali melakukan yang dikehendaki oleh pemaksa.0

BAB IV

ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN TINDAK PIDANA PENGHINAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM



A. Akibat Hukuman Bagi Orang yang Menghina Menurut KUHP dan Hukum Islam

Dari uraian di atas telah diketahui bahwa pengertian penghinaan antara hukum pidana positif KUHP dan Hukum Islam itu ada persamaannya yakni menyerang dan merusak kehormatan dan nama baik seseorang. Sedangkan cara penghinaan itu dilakukan juga ada persamaan yakni baik dilakukan dengan lesan, tulisan maupun perbuatan. Akan tetapi perbedaannya adalah jika Hukum Islam, apabila seseorang meletakkan dirinya untuk direndahkan atau dihina bahkan sudah menjadi kebiasaannya, jika dikatakan demikian baik berupa ucapan maupun sikap yang mengandung penghinaan malah dia merasa gembira, maka hal ini tidak dipandang sebagai penghinaan.

Sanksi-sanksi bagi tindak pidana penghinaan menurut KUHP itu ada yang berupa hukuman penjara dan ada yang berupa denda. Sedangkan sanksi yang terdapat dalam Hukum Islam itu ada yang berupa dera pencabutan hak-hak tertentu seperti hak untuk menjadikan saksi buat selama-lamanya, serta had atau denda dan ta’zir terhadap delik penghinaan yang tidak diatur oleh Al-Qur’an dan Hadits. Disamping itu pula ada hukuman yang menjadi hak Allah seperti hukuman had bagi penuduh zina yang muhshon.

Dari sini dapat diketahui bahwa sanksi yang diterapkan oleh Hukum Islam terhadap pelaku tindak pidana penghinaan lebih berat dan lebih representatif daripada hukuman yang diterapkan oleh hukum pidana positif [KUHP]. Sebab dengan adanya hukuman penjara dan denda sebagaimana tercantum dalam KUHP itu kiranya kurang dapat mengenai sasarannya. Dan bahkan hukuman penjara itu tidak membuat nara pidana itu lebih baik, bahkan mungkin karena ringannya hukuman yang ada dalam KUHP tersebut maka akan membuat orang mudah akan melakukan penghinaan. Sehingga hukuman itu tidak membuat jera bagi para pelakunya.

Di samping itu hukuman yang ada dalam KUHP tersebut tidaklah konsisten. Sebab walaupun besarnya hukuman penjara namun besar dendanya masih tetap sama. Hal ini dapat dilihat pada pasal 310 ayat 1 tentang pencemaran secara lisan dengan pasal 310 ayat 2 tentang pencemaran secara tulisan.padahal pencemaran secara tertulis itu lebih berbahaya daripada pencemaran dengan lesan. Tetapi kenapa besarnya denda itu berlainan sesuai dengan hukuman penjara yang diterapkan.

Hal ini lain dengan hukuman dengan yang terdapat dalam hukuman pidana Islam. Disamping hukuman yang bersifat duniawi maka sipelaku juga masih dikenakan hukuman akhirat inilah yang membedakan secara prinsipil dari ketentuan hukum pidana positif [KUHP]. Dengan adanya hukuman akhirat ini, sipelaku tindak pidana tidak akan bisa melepaskan diri dari hukuman. Walaupun dia dapat melepaskan diri dari hukuman dunia, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari hukuman akhirat nanti. Sedangkan hukuman akhirat itu lebih besar dan berat dari hukuman hukuman dunia.

Sedangkan dengan adanya dua macam hukuman yang terdapat dalam Hukum Islam itu diharapkan akan dapat menimbulkan rasa kesadaran yang kuat pada diri si pembuat zarimah serta timbul akan rasa takut akan hukuman yang akan diterimanya apabila akan melakukan hukuman tersebut. Karena dia pasti tidak akan terlepas dari hukuman akhirat yang justru lebih besar. Kesadaran seperti inilah yang tidak dimiliki oleh peraturan-peraturan manapun di dunia.

B. Hal-Hal yang Dapat Menghilangkan Hukuman Menurut KUHP dan Hukum Islam

Dari segi hapusnya hukuman, antara hukum pidana positif [KUHP] maupun hukuman pidana Islam itu kesamaannya denda, baik mengenai alasan hapusnya hukuman yang bersifat umum maupun segi alasan yang bersifat khusus. Alasan yang yang bersifat khusus adalah :

1). Alasan pemaaf

2). Alasan pembenar

Alasan-alasan tersebut di atas sama-sama dibahas dan diperinci, baik oleh KUHP dan Hukum Islam.sedangkan mengenai hapusnya hukuman yang bersifat khusus dalam bidang penghinaan itu ada sedikit suatu perbedaan. Kalau kitab Undang-undang hukum pidana itu bahwa alasan hapusnya hukuman bagi pelaku penghinaan adalah karena demi membela kepentingan umum dan untuk membela diri. Kedua tersebut hanya hanya berlaku bagi penghinaan atau pencemaran lesan maupun tulisan, dan berlaku bagi penghinaan ringan. Ketentuan tentang dua alasan tersebut ada pada pasal 310 ayat 3 KUHP, yang berbunyi:

“Tidak termasuk menista dengan lesan dan menista dengan tulisan jika ternyata si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umumatau lantaran perlu untuk mempertahankan dirinya“.[96]

Sedangkan menurut Hukum Islam, hapusnya hukuman untuk kepentingan umum atau membela diri itu identik dengan daya paksa dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar, paksaan atau darurat. Kedua tersebut termasuk yang dapat memaafkan pelakunya. Untuk tidak dikenai sanksi hukuman dalam Hukum Islam. Kedua alasan tersebut tidak hanya berlaku pada delik penghinaan saja, akan tetapi juga terhadap delik-delik pidana yang lain terkecuali bagi delik pembunuhan dan penganiayaan berat itu tidak dapat dipengaruhi oleh daya paksa, baik daya paksa absolut maupun relatif. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. surat Al An’am ayat 151 :

...ولا تقتلواالنفس التى حرم الله الا بالحق...(الانعام|6: 151)

Terjemahnya: “….dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu sebab yang benar….”.[97] (QS. 6: 151).

Persamaan kedua hukum itu adalah terhadap pegawai negeri yang sedang melaksanakan tugasnya secara syah atau melaksanakan undang-undang dan ia tidak mengetahui kerugian yang akan dideritanya, maka pegawai negeri tersebut akan terbebas dari pertanggung jawabannya pidana. Karena ia dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya itu dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum atau masyarakat.

Dan mengenai patut atau tidaknya alasan untuk membela kepentingan umum atau untuk membela diri adalah tergantung dari pertimbangan hakim. Jika memang pembelaan itu, untuk kepentingan umum, maka sampai dimanakahhak masyarakat yang telah terbela? atau mungkin pembelaan itu hanya untuk pribadinya sendiri? Oleh karena itu hakim harus benar-benar jelicerdik serta adil dalam mempertimbangkan berdasarkan pada sanksi dan persangkaan persangkaan pada waktu pemeriksaanya, dan kesemuanya itu akan menjadi alasan-alasan.

Dengan melihat uraian di atas, maka jelaslah bahwa mengenai alasan-alasan yang menghapuskan hukuman, Hukum Islam itu lebih adil dan lebih lengkap. Hal ini dapat kita perhatikan dari segi alasan demi membela kepentingan umum atau untuk membela diri. Dari kedua segi alasan tersebut, hukum pidana lebih bersifat umum yang tidak hanya terdapat dari delik penghinaan saja, akan tetapi juga terhadap delik-delik yang lainnya. Sebagai dalil yang mendukung alasan di atas adalah surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi :

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر, واولـئك هـم المفلحـون (ال عمران|3: 104)

Terjemahnya : “Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. [98] (QS. 3: 104 ).

Pada dasarnya syariat Islam itu melarang beberapa perbuatan seperti pembunuhan, memfitnah, mencuri, makan bangkai, makan daging babi dan sebagainya. Akan tetapi kalau perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan karena terpaksa terpaksa atau tidak ada jalan lain kecuali melakukan hal itu, maka syariat Islam memperbolehkannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. surat Al-Baqarah ayat 173 :

...فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا اثم عليه, ان الله غفوررحيم (البقرة|2: 173)

Terjemahnya: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak ingin melakukannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”. [99] [QS. 2; 173].

Dan juga berdasarkan kaidah ushul fiqh yang artinya: “Keadaan darurat itu membolehkan hal yang dilarang“.[100]

BAB V

PENUTUP



A. Kesimpulan

Dari hasil analisa dan kajian yang telah penulis kemukakan diatas , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tindak pidana penghinaan menurutr KUHP adalah menyerang dan merusak kehormatan serta nama baik seseorang, baik secara lesan, isyarat maupun perbuatan dan bukan dalam bidang seksual. Sedangkan tindak pidana penghinaan menurut hukum Islam bahwa penghinaan adalah menganggap rendah dan remeh terhadap harga diri dan kehormatan orang lain baik secara lesan, tulisan, isyarat maupun perbuatan, dan hal itu dilakukan secara sengaja tanpa senda gurau.

2. Perbandingan delik penghinaan menurut KUHP dan hukum Islam itu terdapat kesamaan dan perbedaan, terutama segi rangkapnya hukuman dari Hukum Islam yakni hukuman dunia dan hukuman akhirat yang justru lebih besar dan lebih berat. Oleh karena itu seorang mukmin akan memiliki kesadaran yang kuat dan kemudian akan taat kepada ketentuan Hukum Islam tersebut. Karena ia tiadak akan dapat meloloskan diri dari hukuman akhirat, walaupun dapat meloloskan diri dari hukuman dunia. Keasdaran inilah yang tidak ada dalam ketentuan Hukum Pidana Positif [KUHP]. Di samping itu, hukuman yang ada dalam KUHP terlalu ringan sehingga akan mempermudah para pejabat untuk melanggar larangan tersebut, bahkan akan meningkatkan tehnik jahatnya. Dan sanksi yang dalam KUHP itu tidak konsisten, karena denda antara pencemaran dengan lesan itu sama besarnya dengan denda pada pencemaran dengan tulisan. Sedangkan mengenai hal-hal yang menghilangkan hukuman, hukum Islam itu lebih adil dan lengkap, karena alasan demi membela kepentingan umum atau untuk membela diri itu tidak hanya terhadap delik penghinaan saja, akan tetapi juga terhadap delik-delik atau jarimah-jarimah yang lain.



B. Saran – saran

Setelah penulis mengadakan pembahasan tentang masalah penghinaan dalam KUHP dalam Hukum Islam dalam skripsi ini , maka penulis memberi saran-saran kepada :

1. Para ahli hukum (selain hukum Islam) serta masyarakat pada umumnya untuk mempelajari dan memperdalam Hukum Islam, agar tidak terjadi kesalahpahaman baik yang menyangkut masalah perdata maupun pidana, dengan mengadakan perbandingan mana yang lebih adil dan lebih benar untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

2. Para penegak hukum khususnya, hendaklah selalu menjaga ketertiban dan kententraman serta keamanan di masyarakat.

3. Para ahli hukum Islam dan kaum muslimin pada umumnya dituntut oleh Allah Swt. agar melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan di dunia ini sehingga tercapai suatu kehidupan masayarakat yang adil, makmur, tentram, selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat nanti , Amien.















DAFTAR PUSTAKA





Al-Ghozali, “Ihya’ Ulumuddin”, terj. Isma’il Yakub, Ihya’ Ulumuddin, Jakarta: Faisan, 1989, juz IV.

Al Khudlori Baek, Muhammad, Ushul Fiqh, Beirut: Darul Fikri, 1988.

Alwi, Basori, Hukum Islam Jilid II, Jakarta: Bingosari, 1963

Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: 1986.

Anwar, Moch., Hukum Pidana Khusus I, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1989.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta 2000.

Ash Shidiqiey, Hasby, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1967.

______, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Assiba’i, Musthofa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, terj. M. Abda’i Rathamy, Bandung: 1988.

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1978.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987.

Hanafi, Ahmad, Azas-Azas Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Moeljatno, KUHP, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1990.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Projodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989.

Sastrowijoyo, Sofyan, Hukum Pidana I, Bandung: Armico, 1990.

Soesilo, R., Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor: Poltiteia, 1984.

______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya, Bogor: Piliteia, 1985.

Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Pres, 1991.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Sugandi, R., KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.

Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco, 1986.

BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah

Sistem pembagian waris atau sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia sangat banyak sekali corak dan ragamnya. Di mana sistem kewarisannya berpijak kepada bentuk masyarakatnya. Ada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya, sehingga apabila terjadi pembagian waris maka anak yang dari jalur ayah saja yang mendapat bagian. Ada juga masyarakat yang menganut sistem matrilineal dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ibunya saja, sehingga yang mendapatkan waris hanyalah garis keturunan sang ibu. Masyarakat indonesiapun ada yang menganut sistem parental atau bilateral yang mana sistem ini menghubungkan keturunannya kepada bapaknya. Jadi yang termasuk anaknya yang nanti akan mendapat warisan dari orang tuanya.

Sedangkan syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Didalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syari’at Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat nasabnya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan besar atau kecil.

Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara adil hukum-hukum yang berkaitan dengan kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, isteri, suami, kakek, seayah atau seibu. Sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 11:

يو صيكم الله فى أو لا دكم للذ كر مثل حظ الانثين فان كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وان كانت واحدة فلهاالنصف ولا بويه لكل واحد منهماالسدس مما ترك ان كان له ولد فان لم يكن له ولد وورثه ابواه فلامه الثلث, فان كان له اخوة فلامه السدس من بعد وصية يوص بها أودين اباؤكم وابناؤكم لاتدرون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من الله ان الله كان عليما حكيما.(النـساء: 11)

Terjemahnya:

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[101]

Pada hakekatnya masalah waris erat hubungannya dengan masalah keluarga, demikian pula halnya dengan masalah hukum waris sangat erat kaitannya dengan hukum keluarga. Sejalan dengan itu kehidupan masyarakat Indonesia juga sangat beraneka ragam secara etnis dan sifat golongan kemasyarakatan, terutama yang menyangkut tradisinya.

Keberadaan hukum waris dalam Islam (faraid) yang merupakan salah satu hukum yang sudah sejak lama berlaku dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia adalah berpola patrilineal (menganut konsep Syafi’i).[102] Hal ini membawa konsekuensi terhadap hak-hak kewarisan dari garis laki-laki meskipun kewarisan dari pihak perempuan juga tidak dapat diabaikan begitu saja.

Melihat hal demikian, hukum kewarisan secara patrilenial dan hukum kewarisan bilateral menjadi menarik untuk diangkat secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “Pengembangan hukum kewarisan sistem patrilenial dan bilateral menurut hukum Islam”, karena dalam masyarakat patrilineal atau yang sering dikenal dengan masyarakat kebapaan atau masyarakat yang menghubungkan hak kewarisannya hanya kepada garis sang bapak, masih sering diperselisihkan dalam penerapan dan penggunaannya.

Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah di atas, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut;

1. Apa yang dimaksud dengan hukum kewarisan patrilenial dan bilateral?

2. Bagaimana Kompilasi Hukum Islam mengenai kewarisan patrilineal dan bilateral?

3. Bagaimana perbandingan antara pandangan ahli waris dalam sistem kewarisan patrilineal dan bilateral?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui pengertian hukum kewarisan patrilenial dan bilateral.

2. Untuk mengetahui Kompilasi Hukum Islam mengenai kewarisan patrilineal dan bilateral.

3. Untuk mengetahui perbandingan antara pandangan ahli waris dalam sistem kewarisan patrilineal dan bilateral.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan agar bermanfaat;

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang sistem kewarisan patrilineal dan bilateral dalam hukum Islam.

Untuk pengembangan ilmu kewarisan, khususnya pengembangan wawasan tentang pembagian harta warisan.

Sebagai informasi kepada masyarakat tentang pandangan hukum Islam terhadap sistem kewarisan patrilineal dan bilateral.

Definisi Operasional
Untuk mempertegas maksud dan menghindari perbedaan persepsi dan kesalahan interpretasi, maka penulis akan menjelaskan pengertian dari judul “Pengembangan hukum kewarisan sistem patrilenial dan bilateral menurut hukum Islam” adalah;

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[103]

Sistem Patrilineal dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang menerima warisan berdasarkan pihak kerabat, yaitu kerabat dari garis keturunan laki-laki. Sedangkan sistem bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun dari pihak kerabat garis keturunan perempuan (ouder-rechtterlijke).[104]

Hukum Islam; adalah kumpulan atau himpunan keputusan-keputusan hukum-hukum Islam yang terinci dan jelas.[105]

Dengan demikian dapat diambil maksud judul skripsi ini adalah upaya untuk terwujudnya cakupan luas dari berbagai kaidah-kaidah atau sistem hukum kewarisan baik sistem patrilenial dan bilateral yang berlaku di Indonesia, untuk dijadikan bahan dan masukan pengembangan bagi Kompilasi Hukum Islam Indonesia, agar terwujud keadilan dan kesetaraan dalam pembagian waris bagi laki-laki maupun perempuan serta menjembatani perselisihan pendapat mengenai hukum kewarisan.

Metode Penelitian
4. Jenis Kajian

Jenis kajian ini adalah kajian pustaka, yaitu pemaparan argumentasi penalaran keilmuan yang diambil dari hasil berbagai kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan bacaan atau teori-teori dari para ilmuan yang terdapat dari berbagai sumber, baik buku, kitab undang-undang, dan jurnal ilmiah, tentunya yang sesuai sehingga bisa dijadikan bahan acuan.

5. Metode kajian

Sedangkan metode kajian dalam penulisan ini adalah pengumpulan data dengan analisis isi (contens analisys).[106] Ditinjau dari tempatnya, penelitian ini disebut dengan penelitian kepustakaan.[107] Penelitian ini ada yang menyebut kajian pustaka murni, yaitu penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil pikir peneliti mengenai satu masalah (topik). Penelitian hasil kajian pustaka ini memuat atau menggali gagasan atau proposi yang berkaitan dan harus didukung oleh data atau informasi yang diperoleh dari sumber pustaka (literature). Dengan landasan filosofisnya yang kualitatif dan rasionalistik.

Sumber pustaka untuk kajian ini dapat berupa buku, jurnal penelitian, transkrip, diskusi ilmiah, majalah dan sebagainya. Bahan-bahan pustaka tersebut lalu dibahas dan dianalisis secara kritis dan mendalam dalam rangka mendukung proposi dan gagasan.

6. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah catatan atau dokumen yang berupa kajian pustaka seperti buku-buku bacaan ilmiah, kitab undang-undang, majalah dan lain-lain.

c. Metode pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data dari subyek penelitian diterapkan metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan lain-lain.[108]

d. Metode analisa data
Metode analisis data atau informasi merupakan suatu hal yang penting demi terwujudnya validitas kajian untuk menganalisis data panelitian ini, penulisan menggunakan analisa data kualitatif-diskriptif, yaitu menggambarkan secara sestematik dan akurat mengenai fakta dan karakteristek mengenai obyek kajian atau bidang tertentu. Sedangkan metode penulisan yang di gunakan antara lain :

Deduktif, yaitu proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan mengeneralisasikan kebenaran tersebut pada peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).[109]

Induksi yaitu proses pengorganisasian fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.[110]

Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran mengenai susunan penulisan skripsi ini, maka penulis mengemukakan sistematikanya sebagai berikut;

Bab I : Pendahuluan. Bab ini merupakan pokok pikiran yang menjadi latar belakang pembahasan skripsi ini yang meliputi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II: Kajian Pustaka. mengenai Tinjaun umum sistem kewarisan yang meliputi pengertian kewarisan, faktor-faktor terjadinya kewarisan, sumber kewarisan, rukun waris, dan syarat-syarat waris.

Bab III: Sistem kewarisan patrilineal dan bilateral, yang terdiri dari penentuan ahli waris menurut sistem patrililenial, matrilenial, dan bilateral, serta pembagian harta warisan.

Bab IV: Merupakan hasil kajian tentang beberapa aspek yang memungkinkan pengembangan hukum kewarisan berdasarkan patrilenial dan bilateral dalam hal penentuan ahli waris dan pembagian warisan.

Bab V : Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM KEWARISAN



Pengertian Kewarisan
Kata Al-Miirats atau waris dalam bahasa Arab adalah bentuk masdhar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu irtsan-miiratsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang menegaskan tentang hal ini, demikian pula dengan hadits-hadits Nabi. Allah berfirman, QS. An-Naml: 16:

ورث سليمن داود وقال ياايها الناس علمنا منطق الطير واوتينا من كل شيئ ان هذا لهو الفضل المبين (النمل: 16)

Terjemahnya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: Hai manusia kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.”[111] (QS. An-Naml: 16)

Sedangkan makna Al miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisannya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Adapun pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan foqoha adalah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya persangkutan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang) berstatus gadai, atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).

Selain harta peninggalan itu sendiri, ada hak-hak si mayit (orang yang meninggal dunia) yang masih ada kaitannya dengan harta peninggalan tersebut, atau yang kita kenal sebagai hak-hak si mayit. Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:

1. Semua keperluan dan pembayaran pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat istirahatnya yang terakhir.

2. Hendaklah hutang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilaksanakan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.

Faktor-Faktor Terjadinya Kewarisan
Ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang mendapat warisan, yaitu:

1. Karena hubungan kerabat

Karena hubungan kerabat misalnya kedua orang tua (ayah dan ibu), anak-anak, saudara laki-laki ayah (paman) dan sebagainya.

2. Karena hubungan pernikahan

Karena hubungan pernikahan yaitu, suami istri yang telah melakukan pernikahan secara resmi atau sah meskipun belum pernah berkumpul sebagai layaknya suami istri. Sedangkan suami istri yang melakukan perkawinan secara tidak sah, maka hak pewarisnya batal demi hukum.

3. Wala’

Wala’ yaitu pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan budak atau hamba, kemudian orang yang dimerdekakan itu menjadi kaya. Jika hamba yang dimerdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang memerdekakannya dahulu berhak mendapatkan warisan. Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum ini, dapat disebut juga wala’ul ‘itqi dan atau walaa’un ni’mah. Hal ini disebabkan kareana pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya sebagai hamba sahaya.

Sumber Kewarisan
Sumber-sumber kewarisan atau hukum waris yaitu, pertama, Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan waris ini dengan jelas sekali. Yaitu tercan tum dalam surat An-Nisa’ ayat: 7, 11, 12, 176 dan surat-surat yang lain. Kedua, Al-Hadits, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:

عن ابن عباس قال قال رسول الله صلعم الحقواالفرائض باهلها فما بقـى فهو لاولى رجل ذكر (رواه مسلم)
Artinya: Nabi Muhammad saw. bersabda: berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. (sesudah itu) sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.[112] (HR. Muslim)

Ketiga, Al-Ijma’ dan ijtihad. Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab, dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang shareh, Misalnya:

a. Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakak. Di dalam Al-Qur’an hal itu tidak dijelaskan ialah status saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab. Kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapat bagian.

Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam madzhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.

b. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersma-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab undang-undang hukum wasiat Mesir yang mengistimbatkan dari ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.

Rukun Waris
Pada dasarnya pewarisan merupakan proses berpindahnya peninggalan dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila rukun-rukunnya tidak lengkap. Adapaun rukun waris ada tiga yaitu:

1. Mauruts, yaitu harta benda yang yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris jika sudah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga dengan nama tirkah atau turats.

2. Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukumi. Mati hukumi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim berdasarkan beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.

3. Warits, yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawarits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (perkawinan) dan hubungan hak perwalian dengan si muwarits.

Syarat-syarat Waris
Pusaka mempusakai itu adalah berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang ditinggalkannya. Pengertian tersebut tidak sekali-kali terjadi bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantikannya tidak berwujud disaat penggantian terjadi. Apalagi bila antara keduanya terdapat hal-hal yang menurut sifatnya menjadi penghalang. Oleh karena demikian pusaka mempusakai itu memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Matinya muarrits (orang yang mempusakakan)

2. Hidupnya waris (orang yang mempusakai) di saat kematian muwarits

3. Tidak adanya penghalang-penghalang mempusakai

Pertama: Matinya mumuwarits. Kematian muwarits itu menurut ulama dibedakan kepada tiga macam, yaitu:

a. Mati haqiqy (mati sejati)

b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)

c. Mati taqdiry (menurut dugaan)

1). Mati Haqiqy ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud kepadanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian seseorang ialah bahwa seluruh harta yang ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak yang bersangkutan dengan harta peniggalannya, beralih dengan sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian muwarits, dengan syarat tidak terdapat salah satu dari halangan-halangan mempusakai.

2). Mati hukmy ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang yang telah divonis mati padahal ia benar-benar masih hidup ialah vonis mati terhadap orang murtad yang melarikan diri dan menggabungkan kepada musuh. Vonis mengharuskan demikian karena menurut syari’at, selama tiga hari ia tiada bertaubat, harus dibunuh. Contoh vonis kematian seseorang, padahal ada kemungkinan ia masih hidup ialah vonis kematian terhadap si mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dan tidak pula diketahui hidup atau matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap dua jenis orang tersebut, maka berlakunya kematian ialah sejak tanggal yang termuat dalam vonis, biarpun larinya si murtad atau kepergian si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang termuat dalam vonis itu juga. Oleh karena itu para ahli waris yang masih hidup sejak vonis kematiannya berhak mempusakai, karena orang yang mewariskan seolah-olah telah mati sejati di saat vonis dijatuhkan dan ahli waris yang mati mendahului vonis sudah tidak berhak terhadap harta peninggalannya.

3). Mati taqdiry ialah suatu kematian yang bukan hakiki dan bukan hukmy, tetapi hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya meminum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, sebab dapat juga disebabkan oleh yang lain, namun keras jugalah perkiraan atau akibat perbuatan semacam itu.

Kedua: Hidupnya waris di saat kematian muwaris. Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat kematian muwaris, baik mati hakiki, mati hukmi maupun mati taqdiri, berhak mewarisi harta peninggalannya. Di dalam syarat yang nomor dua ini, masih banyak sekali problema-problema yang sangat riskan. Antara lain pusaka mafqud, pusaka anak dalam kandungan, dan pusaka orang yang mati berbarengan. Problem ini perlu dipecahkan karena adanya keraguan tentang hidup atau mati mereka di saat kematian orang yang mewariskan.

a. Mafqud, apabila si mafqud telah mendapat vonis hakim tentang kematiannya dan vonis tersebut telah mendahului kematian orang yang mewariskan, hal itu tidak menimbulkan kesulitan sedikitpun. Tetapi yang menimbulkan kesulitan dan melahirkan aneka ragam pendapat dalam cara penyelesaiannya ialah bila si mafqud sampai dengan saat kematian muwaris tidak mendapat vonis yang tetap dari hakim tentang kematiaannya. Problemanya terletak apakah dia ditetapkan masih hidup padahal tidak ada kabar beritanya dan apakah dia ditetapkan sudah mati padahal tidak ada bukti yang otentik. Hanya saja untuk menjaga barangkali ia masih hidup, penerimaan pusakanya ditahan dahulu sampai batas yang telah ditentukan. Bila dikemudian hari sebelum habis waktu maksimal menunggu ia muncul dalam keadaan hidup, bagian yang sedang ditahan yang memang disediakan untuknya diberikan kepadanya.

Tetapi bila ia telah mati atas bukti yang otentik atau telah divonis oleh hakim atas kematiannya, maka bagiannya yang sedang ditahan dikembalikan kepada para ahli waris menurut perbandingan furudh mereka masing-masing.

b. Anak dalam kandungan, ia berhak memperoleh bagian yang sedang ditahan untuknya, bila ia dilahirkan oleh ibunya menurut waktu yang telah ditentukan oleh sara’ dalam keadaan hidup. Kelahirannya dalam keadaan hidup ini merupakan bukti yang kuat bahwa ia benar-benar hidup di saat kematian muwaris. Adapun kalau ia lahir dalam keadaan mati dan kematiannya itu diduga keras akibat dari penyiksaan terhadap ibunya, menurut pendapat Hanafiyah ia masih dapat mewarisi harta peninggalan ayahnya.

c. Orang yang mati bebarengan. Dua orang atau lebih dari orang-orang yang saling berhak pusaka mempusakai yang mati bebarengan, misalnya seorang bapak bersama anaknya tenggelam bersama-sama di lautan atau terbakar bersama-sama di dalam suatu rumah yang sedang dilanda oleh api, maka salah seorang dari mereka tidak dsapat mempusakai yang lain, lantaran tidak jelas hidupnya di saat kematian yang lain. Dengan kata lain tidak diketahui siapa yang mati duluan siapa yang mati kemudian. Harta peninggalan mereka diwarisi oleh para ahli warisnya yang benar-benar masih hidup di saat kematian mereka. Tendensi sebagian fuqoha yang mengatakan bahwa orang yang mati berbarengan masih dapat saling pusaka mempusakai ialah untuk menentukan bagian para ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup.

Ketiga: Tidak adanya penghalang mempusakai. Biarpun dua syarat pusaka mempusakai itu telah ada pada muwaris dan waris, namun salah seorang dari mereka tidak dapat mempusakakan harta peninggalannya kepada yang lain atau mempusakai harta peninggalan dari yang lain, selama masih terdapat salah satu dari empat macam pengahalang mempusakai, yakni: perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan negara.

BAB III
MASYARAKAT PATRILINEAL



Pengertian Masyarakat Patrilineal
Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak sekali pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.

Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:

a. Sistem patrilineal

b. Sistem matrilineal

c. Sistem parental atau bilateral

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).[113]

b. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggono, Timor).[114]

c. Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak, ibu), dimana kedudukan wanita dan pria tidak dibedakan dalam pewarisan (Aceh, Sumatera, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain).[115]

Antara sistem keturunan satu dengan yang lain dikarenakan hubungan perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti di antara sistem patrilineal dan matrilineal. Dengan catatan bahwa di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak ibu (parental) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan pewarisan.

Namun demikian di sana-sini terutama di kalangan masyarakat di pedesaan masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan yang lama.

Jika disebut suatu masyarakat itu matrilineal atau patrilineal atau bilateral, maka yang dimaksud bahwa sistem kekeluargaan dalam masyarakat itu berdasarkan sistem keturunan yang patrilineal, atau matrilineal atau bilateral.

Jika disebut suatu hukum kewarisan itu patrilineal atau matrilineal atau bilateral, maka yang disebut ialah bahwa hukum kewarisan itu mencerminkan suatu sistem patrilineal atau matrilineal atau bilateral.

Kultur Masyarakat Patrilineal
Masyarakat patrilineaal atau masyarakat kebapakan ialah masyarakat yang anggotannya menarik keturunan melalui garis bapak. Juga masyarakat ini disebut masyarakat unilateral.

Pada masyarakat ini perkawinannya disebut “kawin jujur” yang berarti perkawinan dimana perempuan dilepaskan dari clanya dan dimasukan ke dalam clan suaminya. Kawin jujur ini adalah usaha mempertahankan masyarakat kebapakan.[116]

Jujur ini mempunyai tiga segi yaitu:

1. Juridis, yang berarti bahwa dengan dibayarnya jujur maka berpindahlah hak dan kewajiban si wanita ke clan suaminya.

2. Sosial, yang berarti untuk mempererat hubungan antar keluarga atau marga yang bersangkutan.

3. Ekonomis, yang artinya dengan adanya jujur maka terbentuklah barang yang dibawa oleh wanita dengan pemberian jujur tersebut.

Dalam masyarakat kebapakan yang seharusnya perkawinan adalah perkawinan jujur, seringkali diadakan perkawinan yang menyimpang dari kawin jujur yaitu “kawin semendo”. Mengenai kawin semendo ini adalah perkawinan dalam masyarakat kebapakan dimana terjadi kebalikan.

Jadi yang dimaksud dengan kawin semendo yaitu “seorang laki-laki datang atau masuk ke dalam lingkungan wanita”. Hal ini terjadi apabila dalam satu keluarga misalnya Lampung hanya mempunyai seseorang atau beberapa orang anak perempuan saja. Maka salah seorang dari anak perempuan harus melakukan kawin semendo, sdang anak-anak yang lainnya boleh kawin jujur. Dengan maksud agar keluarga tersebut tidak punah. Dan anak-anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunannya melalui garis ibunya yang kebapakan. Di sini orang laki-laki boleh tetap pada clannya sendiri atau dari clan yang berlainan coraknya. Dalam perkawinan ini suami berkuasa penuh atas benda-benda warisan istrinya, jadi dapat menguasai dan memiliki sebab dia sudah diangkat sebagai anak oleh mertuanya, karenanya pula ia mewarisi harta benda materiel dan unmateriel dari mertuanya.

Dalam masyarakat kebapakan ini seorang anak menemukan sanak kandungnya di kalangan mereka yang berasal dari seorang bapak asal, dihitung menurut garis bapak. Sedang sanak kandung ibunya, sanak kandung neneknya hanyalah merupakan semendo. Sanak kandung dalam arti luas bagi seorang anak Batak adalah semua mereka yang tergolong ke dalam marganya (pertalian darah menurut tradisi) sendiri. Sanak kandung dalam arti sempit adalah semua mereka yang sama berasal dari seorang bapak.

Dalam masyarakat patrilineal yang murni dilarang kawin antara Ali dan Fatimah manakala ayah Ali dan ayah Fatimah sebapak. Sebab dalam hal ini maka Ali dan Fatimah adalah seclan. Dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih seperti di Rejang, dilarang kawin antara Ali dan Fatimah jika ayah Ali memperanakan Ali dalam kawin yang patrilokal, demikian juga ayah Fatimah memperanakan Fatimah dalam kawin yang patrilokal, sedangkan ayah Ali dan ayah Fatimah diperanakan pula dalam perkawinan yang patrilokal oleh ayah yang sama ataupun dilahirkan dari perkawinan yang matrilokal oleh ibu yang sama. Sehingga semua mereka itu adalah se-clan. Atau dilarang kawin antara Ali dan Fatimah jika mak Ali melahirkan Ali dalam perkawinan yang matrilokal, sedang ayah Fatimah memperanakan Fatimah dalam perkawinan yang patrilokal, sedangkan mak Ali dan ayah Fatimah diperanakkan oleh ayah yang sama dalam perkawinan yang patrilokal ataupun dilahirkan oleh ibu yang sama dalam perkawinan yang matrilokal, sehingga mereka itu se-clan.

Dalam sistem patrilineal yang beralih-alih seperti di daerah Rejang itu banyak lagi kemungkinan-kemungkinan sehingga Ali dan FAtimah yang sepupu itu tidak boleh saling mengawini dikarenakan masih satu clan.[117]

Dalam hal budaya janda dan duda pada masyarakat patrilineal berbeda dengan budaya janda dan duda pada masyarakat matrilineal dan masyarakat parental. Janda dan duda dalam masyarakat patrilineal disebut balu.[118]

Balu dalam masyarakat patrilineal yang perkawinannya memakai perkawinan jujur, setelah wafat suaminya, tetap berkedudukan di tempat kerabat suami. Ia tetap berhak menikmati harta kekayaan yang ditinggalkan suami, walaupun ia bukan waris dari suaminya. Apakah janda itu mempunyai keturunan dengan suaminya yang telah wafat, ataukah tidak mempunyai keturunan sama saja. Ia tidak boleh kembali lagi pada kerabat asalnya, ia tidak bebas menentukan sikap tindakannya, aleh karena segala sesuatunya harus mendapat persetujuan dari pihak kerabat suami terlebih dahulu.

Di daerah Lampung jika janda tidak ada keturunan ia dapat memilih untuk kawin lagi dengan salah seorang saudara laki-lakli dari suami yang telah wafat atau anggota kerabat suami yang lain (kawin semalang),[119] atau barang kali kawin dengan orang luar daerah atas perkenan pihak kerabat suami dan suaminya yang kedua itu harus menggantikan kedudukan suaminya yang telah wafat. Jika ia tidak mau kawin lagi atau tidak ada yang mau mengawininya ia tetap saja berkedudukan di pihak kerabat suami dan berhak menikmati harta warisan suaminya sampai akhir hayatnya. Di tanh Batak seperti halnya di Lampung janda bukan waris dari suaminya, tetapi mereka selama hidupnya berhak memakai harta suami dalam batas kebutuhan penghidupannya.

Apabila janda dalam sistem patrilineal bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan sesuatu penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki, maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dri istrinya yang wafat karena menurut alam fikiran dalam sistem kekerabatan ini istri adalah milik suami, apalagi harta bawaan dan harta usahanya yang selama perkawina merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi-bagi kedudukannya.

Sistem Kewarisan Dalam Masyarakat Patrilineal
Dalam masyarakat kebapakan atau masyarakat patrilineal biasanya hanyalah anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris. Oleh karena itu seorang perempuan yang sudah kawin secara jujuran ia masuk anggota keluarga suaminya dan dilepaskan dari keluarganya sendiri. Maka ia tidak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Tetapi sekarang ada praktek penghibahan, dan penghibahan tersebut dilaksanakan pada waktu si pewaris belum meninggal dunia. Anak laki-laki ini mendapatkan warisan baik dari bapaknya maupun dari ibunya dan pada asasnya berhak atas semua harta benda.

Kalau di daerah Bali sistem kewarisannya ialah mayorat laki-laki, dimana anak laki-laki yang tertua sepeninggal bapaknya beralih menduduki tempatnya. Ia menjadi pemilik kekayaan, tetapi ia mempunyai kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Memberi sokongan dalam perjuangan hidupnya.

Ada sesuatu penyimpangan dimana yang memperoleh warisan dalam masyarakat kebapakan ini, tetapi di kalangan suku semendo anak perempuan yang tertua ini disebut “anak tunggu tubang” menjadi ahli waris.[120] Tetapi anak perempuan yang tertua ini didampingi oleh anak laki-laki yang tertua yang disebut “payung jurai”.[121] Kesemuanya ini mengandung maksud dan memberi kekuatan untuk memegang barang-barang pokok dari pada harta itu menjadi satu sebagai kebulatan yang tak terbagi-bagi.

Lain halnya masyarakat kebapakan di daerah Minahasa, disini ada kesatuan harta pusaka yang tak dapat dibagi-bagi, beserta dalam pembagiannya dalm tingkatan-tingkatan. Di Minahasa pembagian dari harta kelakeran ini mungkin saja terjadi, apabila semua yang berhak menyetujuinya.

Hal-hal yang mungkin menyebabkan harta pusaka itu tak terbagi-bagi ialah hukum waris manorat dari anak laki-laki atau anak perempuan yang tertua. Anak yang tertua mendapat hampir seluruh harta pusaka, akan tetapi disamping itu ia tetap mendapat kewajiban untuk ikut menanggung ongkos-ongkos hidup saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan, mengawinkan dan membantu mereka.

Selain hal tersebut di atas ialah untuk kepentingan keluarganya yaitu adanya janda dan anak-anak yang belum kawin. Selama janda itu masih hidup dan atau selama masih ada anak yang belum kawin, harta benda janda itu terkumpul di bawah penjagaan dari anak yang tertua itu sendiri. Pembagian atas salah seorang dan para ahli waris biasanya hanya terjadi jika hal ini tak bertentangan dengan kepentingan keluarga atau kepentingan janda dan anak-anak yang belum kawin itu.

Bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, bagian warisannya jatuh pada kakeknya (bapak dari yang mewariskan). Jika kakek itu tidak ada, maka anak-anak dari kakek itu (saudara laki-laki yang mewariskan) menjadi ahli warisnya.

Pada suku Batak di daerah Toba, ketentuan hukum adat warisnya adalah, bahwa hanya anak laki-laki sajalah yang akan mewarisi harta peninggalan bapaknya. Ketentuan-katentuan demikian ini dalam prakteknya diperlunak dengan penghibahan sawah atau ternak oleh bapak kepada anak-anak perempuan yang tidak atau yang sudah kawin, bahkan juga kepada cucu-cucunya yang pertama. Barang-barang yang dihibahkan secara demikian ini disebut “saba bangunan, pauseang atau indahan arian”.[122]

Juga di Ambon seorang bapak lazimnya melakukan penghibahan kepada anak perempuannya yang kawin yang berwujud kebun buah-buahan yang disebut “dusun lelepeello”. Yang perlu diperhatikan dalam masalh hibah ini adalah bahwa penghibahan sebidang tanah kepada seorang anak itu merupakan transaksi tanah, tetapi bukan transaksi jual, melainkan suatu transaksi pengoperan tanah dalam lingkungan keluarga. Oleh karena merupakan suatu transaksi tanah maka penghibahan tanah harus dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan supaya menjadi sah dan terang.

Apabila suatu somah atau keluarga yang hanya terdiri atas suami dan istri (tanpa anak) memiliki sebidang tanah yang dahulu diterima oleh suami atau istri secara hibah dari orang tuanya, kemudian lebih dahulu meninggal dunia dari pada orang tuanya yang menghibahkan tanah yang bersangkutan, maka tanah yang di hibahkan itu kembali menjadi milik orang tuanya.

Ketentuan ini adalah merupakan peraturan yang sudah lazim dalam hukum adat waris yang menyangkut soal barang asal.

BAB IV

STUDI KOMPERATIF TENTENG SISTEM KEWARISAN MASYARAKAT PATRILINEAL MENURUT

HUKUM POSITIF DAN ISLAM



A. Sistem Kewarisan Masyarakat Patrilineal Menurut Hukum Positif

Pada dasarnya hukum waris atau sistem kewarisan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia, baik masyarakat yang menganut sistem patrilineal, sistem matrilineal ataupun mayarakat yang menganut sistem parental atau bilateral, menurut hukum perdata yang biasa sering kita sebut hukum positif itu sama saja.

Jadi intinya menurut hukum perdata sendiri sistem kewarisan yang ada di Indonesia itu tidak dibeda-bedakan dalam arti antara masyarakat patrilineal, masyarakat matrilineal dan parental atau bilateral.

Hukum waris dalam KUH Perdata diartikan sebagai berikut: “Kesemuanya kaidah hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya”.[123] Seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan dinamakan pewaris, kekayaan yang ditinggalkannya dinamakan warisan dan orang yang berhak menerima warisan disebut ahli waris.

Menurut Undang-undang ada dua cara untuk dapat menjadi ahli waris yaitu:

1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang.

2. Pewarisan menurut wasiat.

a. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang

Menurut ketentuan undang-undang ini maka yang berhak menerima bagian warisan ialah anak keluarga dari yang meninggal dunia (mereka yang saling mempunyai hubungan darah).

Sedangkan yang terjadi di dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal, yang termasuk atau yang berhak menerima warisan adalah anak laki-laki dari keluarga yang meninggal dunia. Akan tetapi dalam prakteknya diperlunak, dengan menghibahkan harta kekayaan atau harta bendanya kepada anak-anak perempuan sebelum orang tuanya itu meninggal dunia. Jadi antara laki-laki dan perempuan itu sama-sama menerima atau mendapatkan kekayaan orang tuanya setelah orang tuanya itu meninggal dunia.

Sanak keluarga dalam hukum perdata dibagi empat golongan yang masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Jelaslah bahwa dengan adanya penggolongan ini maka prioritas untuk menerima warisan adalah golongan pertama, disusul oleh golongan kedua, lalu golongan ketiga, dan akhirnya golongan keempat. Tetapi perlu juga diketahui siapakah yang termasuk golongan pertama, golongan kedua, golongan ketiga dan golongan keempat. Maka tersebutlah bahwa golongan pertama meliputi keturunan (anak, cucu dan sebagainya). Dan janda-janda yang meninggal dunia beserta keturunannya termasuk golongan kedua. Disusul dengan leluhur yang meninggal dunia, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak yang digolongkan pada golongan ketiga dan akhirnya golongan keempat yang mencakup keluarga sedarah sampai derajat keenam.

b. Pewarisan menurut wasiat

Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam wasiat itu. Ini menunjukan adanya singkronisasi atau kesamaan dalam sistem kewarisan masyarakat patrilineal yang dalam prakteknya diperlunak dengan cara penghibahan kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan sebelum si pewaris meninggal dunia.

KUH Perdata dalam mengatur waris berasaskan bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka ketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya, yang berarti walaupun ada beberapa hak atau kewajiban dari si pewaris tersebut yang tak mungkin diwariskan, misalnya hak-hak dan kewajiban sebagai anggota suatu perkumpulan. Tetapi sebaliknya ada pula hak-hak dan kewajiban yang terletak dalam bidang hukum perbendaan atau perjanjian, tetapi tidak beralih pada ahli waris, misalnya suatu perjanjian perburuhan, dimana seseorang akan melakukan suatu pekerjaan dengan tenaganya sendiri.

Pada asasnya tiap orang, meskipun bayi yang baru lahir, adalah cakap untuk mewarisi. Hanya saja oleh undang-undang telah ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya, tidak patut menerima warisan. Seperti yang termaktub dalam pasal 838 KUH Perdata yang berbunyi:

Yang dianggap tak patut menjadi waris dan dan karenanyapun dikecualikan dari perwarisan ialah:

1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau coba membunuh si yang meninggal.

2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.[124]

Selain karena perbuatan ada juga orang-orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya tidak diperbolehkan memungut keuntungan dari si yang meninggal. Mereka ini di antaranya ialah notaris yang membuatkan surat wasiat itu serta saksi-saksi yang menghadiri pembuatan wasiat itu, pendeta yang melayani atau dokter yang merawat si yang meninggal selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian warisan dalam surat wasiat kepada orang-orang yang mungkin menjadi perantara dari orang-orang ini bisa dibatalkan. Sebagai orang-orang perantara ini, oleh undang-undang dianggap anak dan istri dari orang-orang yang tidak diperbolehkan menerima warisan dari wasiat itu.

Menurut BW, sebagaimana diketahui bahwa yang beralih pada ahli waris itu semua harta warisan yang meliputi juga hutang dari si peninggal dunia.

Dengan demikian adalah layak jika BW mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan itu. Ia dapat memilih 1 di antara 3 sikap itu, yaitu:

1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya

2. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat

3. Ia dapat menolak harta warisan]

Oleh karena pemilihan satu dari ketiga sikap itu berpengaruh besar terhadap ahli waris, maka oleh BW secara tegas diberi kesempatan untuk berfikir dulu sebelum memilih salah satu sikap itu. Hak berfikir ini diatur dalam pasal 1023 s/d 1029 BW.

Seperti dalam pasal 1023 BW disebutkan:

Semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar supaya mereka dapat mempertimbangkan, apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisan itu secara murni atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir, dan tentang itu mereka harus melakukan suatu pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang di dalam wilayahnya telah jatuh meluang warisan tersebut, pernyataan mana akan dibukukan dalam suatu register yang disediakan untuk itu.

Di tempat-tempat yang oleh lautan terpisah dari perhubungan langsung dengan tempat kedudukan Pengadilan Negeri, pernyataan itu dapat dilakukan dihadapan Kepala Pemerintahan Daerah, pejabat mana akan mengadakan catatan tentang itu dan memberitahukannya pada Pengadilan Negeri, yang selanjutnya akan menyelenggarakan pembukuannya.[125]

Selanjutnya masa tenggang waktu untuk berfikir itu oleh pasal 1024 BW ditetapkan 4 bulan. Tenggang itu kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri.

Menurut pasal 1025 BW selama tenggang ini pewaris tidak dapat dipaksa untuk menerima kedudukan sebagai ahli waris, dan terhadap ahli waris itu tak mungkin didapat suatu keputusan hakim yang memuat suatu penghukuman perihal harta waris itu, sedang putusan hakim yang sudah diucapkan terhadap peninggal warisan, dipertangguhkan pelaksanaannya. Tetapi ahli waris diwajibkan memelihara harta warisan sebaik-baiknya. Kalau tenggang empat bulan ini sudah lampau maka ahli waris dapat dipaksakan untuk mengambil salah satu dari tiga macam sikap tersebut di atas.

Di samping itu ahli waris-ahli waris ini harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku sebagai ahli waris. Menurut BW di antara syarat-syarat bagi ahli waris ialah para ahli waris ini harus sudah ada pada waktu pewaris meninggal. Harus ada ini berarti tidak hanya sudah dilahirkan tapi cukup apabila sudah ada dalam rahim ibu. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 BW yang berbunyi:

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”.[126]

Disamping itu kalau semua ahli waris menurut hukum adalah mampu untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan semua berada di tempat, maka pembagian warisan ini dapat dilakukan dengan cara sebagaimana dikehendaki pasal 1069 BW yang berbunyi:

Jika sekalian waris dapat bertindak bebas dengan harta benda mereka dan mereka itu kesemuanya berada di tempat, maka pemisahan harta benda peninggalan dapat dilakukan dengan cara yang sedemikian serta dengan perbuatan yang sedemikian senagaimana dikehendaki oleh mereka.[127]

Tetapi lain halnya apabila di antara para ahli waris itu ada yang belum dewasa atau berada di bawah pengawasan curatele atau apabila ada ahli waris yang tak hadir dalam pembagian harta warisan. Kalau ada ahli waris yang masih di bawah umur atau berada di bawah pengawasan curatele maka pembagian warisan harus dilakukan dengan suatu akte notaris dan di hadapan balai harta peninggalan. Dan jika ada ahli waris yang tak hadir atau tak sudi turut serta dalam pembagian warisan maka pembagian harta warisan harus dilangsungkan dengan dihadiri oleh balai harta peniggalan.[128] Sebagai dasar dari pembagian harus dipakai harta taksiran dari semua benda warisan. Saat yang berhubungan erat dengan pembagian warisan ialah saat yang dinamakan inbreng. Inbreng berarti memperhitungkan pemberian barang-barang yang dilakukan oleh peninggal warisan, pada waktu ia masih hidup kepada ahli waris.[129]

Pada dasarnya sistem kewarisan masyarakat patrilineal menurut hukum positif yang dalam hal ini menurut hukum perdata adalah sama seperti dalam masyarakat matrilineal ataupun bilateral. Walaupun pada prinsipnya dalam masyarakat patrilineal, hanyalah anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris dari keluarganya. akAn tetapi dalam prakteknya diperlunak dengan cara menghibahkan harta benda tersebut sebelum orang tuanya meninggal kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Jadi antara laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan harta peninggalan orang tuanya.

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Kewarisan Masyarakat Patrilineal

Penamaan kewarisan patrilineal terhadap hukum kewarisan yang dianut oleh pengikut Imam Syafi’i dan para ahli hukum Islam lainnya adalah suatu penamaan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ajaran tersebut mengenai soal-soal yang menyangkut dengan kewarisan. Sebenarnya sejauh ketentuan kewarisan yang ada penentuannya secara tegas dalam Al-Qur’an, selalulah ketentuan itu dianut oleh golongan ini dengan sepenuhnya. Artinya ialah pihak laki-laki mendapat warisan dan para pihak wanitapun mendapat warisan. Hal itu juga berarti bahwa seorang laki-laki mewariskan harta peninggalannya dan juga seorang perempuan mewariskan harta peninggalannya. Jadi sampai disini tidak kelihatan dasar dari penamaan kewarisan patrilineal itu, bahkan terlihat seakan-akan kebilateralannya.

Timbulnya dasar-dasar pemikiran sehingga kita menggolongkannya kepada sistem kewarisan patrilineal itu ialah apabila ajaran tersebut telah mulai memberikan penafsiran atau interpretasi kepada sesuatu ayat dimana terdapat kesempatan penafsiran sedemikian. Dalam penafsiran inilah secara jelas akan kita temui bahwa penafsiran-penafsiran tersebut dilatar belakangi oleh sadar atau bawah sadar keadaan masyarakat sekelilingnya. Dan masyrakat mereka pada waktu penafsiran itu, dan sekitar tempat dilakukan penafsiran itu, adalah masyarakat patrilineal. Penafsiran-penafsiran tersebut sejak tahun tiga hijriyah dan terutama di masa sesudah perkembangan fiqih sekitar tahun hijrah. Tempatnya ialah di tanah Madinah dan Mekah dan kemudian sekitar Asia Tengah, yang juga adalah bermasyarakat patrilineal penamaan sistem kewarisan patrilineal tersebut tidak pula dapat diartikan sistem kewarisan patrilineal yang biasa kita temui dalam masyarakat patrilineal di Indonesia. Tetapi patrilineal ajaran teesebut adalam semacam sistem pengutamaan kepada pihak laki-laki dimana terdapat kesempatan untuk menetapkan demikian, tetapi tetap memberikan waris epada kaum wanita yang tertentu yang tegas-tegas ditunjuk menjadi ahli waris menurut ayat-ayat Al-Qur’an.

Pokok-pokok pikiran dalam kewarisan patrilineal ini adalah:

1. Selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga perbandingan perolehan antara ibu dengan bapak atas harta peninggalan anaknya.

2. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Ushbah ialah anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilineal.

3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam Al-Qur’an mungkin disamakan dengan istilah biasa dalam bahasa sehari-hari atau istilah hukum adat dalam masyarakat Arab. Bahkan istilah-istilah dalam hukum adat dalam Al-Qur’an sendiri.

Di dalam sistem kewarisan patrilineal ini ahli warisnya digolongkan kepada dzul-faraa-idh, asabah dan dzul-arhaam. Untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan satu demi satu dari masing-masing ahli waris tersebut.

1. Dzul-faraa-idh

Penamaan ini tampaknya diberikan berdasarkan kedudukan seorang dipandang dari segi perolehan harta pusaka. Dzul-faraa-idh artinya ialah ahli waris yang mendapat harta peninggalan secara bagian tertentu dalam keadaan tertentu.[130]

Yang termasuk dzul-faraa-idh ini adalah:

1). Anak perempuan

2). Ibu

3). Bapak

4). Duda

5). Janda

6). Saudara laki-laki seibu

7). Saudara perempuan seibu

8). Cucu perempuan melalui anak laki-laki dalam hal tidak ada anak

9). Saudara perempuan kandung atau bapak

10). Datuk

11). Nenek

2. Asabah

Penamaan ini bermula dari kata-kata usbah, yaitu suatu pengertian dalam sistem hubungan darah. Dan kemudian ditarik kepada pengertian bentuk perolehan harta warisan, dan disebut ashabah atau dipermudah menyebutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan asabah. Sesuai dengan kedudukannya dalam pengertian hubungan darah usbah artinya ialah sekumpulan orang yang mempunyai hubungan darah secara patrilineal.[131] Kemudian dalam hubungan dengan hukum kewarisan, maka anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris secara patrilineal, tetapi tidak mendapat bagian tertentu dinamakan ashabah atau asabah. Dengan demikian asabah adalah orang yang mendapat bagian tidak tertentu atau mendapat bagian terbuka.

Asabah ini terdiri atas:

1. Asabah binafsihi

Asabah binafsihi artinya ialah orang yang menjadi asabah karena dirinya sendiri,[132] berupa:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki dan seterusnya ke bawah

c. Bapak

d. Datuk yaitu bapak dari bapak dan seterusnya ke atas

e. Saudara laki-laki kandung

f. Saudara laki-laki sebapak

2. Asabah bil-ghairi. Asabah bil-ghairi ialah orang (perempuan) yang menjadi asabah karena dibawa oleh orang (laki-laki) lain (asabah binafsihi) yang sederajat dan sesuai.[133]

Asabah bil-ghairi itu adalah:

a. Anak perempuan yang didampingi anak laki-laki

b. Cucu perempuan yang didampingi cucu laki-laki dalam hal tidak ada anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.

c. Saudara perempuan kandung yang didampingi saudara laki-laki kandung

d. Saudara perempuan sebapak yang didampingi saudara laki-laki sebapak dalam hal tidak ada saudara laki-laki kandung.

3. Asabah ma’al-ghairi

Asabah ma’al-ghairi artinya ialah saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi asabah karena didampingi oleh keturunan perempuan.[134]

Asabah ma’al-ghairi itu ialah:

a. Saudara perempuan kandung yang didampingi oleh anak perempuan saja atau oleh cucu perempuan saja atau bersama-sama dan seterusnya ke bawah.

b. Saudara perempuan sebapak yang didampingi oleh anak perempuan saja atau cucu perempuan saja atau mereka mereka bersama-sama dan seterusnya ke bawah.

3. Dzul-arhaam

a. Dzul-arhaam oleh kewarisan patrilineal diartikan sebagai orang yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris melalui seorang anggota keluarga yang perempuan.[135] Untuk lebih jelasnya dzul-arhaam dinilai dan disebut dalam kalangan kewarisan patrilineal sebagai anggota keluarga menantu lelaki.

b. Lebih tepat lagi dapat disebut Dzul-arhaam itu oleh kewarisan patrilineal sebagai anggota keluarga yang masih mempunyai hubungan darah dengan si pewaris tetapi hubungan itu telah jauh.

Dzul-arhaam itu adalah:

1). Anak dari anak perempuan (cucu melalui anak perempuan)

2). Anak saudara perempuan (keponakan)

3). Anak perempuan dari saudara laki-laki

4). Anak perempuan dari paman (saudara bapak yang laki-laki)

5). Paman seibu (saudara bapak yang laki-laki se ibu)

6). Mamak (saudara laki-laki dari ibu)

7). Bibik (saudara perempuan dari ibu)

8). Saudara bapak yang perempuan

9). Bapak dari ibu

10). Ibu dari bapak dari ibu

11). Anak saudara seibu

Dasar Pemikiran Penyebutan Dzul-Arhaam Itu Sejauh yang dapat dlihat Adalah:

1. Sebutan ulul-arhaam dalam Al-Qur’an surat Al-Anfaal yang berbunyi:





Terjemahnya: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.[136]



Ulul-arhaam (orang yang sepertalian darah itu) setengahnya lebih dekat kepada setengahnya dalam kitab Allah dibanding dengan sesama orang mukmin lainnya atau dibanding dengan orang muhajirin lainnya.

2. Sebutan ulul-arhaam dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat yang berbunyi:







Terjemahnya : Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewaris), di dalam kitab Allah dari pada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Allah.[137]

Ulul-arhaam (orang yang sepertalian darah) itu setengahnya lebih dekat kepada setengahnya dalam kitab Allah terbanding dengan sesama orang mukmin lainnya atau terbanding dengan orang muhajirin lainnya kecuali kamu berbuat baik (berwasiat) kepada Auliyaa-ikum (orang mukmin dan muhajirin itu)

Dengan demikian maka jelaslah bahwa hukum Islam dalam pandangannya mengenai sistem kewarisan masyarakat patrilineal itu hampir sama dengan sistem kewarisan masyarakat patrilineal menurut hukum positif. Terbukti bahwa dalam hukum Islam tidak begitu nampak dasar dari sistem kewarisan patrilineal tersebut, bahkan lebih nampak sifat kebilateralannya.

C. Perbedaan Sistem Kewarisan Masyarakat Patrilineal Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

Menurut hukum Islam secara umum dapat dilihat ada tiga perbedaan yang agak penting dianalisis, yaitu yang pertama ajaran kewarisan Syafi’i yang patrilineal, kedua ajaran Hazairin yang bilateral dan yang ketiga pendapat undang-undang wasiat di Mesir nomor tahun 71 tahun 1946. Perbedaan-perbedaan tersebut berkisar pada:

1. Perbedaan pada masalah cucu, menurut Syafi’i yang menganut sistem patrilineal, cucu disini tidak mendapat warisan apabila masih ada anak laki-laki dari si pewaris tersebut. Akan tetapi halnya menurut kewarisan Hazairin yang bilateral, bahwa cucu laki-laki maupun perempuan, baik melalui anak laki-laki maupun melalui anak perempuan mewarisi harta peninggalan si pewaris sebagai ahli waris pengganti.

2. Perbedaan pandangan dalam masalah kalalah. Kalalah disini adalah ada orang mati tidak berketurunan atau mati punah.[138]

3. Perbedaan pandangan dalam pelaksanaan kewarisan mengenai datuk atau ayah dari ayah. Menurut ajaran patrilineal yang menggantikan bapak hanyalah datuk dari pihak bapak, jadi datuk dari pihak ibu tidak mewarisi karena termasuk Dzawil arhaam.

4. Perbedaan yang lainnya adalah tentang Raad, menurut ajaran patrilineal tidak dapat diperlakukan terhadap duda atau janda yang hidup terlama, tetapi menurut ajaran bilateral karena duda atau janda itu dalam aul diikutsertakan pengurangannya maka adalah logis dan rasional pula terhadap duda atau janda bila ada kelebihan sisa bagi diberikan pula kepadanya.

Kesemua perbedaan-perbedaan itu timbulnya dari kalangan ajaran Islam sendiri. Sedangkan perbedaan sistem kewarisan antara hukum positif dan hukum Islam itu terutama terletak pada:

1. Tentang kelompok keutamaan dan penggolongan ahli waris

2. Tentang kedudukan anak-anak beserta keturunannya dan orang tua.

3. Tentang kedudukan orang tua beserta saudara

4. Tentang kedudukan datuk, nenek dan saudara.

5. Tentang kedudukan duda atau janda

6. Tentang ahli waris pengganti

7. Tentang testamen dengan wasiat, hibah, hibah wasiat atau legaat dan bagian mutlak.

Dari uraian kelompok keutamaan menurut hukum Islam dan penggolongan ahli waris menurut KUH Perdata dapat ditarik kesimpulan, bahwa persamaan antara keduanya ialah sama-sama membagi ahli waris itu dalam empat kelompok keutamaan menurut hukum Islam dan empat golongan menurut KUH Perdata. Bedanya terletak pada siapa-siapa yang termasuk kelompok keutamaan dan siapa-siapa yang termasuk golongan pertama, kedua, ketiga dan keempat.

Menurut hukum Islam anak-anak beserta keturunannya, ibu dan bapak, beserta duda atau janda termasuk dalam satu kelompok, sebagai suatu prinsip yang dianut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ 11. Ketentuan mana ditujukan kepada duda atau janda sebagai ahli waris.

Menurut KUH Perdata golongan I hanya terdiri atas suami atau istri yang hidup terlama beserta anak-anak dan keturunannya baik dari keturunan yang sama maupun dari keturunan yang berbeda-beda. Disini dapat terlihat bahwa dua orang tua (bapak dan ibu) walaupun mereka melahirkan, mengandung dan membiayai serta mendidik anak-anak, dia tidak dapat berkonkuresi atau bersama-sama mewaris harta peninggalan dengan anak-anak. Demikianpun bapak dan ibu akan tersingkir sebagai ahli waris bila masih ada suami atau istri.

Dalam golongan kedua terdapat persamaan yaitu orang tua dan saudara-saudara termasuk kelompok keutamaan II menurut hukum Islam dan golongan II menurut KUH Perdata. Bedanya disini di samping pembagian berlaku dua banding satu untuk laki-laki dan anak perempuan, sedangkan menurut KUH Perdata baginya tidak membedakan jenis kelamin. Beda yang kedua adalah bahwa menurut KHU Perdata selagi masih ada golongan I (anak-anak beserta keturunannya, istri atau suami) mutlak golongan II belum bisa meawris. Sedangkan menurut hukum Islam orang tu masuk ke dalam kelompok keutamaan I dan kelompok keutamaan II, demikian istri atau suami dapat masuk ke kelompok keutamaan I, II, III dan IV.

Titik perbedaannya terletak pada jumlah bagian, bapak dan ibu dalam hal ada anak memperoleh bagian lebih kecil dari anak yaitu masing-masing 1/6 (seperenam) sedangkan anak-anak karena membutuhkan biaya yang lebih besar memperoleh bagian relatif lebih banyak dari orang tua. Hal mana tidak bertemu dalam sistem kewarisan KUH Perdata yang menempatkan anak-anak lebih utama dari ibu dan bapak.

Bilamana masih ada anak-anak maka ibu dan bapak, tersingkir dan tidak mendapat warisan. Orang tua atau bapak dan ibu si pewaris baru tampil sebagai ahli waris yang mewaris harta peninggalan apabila tidak ada lagi anak-anak si pewaris beserta keturunannya, bahkan duda atau janda yang semula menurut KUH Perdata baru dapat mewarisi dalam derajat ke 12, sejak tahun 1935 di Indonesia anak-anak malah turut menyingkirkan orang tua, dalam memperoleh harta warisan.

Dengan demikian dapat dikatakan disini, bahwa pada prinsipnya ada persamaan antara hukum Islam dengan KUH Perdata tentang penggolongan ahli waris dalam kelompok keutamaan kedua, menurut hukum Islam dan golongan kedua menurut KUH Perdata, bedanya terletak:

a. Menurut KUH Perdata dibedakan pembagian warisan bagi saudara kandung dalam hal berbagi dengan saudara tiri seibu atau saudara tiri sebapak.

b. Menurut hukum Islam bahwa tidak dibedakan bagian saudara kandung dengan saudara tiri, baik seibu maupun sebapak yang dibedakan hanya jenis kelamin, yaitu saudara laki-laki mendapat bagian dua kali bagian saudara perempuan dalam hal tidak ada lagi bapak. Bila saudara mewaris bersama-sama bapak, maka saudara perempuan berbagi sama rata yaitu 1/3 atau hanya mendapat 1/6 dalam hal saudara itu hanya seorang.

c. Menurut kewarisan patrilineal, bapak menyingkirkan (menghijab) semua saudara. Berarti saudara tidak bisa berkonkuresi mewaris dengan bapak.

d. Menurut sistem patrilineal dibedakan saudara seibu saudara kandung dan saudara sebapak. Dan tidak bisa mewaris saudara sebapak baik laki-laki maupun perempuan bila masih ada saudara laki-laki kandung.

Sedangkan masalah datuk, menurut KUH Perdata baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu tersingkir oleh saudara-saudara karena saudara termasuk golongan ke II. Sedangkan datuk golongan ke III. Selagi masih ada golongan ke II maka golongan ke III tidak dapat tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan cucunya (si pewaris).

Menurut hukum Islam ada dua pendapat tentang datuk, yaitu:

1. Menurut ajaran kewarisan patrilineal, datuk dan nenek sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan dibedakan, yaitu:

a. Datuk (bapak dari bapak dan seterusnya ke atas)

b. Datuk pihak ibu dan seterusnya ke atas

c. Nenek baik pihak bapak mauoun ibu

Datuk pihak ibu dikategorikan dzawil arhaam yaitu keluarga keturunan perempuam tidak berhak mewaris harta peninggalan kecuali tidak ada sama sekali ashabuul furuudh dan ashabah dan tidak ada pula baitul maal yang teratur.

Sedangkan nenek dapat mewaris menggantikan bagian ibu 1/6 bila seorang saja dan berbagi sama rata atas1/6 bila dua orang atau lebih dengan tidak membedakan nenek pihak bapak atau nenek pihak ibu.

Pembicaraan pokok menurut ajaran kewarisan patrilineal datuk mendapat prioritas pertama bila mewaris dengan saudara dalam hal kalalah, yaitu:

a. Bila datuk mewaris bersama saudara dalam hal kalalah ada ahli waris yang lain, maka datuk memilih bagian yang terbesar dari tiga alternatif, yaitu:

a.1. 1/6 X harta peninggalan

a.2. 1/3 dari sisa setelah diberikan lebih dulu kepada ahli waris yang lain, misalnya ibu.

a.3. Mewaris bersama saudara seakan-akan datukl itu salah seorang dari saudara.



b. Bila datuk dalam hal kalalah hanya mewaris dengan saudara saja, maka datuk memilih bagian yang terbesar dari dua alternatif, Yaitu:

b.1. 1/3 X harta peninggalan

b.2. Mewaris bersama-sama saudara seakan-akan datuk itu salah seorang dari saudara.

2. Menurut ajaran kewarisan bilateral datuk dan nenek itu termasuk kelompok keutamaan keempat sebagai ahli waris pengganti, menggantikan kedudukan pembagian warisan bapak (datuk dan nenek sebelah bapak), sedangkan datuk dan nenek pihak ibu menggantikan (sebagai ahli waris pengganti) dari ibu.

Bagian antara datuk dan nenek tetap dua berbanding satu dengan nenek digaris mana mereka masing-masing berada. Adapun masalah yang kaitannya dengan janda dan duda menurut KUH Perdata sebelum tahun 1935 di Indonesia, 1923 di Negeri Belanda, duda atau janda termasuk derajat ke 12, sedangkan menurut pasal 832 jo 852 jo 852a termasuk golongan pertama bersama-sama dengan anak-anak dan keturunannya baik sah maupun tidak sah dengan tidak membedakan anak-anak dari keturunan yang berlain-lainan asalnya. Jadi duda dan janda menyingkirkan orang tua dalam menerima warisan. Karena orang tua baru tampil sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan, bilamana tidak ada lagi suami atau istri beserta anak-anak dan keturunannya.[139]

Sedangkan menurut hukum Islam baik sistem patrilineal maupun sistem bilateral, duda atau janda selalu dapat tampil sebagai ahli waris, baik bersama-sama anak beserta keturunannya dan orang tua (kelompok keutamaan I), dengan saudara-saudara dalam hal kalalah (kelompok keutamaan II), dengan ayah sebagai dzawul qarabat, maka sebagai dzawul faraa-id dalam kelompok keutamaan ketiga maupun dengan datuk nenek (kelompok keutamaan IV).

Janda atau duda yang hidup terlama tidak dapat menyingkirkan (menghijab) dan tidak dapat tersingkir (terhijab) oleh siapapun. Hanya ada atau tidak adanya anak mempengaruhi jumlah bagian duda atau janda. Bila ada anak dan keturunannya maka duda memperoleh 1/4, sedangkan janda memperoleh 1/8. Bila tidak ada anak-anak dan keturunannya duda memperoleh bagian 1/2 dan janda bila tampil sebagai ahli waris memperoleh bagian 1/4 dari harta peninggalan.

Adapun dalam masalah masalah testamen atau wasiat antara hukum Islam dan hukum positif tidak begitu tampak perbedaannya. Menurut pasal 875 KUH Perdata wasiat ialah: “Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi.[140]

Menurut hukum Islam wasiat ialah: “Pemberian hak kepada seseorang yang digantungkan berlakunya setelah si mati atau meninggalnya si pemberi wasiat, baik yang diwasiatkannya itu berupa benda atau manfaatnya”.[141]

Pada umumnya baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum Islam si pewaris berhak membuat wasiat untuk seluruh harta peninggalannya kepada siapapun yang ia kehendaki. Tetapi disamping itu menurut KUH Perdata berdasar pasal 913 sampai dengan pasal 916 bahwa ahli waris mempunyai hak legitieme portie (bagian mutlak) yaitu suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.[142]

Menurut hukum Islam bahwa wasiat itu dibatasi hanya maksimal sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Hal ini berarti dua per tiga merupakan bagian mutlak yang menjadi bagian seluruh ahli waris. Wasiat ini menurut hukum Islam disandarkan kepada Hadits Rasulullah saw. yang diperoleh berdasarkan kesimpulan yang diambil dari hasil dialog antara Rasulullah dengan salah seorang sahabatnya Saad Ibni Abi Waqash. Yang mana bunyi hadits ini:









Artinya: Saya mempunyai harta yang banyak, sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi saya. Saya sedekahkan dua per tiga dari harta saya itu ? Jawab Rasulullah “jangan”, maka bertanya lagi saad bagaimana kalau 1/2 ? Rasulullah menjawab lagi “jangan”, sudah itu bertanya lagi Saad, bagaimana jika sepertiga? maka berkatalah Rasulullah besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu dalam berkecukupan adalah lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka di dalam keadaan papa, meminta-minta kepada manusia. [143]



Ahlus sunnah berdasarkan Hadits tersebut menetapkan bahwa wasiat tidak boleh melampaui sepertiga dari harta setelah dikurangi dengan semua utang. Jadi disini ada persamaan antara bagian mutlak menurut KUH Perdata dengan pembatasan wasiat maksimal sepertiga menurut hukum Islam. Bedanya hanya terletak pada penerapan atau pelaksanaannya.

Menurut KUH Perdata janda atau duda beserta saudara-saudara tidak dapat bagian mutlak, sedangkan menurut hukum Islam sisa wasiat yang dua per tiga itu dibagi menurut perimbangan yang sama di antara para ahli waris berdasarkan jumlah paraid masing-masing yang tampil pada waktu warisan jatuh meluang baik anak-anak dan keturunannya suami atau isterinya, orang tua dan saudara-saudara.

BAB V

PENUTUP



Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

Sistem kewarisan yang terjadi dalam masyarakat patrilineal itu pada dasarnya menurut hukum positif sama dengan yang terjadi pada masyarakat bilateral, walaupun hanya pihak-pihak laki-laki saja yang berhak menjadi ahli waris, akan tetapi dalam prakteknya diperlunak dengan cara menghibahkan harta kekayaan kepad aseluruh anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan sebelum orang tuanya meninggal. menurut hukum Islam sebenarnya sistem kewarisan patrilineal itu tidak begitu nampak dasarnya, yang lebih nampak bahkan sistem bilateralnya yang mana sudah diatur sedemikian rupa dalam al-Qur’an.

Dalam hal pembagian harta, pengelompokan ahli waris dan wasiat yang ada dalam masyarakat patrilineal banyak sekali kesamaan-kesamaan baik menurut hukum positif maupun hukum Islam. Bedanya di sini hanya terletak pada penerapan dan pelaksanannya saja.

Saran-saran
Sehubungan dengan hasil kesimpulan yang ada di atas maka peneiti mempunyai saran-saran untuk dapat dijadikan sebagai pegangan dalam

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan setelah si pewaris meninggal dunia, alangkah baiknya si pewaris menghibahkan terlebih dahulu harta kekayaannya kepada semua anak-anaknya secara adil.

Hendaknya dalam pelaksanaan pembagian waris, dipertimbang-kan dulu dengan berlandaskan kepada hukum waris Islam, hukum adat dan hukum nasional yang berlaku dalam masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA



Anwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Jokjakarta; Pustaka Pelajar, 2004.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta 2000.

Dirjen Binbaga Departemen RI, Kompilasi Hukum Islam, tahun 1999/2000.

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan menurut KUHP (BW), Jakarta: Sinar Grafika, cet. II, 2000.

Subekti dan Tjtrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.

Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1982.



BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Manusia di dalam perjalanannya di dunia ini mengalami tiga (3) peristiwa yang penting yaitu waktu dilahirkan, waktu kawin dan waktu meninggal dunia. Pada waktu seseorang dilahirkan tumbuh tugas baru di dalam keluarganya. Demikian juga dalam arti sosiologis, manusia jadi pengemban hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa manusia akan kawin, bertemu dengan teman hidupnya untuk membangun dan menunaikan dharma baktinya yaitu tetap melangsungkan keturunannya.

Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggalkan dunia. Peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat penting, karena diliputi oleh suasana yang penuh rahasia dan yang menimbulkan rasa sedih. Kesediahan yang meliputi keluarga yang ditinggalkan dan rasa duka pada temannya yang akrab.

Sejak umat manusia mendiami dunia ini, soal meninggalnya seseorang selalu merupakan soal yang ajaib. Dengan demikian timbul persoalan, setelah seseorang meninggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang ia tinggalkan.

Apabila seseorang meninggal dunia karena usianya sudah uzur atau karena mengalami kejadian sesuatu, maka seseorang yang meninggal dunia tadi walaupun sudah dimakamkan akan tetapi perhubungan hukum itu tidak selesai begitu saja.

Bukankah seseorang yang meninggal tersebut masih mempunyai sanak saudara yang ditinggalkan, apakah itu ayah dan ibu, kakek dan nenek, anak-anaknya dan juga istri atau suaminya.

Apalagi jika yang meninggal dunia tersebut meninggalkan harta kekayaan yang mungkin akan menimbulkan sengketa ahli warisnya. Dengan kejadian tersebut di atas, maka akan timbul suatu pengertian yang disebut dengan "warisan".

Masalah waris ini menimbulkan berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi ahli warisnya, yaitu tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia.

Kekayaan akan beralih kepada ahli warisnya.[144] Apabila terjadi perselisihan antara ahli waris, maka penyelesaiannya dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

Sesuai dengan perkembangan jaman, pada umumnya masyarakat selalu menghendaki adanya suatu peraturan mengenai kewarisan dari harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia. Tetapi pada kenyataannya dalam masalah keduniawian pada hakekatnya akan berpindah kepada ahli waris yang ditinggalkan, tetapi pada batas kekayaannya saja.

Pada jaman dahulu di Indonesia seperti di Jawa apabila si meninggal dunia mempunyai jabatan dalam masyarakat misalnya raja, maka apabila ayahnya meninggal dunia kepangkatannya dapat diturunkan kepada anaknya.

Dari uraian di atas, yang paling menarik adalah bagaimana kedudukan janda dalam hukum waris yang ditinjau dari hukum positif, hukum adat dan hukum Islam.

Oleh karena itu maka penulis mangambil dan memberikan judul penelitian "Kedudukan Janda Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Positif, Hukum Adat Dan Hukum Islam".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas dan dengan kasus meninggalnya seorang pewaris akan timbul masalah, maka yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

"Bagaimana kedudukan janda sebagai ahli waris menurut Hukum Positif, Hukum Adat, dan Hukum Islam?"



C. Tujuan Penelitian

Dalam membahas penelitian ini, penulis mempunyai beberapa tujuan yang antara lain :

"Untuk mengetahui kedudukan janda sebagai ahli waris apabila kewarisan tersebut diselesaikan menurut Hukum positif, Hukum Adat dan Hukum Islam yang berkaitan dengan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si pewaris".

D. Kegunaan Penelitian

Setelah penelitian selesai, maka hasil penelitian ini diharapkan berguna:

1. Bagi Penulis; Untuk memenuhi persyaratan semester akhir di Fakultas Syari’ah dan terus diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh ujian sarjana strata satu pada Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Wahidiyah Kediri khususnya Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis.

2. Bagi Masyarakat; Sebagai bahan wacana untuk menambah wawasan dan perbendaharaan perpustakaan bagi yang membaca penelitian ini, juga dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara umum untuk masyarakat luas.

3. Bagi Almamater; Sebagai sumbangsih pemikiran penulis pada Sekolah Tinggi Wahidiyah Kediri khususnya Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai bahan referensi bagi adik-adik kelas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penulisan skripsi, proposal ataupun karya tulis lainnya dimasa yang akan datang.

E. Definisi Operasional

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang judul skripsi ini maka perlu di jelaskan atau penegasan istilah sebagai berikut:

Kedudukan, adalah keadaan yang sebenarnya tentang suatu perkara, status, keadaan atau tingkatan.[145]

Janda, adalah seorang isteri yang sudah ditinggal oleh suaminya karena cerai, baik karena ditinggal mati, maupun cerai yang diputus olah pengadilan.

Ahli waris; adalah orang-orang yang berhak menerima warisan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal atau pewaris atau yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris.

Hukum Positif adalah Peraturan-peraturan yang berlaku menurut

perundang-undangan Negara Indonesia,[146] yang dimaksudkan dalam judul adalah KUH Perdata yaitu hukum yang berlaku di suatu Negara Indonesia yang cakupannya pada wilayah individu.

Hukum Islam, adalah hukum yang digali dari dasar empat yaitu Al-Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[147]

Dari beberapa pengertian tersebut dapat penulis simpulkan maksud dari judul tersebut yaitu mengenai penentuan ahli waris bagi isteri yang ditinggal suaminya, baik cerai mati maupun cerai hukmy, serta kedudukan janda dalam Hukum kewarisan menurut Hukum Adat, Kedudukan Janda dalam Hukum Waris menurut Hukum Islam, dan kaitannya dengan kasus-kasus yang pernah terjadi didalam pengadilan.

F. Metode Penelitian

Metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Metode penelitian secara kepustakaan (Library Research), maksudnya adalah dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan data dengan membaca, mempelajari dari berbagai kepustakaan yang memuat toeri-teori yang berhubungan dengan penelitian mengenai hukum waris berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik menurut Hukum Positif, Hukum Adat maupun Hukum Islam. Dan penulis akan menelaah dan menggunakan beberapa literatur yang terdiri dari dua sumber antara lain :

a. Sumber data primer

Yaitu sumber data yang diambilkan lansung dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan buku Tanya Jawab Hukum Waris, Hukum Waris Dalam Islam, Intisari Hukum Warisan Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Hukum Adat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Sumber data sekunder

Yaitu sumber data yang diambilkan buku-buku ataupun komentar-komentar yang menyangkut tentang masalah yang sedang dibahas dalam penyusunan penelitian ini, misalnya yang terdapat pada majalah, surat kabar serta dokumen lainnya yang ada hubungannya dengan pembahasan penelitian ini.

2. Teknik analisa data dalam penelitian ini lebih dititik beratkan pada analisis isi (analysisis content) yang merupakan komperatif analisis dimana data yang ada di analisa dengan sistem membandingkan antara data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan data yang didapat dari penelitian secara kepustakaan terutama yang berkaitan dengan permasalahan warisan mengenai kedudukan janda dalam Hukum Waris menurut Hukum Positif, Hukum Adat, Hukum Islam.



G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dan memperlancar penyusunan penelitian ini maka penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang masing-masing bab terdiri dari sub-sub. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab I: Pendahuluan. Dalam bab I ini penulis menguraikan tentang: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Hukum Waris. Dalam bab II ini penulis menguraikan tentang Pengertian Hukum Waris, Pengertian Ahli Waris, Pengertian Harta Warisan, Bagian masing-masing Ahli Waris,

Bab III: Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris. Dalam bab III ini penulis membahas antara lain Kedudukan Janda dalam Hukum Waris menurut Hukum Negara Indonesia / KUH Perdata, Kedudukan Janda dalam Hukum Waris menurut Hukum Adat, Kedudukan Janda dalam Hukum Waris menurut Hukum Islam,

Bab IV : Analisis Terhadap Kasus Putusan. Dalam bab IV ini merupakan bab pembahasan atau analisis yang terdiri dari hasil penelitian tentang dualisis kasus dengan bahasan kasus yang terjadi mengenai persengketaan warisan dan kemudian dianalisis berdasarkan ketentuan atau peraturan perundangan-undangan di Negara Indonesia yaitu : Duduk Perkara, Pertimbangan Hukum, Putusan Pengadilan, Analisis Kasus.

Bab V : Kesimpulan Dan Saran. Dalam bab V ini merupakan bab akhir sekaligus penutup dari keseluruhan bab-bab sebelumnya yang memuat tentang : Kesimpulan dan Saran



BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS



A. Pengertian Hukum Waris

Tiap-tiap hukum senantiasa berkenaan dengan manusia yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lainnya, maupun hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya termasuk kekayaan alam. Setiap manusia pada kenyataannya pasti akan mengalami kematian, dengan meninggalnya seseorang maka kekayaan yang ditinggalkannya akan menjadi masalah, oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur kekayaan yang ditinggalkannya.

Apabila kita mendengar kata warisan, maka yang terlintas pada pikiran kita tentu ada seseorang yang telah meninggal, karena warisan dengan seseorang yang meninggal erat kaitannya. Dalam hal pengertian kewarisan, akan dibahas dalam 3 (Tiga) sistem kewarisan di Indonesia yang sampai saat ini masih berlaku yaitu :

1. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

Hukum waris dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) diatur dalam buku II Tentang Kebendaan bab keduabelas. Pewarisan adalah peralihan hak dan kewajiban dari pewaris kepada ahli warisnya.

Pewarisan ini hanya akan terjadi apabila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan untuk seseorang atau beberapa orang ahli waris. Sedangkan pelaksanaa pembagian harta peninggalan akan dimulai apabila seseorang atau pewaris telah meninggal dunia. Hal ini tercantum dalam pasal 830 KUHPer yang berbunyi : "Pewarisan hanya berlangsung karena kematian".[148]

Hukum waris adalah hukum yang mengatur harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia atau dengan kalimat lain yaitu: "Hukum waris mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta akibat-akibat bagi para ahli warisnya." [149]

Pada dasarnya proses beralihnya kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, terjadi jika :

a. Ada seseorang yang meninggal dunia

b. Ada ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris

Seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan dinama­kan Pewaris Sedangkan kekayaan yang ditinggalkan dinamakan Warisan dan seseorang yang berhak menerima harta peninggalan disebut dengan Ahli Waris. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa warisan adalah "soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban­kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup".[150]



2. Hukum Waris Menurut Hukum Adat

Hukum Adat Waris meliputi norma-norma hukum yang menempatkan harta kekayaan baik yang bersifat meteriil maupun yang imateriil, yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat cara dan proses peralihannya.[151]

Hukum Adat Waris menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses dan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goerderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) turunannya.[152]

Dengan demikian Hukum Waris Adat menurut ketentuan yang mengatur cara penerusan dari peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya.

Dalam Hukum Adat Waris yang diwarisi adalah kelebihan-kelebihan dari harta peninggalan setelah dipotong hutang-hutangnya artinya aktiva dipotong pasiva. Yang pertama sekali harus dibayar adalah ongkos penguburan dibayar kontan yang ditinggalkan oleh si mati atau barang-barang peninggalan dijual untuk membayar ongkos penguburan tersebut.[153]

3. Hukum Waris Menurut Hukum Islam

Hukum Waris mempunyai kedudukan yang penting dalam Hukum Waris Islam, untuk itu Al-Qur'an mengatur Hukum Waris dengan jelas dan terperinci sebagaimana QS. An-Nisa ayat 11);

يو صيكم الله فى أو لا دكم للذ كر مثل حظ الانثين فان كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وان كانت واحدة فلهاالنصف ولا بويه لكل واحد منهماالسدس مما ترك ان كان له ولد فان لم يكن له ولد وورثه ابواه فلامه الثلث فان لم يكن له اخوة فلامه السدس من بعد وصية يوص بها أودين اباؤكم وابناؤكم لاتدرون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من الله ان الله كان عليما حكيما.(النـساء: 11)

Terjemahnya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[154]



Demikian pula hukum waris langsung mencakup harta benda yang perlu ditentukan kepastiannya. Sebab pembagiannya akan menimbulkan sengketa antara ahli waris, karena dengan adanya kematian akan timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya akan diurus, kepada siapa akan dibagikan serta bagaimana cara untuk membagikannya.

Maka dalam Hukum Islam ada yang dinamakan Al-­Fara'id (Ilmu Waris), yaitu suatu ilmu tentang pembagian harta warisan. Sumber-sumber Hukum Waris Islam :

a. Al - Qur'an

b. Sunnah Rasul (Hadist)

c. Ijtihad (Kesungguhan para ahli waris Hukum Islam/ para ulama untuk menetapkan suatu hukum).

Ahli waris dalam Hukum Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti Peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia. "Hukum waris itu dinamakan Fara'id yang artinya pembagian tertentu."[155]

Hukum Warisan adatah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggaian pewaris, dan menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.



B. Tinjauan Tentang Ahli Waris

Orang-orang yang berhak menerima warisan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal atau pewaris atau yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris disebut ahli waris.

1. Ahli Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

Menurut Undang-undang ahli waris dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : a). Ahli waris menurut ketentuan Undang-undang yang disebut ab­intestato. b). Ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat yang disebut mewaris secara testamenter.

Menurut ketentuan undang-undang yang berhak menerima bagian warisan ialah anak dari yang meninggal dunia (mereka yang mempunyai hubungan darah). Dalam KUHPer diatur secara limitatif artinya orang-orang tertentu yang menerima harta peninggalan. Adapun orang tertentu tersebut adalah :

1. Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) atau mewaris secara langsung. Ahli waris yang tampil dalam kedudukan sendiri ini hukum perdata menggolongkan sebagai berikut :

a. Keluarga dalam garis keturuanan lurus kebawah, meliputi anak­-anak beserta keturunannya serta suami atau istri yang ditinggal mati (sebelumnya suami atau istri tidak saling mewaris).

b. Keluarga dalam garis lurus keatas, meliputi orang tua dan saudara, baik pria maupun wanita serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin, bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan walaupun mereka mewaris bersama-sama pewaris.

c. Keluarga meliputi kakek, nenek dari leluhur selanjutnya keatas dari pewaris.

d. Meliputi anggota keluarga dalam garis kesamping, anak ke­luarga lainnya sampai uerajat keenam.



2. Ahli waris berdasarkan pergantian (bij plaats vervulling) dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung, oleh KUHPer diperinci sebagai berikut: a). Pergantian dalam garis pancang kebawah. Setiap anak yang meninggal terlebih dahulu digantikan oleh cucu-cucu (anak-anaknya pewaris) hal ini bisa kita lihat dalam pasal 847 KUHPer yang berbunyi : "Tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantiannya". b). Penggantian dalam garis ke samping (zijline). Tiap saudara kandung atau saudara tiri yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh sekalian anaknya. c). Penggantian dalam garis ke samping, juga melibatkan peng­gantian anggota keluarga yang lebih jauh misalnya : Paman atau keponakan, jika meninggal terlebih dahulu, digantikan oleh keturunannya.

3. Pihak ketiga bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan. Dalam hal ini kemungkinan timbul dalam KUHPer terdapat ketentuan pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat memperoleh harta peninggalan pewaris berdasarkan suatu testament atau wasiat. Pihak ketiga tersebut berupa pribadi orang atau pribadi hukum.

Mereka yang dipanggil sebagai ahli waris adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan pertama. Anak-anak dan keturunan-­keturuanan mereka menurut pasal 852 KUH P mewaris tanpa perbedaan kelahiran rnereka, bahkan jika dilahirkan dari lain-lain perkawinan mereka mewaris kepala demi kepala, atau dengan hak untuk diri sendiri, jika mereka berada dalam derajat kesatu pancang demi pancang.[156] 9)

2. Ahli Waris Menurut Hukum Adat

Dalam hukum adat ahli waris tidak dapat ditetapkan (ditentukan) karena berbagai daerah itu bermacam-macam kekeluargaan, jadi ahli warisnya digolongkan sifat kekeluargaan masing-masing. Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak. Menurut tata tertib hukum waris dapat dibagi menjadi :

a. Waris Parental (berdasarkan kedua orang tua)

Jika salah satu orang tua meninggal, harta benda perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Yang berhak mewaris adalah semua anak-anak (pria dan wanita) dengan pembagian yang sama rata. Apabila yang meninggai itu tidak mempunyai anak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup dan apabila kedua-duanya meninggal dan tidak meninggalkan anak, maka harta bersama itu jatuh pada famili kedua belah pihak. Apabila salah satu meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua). kalau yang tertua tidak ada atau telah meninggal dunia, maka harta itu jatuh pada ahli waris kedua orang tua tersebut (saudara laki-laki).

b. Waris Patrilineal (pihak bapak)

Yang berhak mewaris dalam sistim ini hanyalah anak laki-laki. Kalau ayah meninggal dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka bagian warisan itu jatuh pada kakek (ayah dari yang meninggal) kalau kakek tidak ada, maka yang mewaris adalah saudara laki-laki dari yang meninggal.

c. Waris Matrilineal (pihak ibu)

Yang berhak mewaris adalah semua anak dari ibu, jika yang meninggal suami, maka yang berhak mewaris adalah sudara perempuan beserta anak-anaknya.

Di samping sistim kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan hukum adat mengenal tiga sistim kewarisan yaitu :

a. Sistim kewarisan individual yaitu sistim kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan misalnya : suku Jawa, Batak, Sulawesi clan lain-lain.

b. Sistim kewarisan kolektif ialah sistim kewarisan dimana harta pusaka dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga di dalam arti kerabat (famili).

Contohnya : Minangkabau.

c. Sistim kewarisan mayorat ialah sistim pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris.

Sistim mayorat ini ada dua macam yaitu :

1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila laki-laki tertua atau sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari pewaris. Misalnya di Lampung.

2) Mayorat perempuan, yaitu anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat tanah semendo di Sumatera Selatan.

Nazairin dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto, menerangkan tentang sistim kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu : "Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjukkan kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistim kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat bilateral, tetapi dapat juga dijumpai dalam masyarakat patrilineal seperti tanah Batak, mungkin pula disana dijumpai sistim mayorat dan sistim kolektif yang terbatas.

Demikian juga sistim mayorat, selain masyarakat patrilineal yang beralih di tanah Semendo dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak (Kalimantan Barat), dan sistim kolektif terdapat di Sulawesi Utara.[157]

Ahli waris menurut hukum adat di setiap propinsi di Indonesia sebagai berikut :

1. Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh) sistim patrilineal;

2. Propinsi Sumatera Utara (Medan) sistim patrilineal;

3. Propinsi Sumatera Barat (Padang) sistim matrilineal;

4. Propinsi Riau (Pakanbaru) sistim patrilineal;

5. Propinsi Jambi (Jambi) sistim patrilineal;

6. Propinsi Bengkulu (Bengkulu) sistim berganti-ganti yaitu patrilineal atau matrilineal,

7. Propinsi Sumatera Selatan (Palembang) sistim patrilineal anak laki­laki tertua;

8. Propinsi Lampung (Tanjungkarang) sistim patrilineal;

9. DKI Jakarta (Jakarta) sistim parental;

10. Propinsi Jawa Barat (Bandung) sistim parental;

11. Propinsi Jawa Tengah (Semarang) sistim parental;

12. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta) sistim parental;

13. Propinsi Jawa Timur (Surabaya) sistim parental;

14. Propinsi Kalimantan Barat (Pontianak) sistim parental;

15. Propinsi Kalimantan Tengah (Palangkaraya) sistim parental;

16. Propinsi Kalimantan Selatan (Banjarmasin) sistim parental;

17. Propinsi Kalimantan Timur (Samarinda) sistim parental;

18. Propinsi Sulawesi Utara (Manado) sistim parental;

19. Propinsi Sulawesi Tengah (Palu) sistim parental;

20. Propinsi Sulawesi Tenggara (Kendari) sistim patrilineal;

21. Propinsi Sulawesi Selatan (Ujungpandang) sistim patrilineal;

22. Propinsi Bali (Denpasar) sistim patrilineal;

23. Propinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram) sistim patrilineal;

24. Propinsi Nusa Tenggara Timur (Kupang) sistim Patrilineal;

25. Propinsi Maluku (Ambon) sistim patrilineal;

26. Propinsi Irian Jaya (Jayapura) sistim patrilineal.



3. Ahli Waris Menurut Hukum Islam

Ahli waris menurut Hukum Islam dapat digolongkan atas dasar tinjauan dari segi jenis kelaminnya, dari segi haknya atas dasar harta warisan.

Dari segi jenis kelamin, ahli waris dibagi menjadi dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.

a. Ahli waris laki-laki terdiri dari :

1. Ayah;

2. Kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya keatas dari garis laki­-laki;

3. Anak laki-laki;

4. Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki;

5. Saudara laki-laki kandung (seibu seayah);

6. Saudara laki-laki seayah;

7. Saudara laki-laki seibu;

8. Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki saudara laki-laki kandung) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki;

9. Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki saudara laki-laki seayah) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki;

10. Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya keatas dari garis laki-laki;

11. Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan seterusnya keatas dari garis laki-laki;

12. Saudar sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki paman kandung) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki.

Termasuk didalamnya anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya, dan anak keturunannya dari garis laki-laki;

13. Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki.

Termasuk seperti yang disebutkan pada nomor 12.

b. Ahli waris perempuan terdiri dari :

1. Ibu;

2. Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya keatas dari garis perempuan;

3. Nenek (ibunya ayah) dan seterusnya keatas dari garis perempuan, atau berturut-turut dari garis laki-laki bersambung dengan berturut-turut dari garis perempuan;

4. Anak perempuan;

5. Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya kebawah dari garis laki-laki;

6. Saudara perempuan kandung;

7. Saudara perempuan seayah;

8. Saudara perempuan seibu;

9. Istri;

10. Perempuan yang memerdekakan budak.



Dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan yaitu :

a. Ahli waris dzawii furudl

Yaitu yang mempunyai bagian-bagian tertentu ialah : 2/3, 1/2, 113, 1/4, 1/6 dan 1/8.

Yang termasuk dalam ahli waris dzawil furudl ialah .­

1. Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan.

2. Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara perempuan kandung , seayah atau seibu;

3. Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara kandung atau seayah;

4. Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman­(saudara laki-laki seayah);

5. Paman seibu (saudara laki-laki seayah);

6. Paman, saudara laki-laki ibu;

7. Bibi, saudara perempuan ayah;

8. Bibi, saudara perempuan bibi;

9. Kakek, ayah dari ibu;

10. Nenek, buyut, ibu kakek;

11. Kemenakan seibu, anak-anak semenda laki-laki seibu.



b. Ahli waris ashabah

Yaitu ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya akan tetap menerima seluruh harta warisan, jika tidak ada ahli waris dzawil ­furudl berhak atas sisanya, dan apabila tidak ada sama sekali maka tidak dapat bagian apapun. Ahli waris ashabah ada tiga macam :

1). Ashabah bin-nafsi (ashabah dengan sendirinya)

Artinya tidak karena ditarik oleh ahli waris ahabah lain atau tidak bersama-sama dengan waris lain seperti anak laki-laki, cucu laki-­laki (dari anak laki-laki), saudara laki-laki kandung atau seayah, paman dan sebagainya.

2). Ashabah bighairi

Yaitu ashabah karena ditarik oleh ashabah lain, seperti anak perempuan ditarik menjadi ashabah oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik menjadi waris ahabah oleh cucu laki-laki, sudara perempuan kandung atau seayah ditarik menjadi waris ashabah oleh saudar laki-laki kandung atau seayah clan sebaginya.

3). Ashabah ma'alghairi

Yaitu ashabah karena bersama-sama dengan waris lain, seperti saudara perempuan kandung atau seayah menjadi waris ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan.

c. Ahli waris dzawil arham

Yaitu ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil furudl ashabah. Yang termasuk ahli waris dzawil furudl ialah :

1. Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan;

2. Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara perempuan kandung, seayah atau seibu;

3. Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki kandung seayah;

4. Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman (saudara laki-laki seayah);

5. Paman seibu (saudara laki-laki ayah ibu);

6. Paman, saudara laki-laki ibu;

7. Bibi, saudara perempuan ayah;

8. Bibi, saudara perempuan bibi;

9. Kakek, ayah ibu;

10. Nenek: buyut, ibu kakek (No. 9);

11. Kemenakan seibu, anak-anak semenda laki-laki.



Sesuatu yang menjadi penghalang mendapatkan waris

1. Berbeda agama. Alasannya adalah hadits Nabi saw. yang berbunyi:

لايرث المسلم الكفر ولا الكفر المسلم (رواه البخارى)

Artinya: “Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim”.[158] (HR. Bukhori)

2. Membunuh, apabila pewaris membunuh orang yang mewariskan harta kepadanya, maka iapun tidak berhak meawrisinya, berdasarkan sabda Nabi:

ليس للقاتل من تركة المقتـول شـئ (رواه المسلم)

Artinya: “Apabila pewaris membunuh orang yang mewariskan harta kepadanya, maka iapun tidak berhak mewarisinya”.[159] (HR. Muslim)

C. Harta Warisan

1. Harta Warisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

Harta warisan menurut hukum perdata, dari manapun asalnya merupakan satu kesatuan yang secara keseluruhan beralih dari tangan si pewaris kepada ahli warisnya. Sebagai konsekuensinya dari sistim ini, tidak dikenal adanya lembaga barang asal (barang bawaan), yaitu barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri pada saat perkawainan dilangsungkan. Demikian pula hanya dengan lembaga barang gono gini atau barang pencaharian bersama suami istri selama perkawinan.

Pengecualian dari semua itu hanya dapat dilakukan dengan perjanjian kawin. Jadi sistim waris perdata barat tidak mengenal "harta asal" maupun "harta gono-gini" atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan. Sebab harta warisan dalam hukum perdata barat dari siapapun juga merupakan "kesatuan" yang secara bulat atau utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan pewaris kepada seluruh ahli warisnya, artinya di dalam hukum perdata barat (BW) tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Ditegaskan dalam pasal 849 KUHPer yaitu : "Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal daripada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewaris terhadapnya".

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), sejak dilangsungkannya perkawinan, maka terjadilah persatuan bulat antara kekayaan suami dan kekayaan istri, dengan tidak memandang siapa asalnya yang memiliki harta itu, seperti yang tersebut dalam pasal 119 KUHPer yang berbunyi : "Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri".

Demikian pula ditetapkan bahwa apabila suatu harta benda suami istri campur kekayaan secara bulat atau adanya suatu perjanjian perkawinan seperti tersebut diatas, adalah tidak dapat dirubah selama perkawinan berlangsung oleh suami istri.

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, baik yang diperoleh si suami maupun si istri. secara sendiri-sendiri atau oleh mereka bersama-sama, menjadi harta kesatuan yang bulat. Demikian pula harta yang diperoleh dari hidah baik kepada suami atau istri ataupun kepada mereka beruua kesemuanya menjadi atau termasuk dalam harta warisan. Apabila terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia maka harta perkawinan dibagi dua sama rata sebagian menjadi milik istri sebagian lagi menjadi milik si suami. Seandainya seseorang diantaranya meninggal, maka yang menjadi harta warisan adalah bagian si meninggal dan harta warisan ini jatuh ketangan ahli Waris yang berhak.

Berdasarkan prinsip yang dianut dalam Kitab Undang-­Undang Hukum Perdata (KUHPer) itu, maka barang warisan itu tidak hanya berupa benda saja, tetapi juga hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

2. Harta Warisan Menurut Hukum Adat

Untuk rnengetahui bagaimana asal-usul, kedudukan harta warisan, apakah dapat dibagi atau tidak, termasuk hak dan kewajiban apa yang terjadi penerusan dari pewaris kepada ahli waris. Maka harta warisan dapat dibagai daiam 4 (empat) bagian yaitu :

a. Harta asal

Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak sebelum terjadinya perkawinan baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk kedalam perkawinan yang kemudian menjadi harta warisan. Barang asal adalah barang milik suami atau istri sebelum kawin atau berasal dari :

1). Pewarisan dari orang tuanya pada ahli waris (suami atau istri);

2). Pewarisan dari suami atau istri yang hartanya dibawa ke perkawinan yang baru.

Harta peninggalan dapat dibedakan :

1. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi, seperti harta pusaka tinggi di Minangkabau dan tanah dati di Ambon; Harta pusaka ini bukan saja tidak dibagi, tetapi juga tidak boleh dijual.

2. Peninggalan terbagi; Dengan terjadinya perubahan-perubahan dari harta warisan menjadi harta kekayaan keluarga serumah yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu, karena melemahnya pengaruh kekerabatan, maka kemungkinan harta peninggalan yang berupa harta pusaka menjadi terbuka untuk diadakan pembagian hak miliknya menjadi perseorangan.

3. Peninggalan belum terbagi; Harta peninggalan yang dapat dibagi pada ahli waris, adakalanya belum dibagi karena ditangguhkan waktu pembagiannya. Penangguhan antara lain disebabkan beberapa hal :

1) Masih ada orang tua;

2) Terbatasnya harta peninggalan;

3) Jenis dan macam tertentu;

4) Pewaris tidak punya keturunan;

5) Para ahli waris belum dewasa;

6) Belum diketahuinya piutang pewaris;

7) Dan lain-lain.



b. Harta pemberian; Harta pemberian juga harta asal bukan didapat dari jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi atau jasa, atau karena sesuatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau sekeluarga rumah tangga.

c. Harta pencaharian; Harta pencaharian pada umumnya dimaksudkan semua harta yang didapat suami istri bersama selama dalam ikatan perkawinan seperti: Jawa-gono gini. Apabila seseorang meninggal dunia maka ia dapat saja meninggalkan harta warisan yang berwujud benda, tetapi juga ada kemungkinan yang tidak berwujud tetapi berupa hak kebencaan, hak pakai, hak tagihan (hutang piutang) dan hak-hak lainnya. Sesuai dengan sistim pewarisannya ada hak-hak kebendaan yang tidak dapat dibagi dan ada yang dibagi.

3. Harta Warisan Menurut Hukum Islam

Harta warisan adalah harta peninggalan setelah dikurangi dengan biaya penyelenggaraan pemakaman jenazah, hutang-hutang si meninggal dan pemenuhan wasiat. Hukum Islam merupakan sistim yang peraturannya sangat sederhana, bila dibandingkan dari ketiga sistim tersebut diatas. Dimana Hukum Islam tidak terdapat suatu campur barang antara kekayaan suami dengan kekayaan isteri, Hukum Islam menganggap bahwa harta benda milik isteri dan suami satu sama lain terpisah. Dalam kehidupan suami istri, harta dapat digolongkan pada 3 (tiga) macam harta yaitu :

a. Harta masing-masing yang telah diperoleh sebelum mereka kawin, baik karena usahanya sendiri maupun diperolehnya sebagai warisan atau lainnya;

b. Harta yang diperoleh masing-masing sesudah mereka kawin, tetapi diperoleh bukan atau usaha, melainkan karena pemberian (hibah);

c. Harta yang diperoleh masing-masing baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama karena usaha mereka sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.

Dalam ketentuan hukum islam pengaturan harta suami istri yaitu :

1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

2). Harta isteri tetap menjadi hak dan dikuasai olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

3). Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

4). Suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah sodaqoh atau lainnya.



D. Bagian Masing-masing Ahli Waris

1. Bagian masing-masing ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

KUHPer mengenal empat golongan ahli waris yang berhak atas harta peninggalan. Apabila golongan yang pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan. Demikian pula jika golongan pertama tidak ada, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Pembagian penggolongan tersebut adalah :

a. Bagian golongan pertama yang meliputi keluarga lurus kebawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda satu bagian yang sama. Apabila jika terdapat empat orang anak dan janda, maka mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian, bila salah seorang tersebut di atas meninggal lebih dahulu, dan mempunyai empat orang anak atau cucu pewaris, maka bagian anak masing-masing beserta ibu atau suami mendapat 1/5 bagian diantara anak-anaknya yang telah meninggal dunia itu.

b. Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, dan saudara laki-laki, maupun perempuan beserta keturunan mereka.

Menurut ketentuan KUHPer, baik ayah, ibu maupun saudara-saudara pewaris masing­-masing mendapat bagian yang sama, akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari 1/4 bagian dari seluruh harta warisan.

Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing memperoleh 1/4 bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan separoh dari seluruh harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian.

Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia yang paling lama hidup akan memperoleh sebagai berikut :

1). 1/2 bagian dari seluruh harta warisan jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.

2). 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika saudara pewaris dua orang.

3). 1/4 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama­sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.

c. Bagian golongan yang meliputi kakek, nenek clan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun golongan kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka terlebih dahulu harus dibagi dua kelompok, selanjutnya separoh bagian yang merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil pembagian itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan pada nenek.

d. Bagian golongan keempat yang meiiputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya bagian yang separoh dari pancer ayah.atau ibu jatuh pada saudara sepupu dari sipewaris yakni saudara sekakek atau senenek si pewaris. Apabila bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer itu jatuh kepada ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya.

Kalau misalnya ada tiga anak, masing-masing A,B, dan C yang semuanya menolak warisan sedangkan si A mempunyai anak satu, B mempunyai dua anak dan C mempunyai tiga anak, maka keenam cucu ini dapat mewaris dan masing-masing mendapat 1/6 bagian. Apabila sekiranya ketiga anak itu akan mewaris karena menggantikan kedudukan orang tuanya, jadi menurut pancang yang bersangkutan.

2. Bagian masing-masing ahli waris menurut Hukum Adat.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa warisan dalam hukum adat adalah berdasarkan matrilineal, patrilineal dan parental (bilateral) dan juga berdasarkan tiga sistem kewarisan yaitu kewarisan individual, kolektif dan mayorat.

Maka bagian masing-masing ahli waris berdasarkan sistem diatas tidak dijelaskan kembali, namun penulis akan menguraikan kedudukan ahli waris berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kedudukan anak (laki-laki dan perempuan) terhadap warisan orang tua :

a. Yang berhak mewaris menurut adat Bali hanyalah keturunan pria dari pihak keluarga pria dan anak angkat laki-laki. (Putusan MA tanggal 3-12­1958 No, 200 Klsipl 1958).[160]

b. Tehadap anak-anak di Minangkabau diturunkan harta pencarian harta pusaka tetap milik kaum masing-masing pihak. (Putusan MA Tanggal 12­2-1969 No. 39 K/Sip/1968).

c. Kepada anak perempuan di Tapanuli patut diberikan bagian harta warisan peninggalan ayahnya berdasarkan adat Batak (Putusan MA tanggal 31-1-1968, No. 136 K/Sip/1967).

d. Kepada anak perempuan di Bali (Denpasar) terhadap warisan orang tuanya. Hukum adat wajib dipertahankan selama hukum itu tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional seorang Warga Negara Indonesia karena Undang-undang Republik Indonesia menjamin kedudukan yang sama dalam hukum untuk semua warga negaranya. Seorang wanita di Bali berhak menjual tanah warisannya tanpa persetujuan saudara laki-laki (Putusan MA tanggal 6-8-1973 No. 404 K/Sip/1973).

e. Kedudukan anak laki-laki tertua terhadap warisan di daerah Pasemah (Palembang). Untuk menentukan bahwa hukum adat setempat telah berubah dibutuhkan bukti berdasarkan kejadian dan keadaan, dan dari bukti tersebut tampak dengan nyata adanya perubahan yang bersangkutan. Seperti hal warisan bagi anak laki-laki ditanah Pasemah, menurut adat setempat anak laki-laki tertua itu bagian warisannya lebih banyak dari anak laki-laki lain. (Putusan MA tanggal 16-2-1955 No. 7 K/Sip/1953).

f. Kedudukan janda terhadap warisan suami. Bagian janda dan golongan anak-anak adalah disamakan. Menurut hukum adat Jakarta harta gono gini dalam perkawianan apabila suaminya meninggal maka janda mendapat separoh dari harta gono gini tersebut. Kedudukan janda terhadap warisan suami (barang asal), menurut ketentuan hukum adat diseluruh Indonesia, seorang janda merupakan ahli waris terhadap barang asal, barang-barang asal sebagian harus tetap ditangan janda sepanjang untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi.

3. Bagian masing-masing ahli waris menurut Hukum Islam.

Dalam hukum waris Islam telah ditentukan dalam Al-Qur'an dan sunah Rasul (Hadist) bahwa masing-masing ahli waris adalah : 1/8, 1/6, 1/4, 1/3, 1/2 clan 2/3 dengan perincian sebagai berikut :

a. Yang mendapatkan 1/8 (seperdelapan) bagian :

Isteri satu atau lebih dapat 1/8, jika simati meninggalkan anak atau cucu.

b. Yang mendapatkan1/6 (seperenam) bagian :

1. Bapak dapat 1/6, jika si pewaris meninggalkan anak atau cucu;

2. Datuk dapat 1/6, jika si pewaris meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan bapak;

3. Ibu dapat 1/6, jika si pewaris meninggalkan anak, cucu, atau saudara lebih dari seorang;

4. Nenek disamping ibu dapat 1/6, jika si pewaris tidak meninggalkan ibu;

5. Nenek disamping bapak seorang atau lebih dapat 1/6, jika si pewaris tidak meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan ibu. Kalau nenek dari dua golongan itu ada, maka 1/6 tersebut dibagi antara mereka;

6. Cucu perempuan, seorang atau lebih dapat 1/6, jika si pewaris meninggalkan seorang anak perempuan tidak lebih dan tidak meninggalkan anak laki-laki;

7. Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih dapat 1/6, jika si pewaris meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak tidak tebih dan tidak meninggalkan anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, saudara laki-laki seibu sebapak, saudara laki-laki sebapak;

8. Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan, mendapat 1/6 jika si pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak atau datuk.

c. Yang mendapatkan 1/4 (seperempat) bagian :

1. Suami dapat 1/4, jika si pewaris meninggalkan anak atau cucu;

2. Isteri, seorang atau lebih mendapat 1/4, jika si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu.

d. Yang mendapatkan 1/3 (sepertiga) bagian :

1). Saudara seibu (saudara tiri), lebih dari seorang dapat 1/3, jika si pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak atau datuk;

2). Ibu mendapat 1/3, jika di pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, saudara lebih dari seorang.

e. Yang mendapatkan 1/2 (setengah) bagian :

1. Seorang anak perempuan tidak lebih, mendapat 1/2 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki;

2. Seorang cucu perempuan tidak lebih, dapat 1/2 jika si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki;

3. Seorang saudara perempuan seibu sebapak tidak lebih mendapat 1/2 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, saudara laki-laki seibu sebapak, bapak atau datuk.

4. Seorang saudara perempuan sebapak tidak lebih dapat 1/2 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, bapak, datuk, saudara laki-laki seibu sebapak, saudara perempuan seibu sebapak, saudara laki-laki sebapak.

5. Suami dapat 1/2, jika si pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu.

f. Yang mendapatkan 2/3 (duapertiga) bagian :

1. Dua anak perempuan atau lebih dapat 2/3, jika si pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki;

2. Dua cucu perempuan atau lebih dapat 2/3 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anatc atau cucu laki-laki;

3. Dua saudara perempuan seibu sebapak atau lebih dapat 2/3 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, datuk, saudara laki-laki sebapak;

4. Saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih dapat 2/3 bagian, jika si pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, datuk, saudara laki-laki sebapak atau saudara perempuan seibu sebapak.

BAB III

KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS



A. Kedudukan Janda Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Kedudukan janda yang ditinggal mati oleh suaminya, patut mendapat perhatian. Dalam kaitannya dengan orang yang meninggal, sudah jelas ada perbedaan antara isteri almarhum dengan anak almarhum, yaitu dilihat dari hubungan kekeluargaan berdasarkan atas persamaan atau hubungan darah.

Seandainya batasan hanya mengenai ahli waris yang dikaitkan dengan persamaan darah, maka jelas bahwa janda almarhum pada kenyataannya tidak mungkin merupakan ahli waris dari suami. Tetapi perkawinan merupakan hubungan lahir bathin antara pihak suami dan pihak isteri dapat dikatakan sedemikian eratnya, sehingga melebihi hubungan antara suami yang meninggal dengan para sesama darah asli.

Kenyataan ini menimbulkan rasa keadilan, yang masalah warisan ini dari orang meninggal wajib menyerahkannya terhadap isteri almarhum suatu kedudukan yang sesuai di samping kedudukan anak-anak keturunan orang yang meninggal. Kedudukan janda sebagai ahli waris yang pembahasannya meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Janda Mempunyai Kedudukan Yang Sah Sebagai Ahli Waris.

Kedudukan janda sebagai ahli waris, diatur dalam pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

Menurut Undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin atau si suami atau si isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara yang melunasi segala utangnya sekedar harta peninggalan mencukupi untuk itu".[161]



Pada pasal ini secara tegas disebut, suami atau isteri yang hidup terlama berhak dan berkedudukan sebagai ahli waris, jadi janda berarti :

a. Berkedudukan sebagai ahli waris yang sah;

b. Berhak untuk mewarisi harta peninggalan suami atau harta peninggalan anak mereka, orang tua mereka dan sebagainya.

2. Kedudukan Dan Hak Janda Sama Dengan Anak Sah.

Kedudukan dan hak janda diatur dalam pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ditegaskan kedudukan dan hak janda dipersamakan dengan seorang anak yang sah. Ini berarti janda secara hukum mempunyai kedudukan dan hak yang sama, dan bagiannya disamakan dengan seorang anak yang sah.

Maka janda mendapat warisan yang sudah terbuka untuk dibagi, bersekutu bersama-sama dengan anak-anak yang sah dilahirkan dalam perkawinan. Besarnya bagian janda sama jumlahnya dengan bagian seorang anak yang sah. Misalnya, apabila suami meninggal dunia, selain meninggalkan harta warisan juga meninggalkan ahli waris yang terdiri dari isteri dan anak-anak yang sah, maka isteri sebagai janda dan anak­anak bersekutu secara bersama-sama terhadap harta tersebut dengan kedudukan dan hak yang sama.

3. Kedudukan Janda Tanpa Anak.

Kedudukan dan hak janda terhadap warisan apabila tidak mempunyai anak dijelaskan dalam pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, si isteri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal dengan pengertian, bahwa jika perkawinan suami isteri itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu si isteri atau suami yang baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya...[162]



Bukankah dalam pasal tersebut telah menegaskan bahwa kedudukan janda disamakan dengan seorang anak yang sah. Berarti, menghadapi harta warisan dalam hal janda tidak bersekutu dengan anak yang sah.



B. Kedudukan Janda Menurut Hukum Adat.

Pada bagian ini dikemukakan permasalahan kedudukan janda menurut tata hukum adat. Apa yang dikemukakan disini, merupakan tinjauan dari nilai-nilai hukum adat yang belum mengalami perubahan. Paling tidak uraian pendekatan dari ajaran hukum adat asli sebagaimana yang diutarakan dalam berbagai hipotesis lama sesuai dengan lingkungan suatu daerah, sebelum hukum adat itu mengadakan persentuhan dengan tata hukum barat dan hukum Islam.

Untuk itu diambil beberapa lingkungan hukum adat yang mewakili masing-masing sistem kekeluargaan, terutama yang berasas parental, patrilineal dan matrilineal. Untuk lingkungan parental diambil kawasan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk lingkungan patrilineal diambil kawasan daerah Batak. Sedangkan untuk lingkungan matrilineal dikemukakan kawasan masyarakat Minangkabau.

1. Kedudukan Janda menurut Adat Jawa.

Dalam hal ini diambil lingkungan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai kawasan yang memiliki sistem kekeluargaan parental. Sistem kekeluargaan parental dihubungkan dengan masalah kewarisan telah membentuk sistem kewarisan bilateral yaitu :

a. Bagi laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan;

b. Bagi laki-laki ada bagian harta warisan dari keluarga dekatnya;

c. Bagi wanita ada bagian harta peninggalan ibu bapaknya;

d. Bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya

Dari sistem kewarisan bilateral dalam stelsel parental yang terdapat dalam masyarakat adat Jawa Tengah dan Jawa Barat, janda atau anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris baik terhadap harta ibu bapaknya maupun keluarga dekat. Kedudukan tersebut sama dengan kedudukan yang dimiliki laki-laki atau anak laki-laki. Lanjutan dari sistem kewarisan bilateral yang menempatkan kedudukan yang sama antara laki-laki dengan perempuan, adalah memberi kedudukan yang sama dan timbal balik antara janda dengan duda.

Hak dan kedudukan janda sebagai ahli waris tidak meliputi harta gawan (harta asal). Hak kewarisan janda, tidak meliputi harta gawan suami. Jika suami meninggal dan meninggalkan harta gawan, isteri sebagai janda tidak berhak untuk mewarisinya. Adapun cara mewarisinya :

a. Jika suami meninggalkan anak, harta gawan jatuh menjadi warisan anak.

b. Jika suami tidak meninggalkan anak, harta gawan kembali ke asal yakni jatuh menjadi harta warisan ahli waris suami dengan penerapan :

1) Jika bapak suami masih hidup, harta gawan kembali kepadanya.

2) Jika bapak suami sudah mati, harta gawan kembaii menjadi harta warisan saudara kandung suami.

Hak mewaris janda terbatas sepanjang harta gono gini. Jika kembali kepada ketentuan hukum adat yang murni kedudukan dan hak mewaris janda dalam sistem kewarisan bilateral yang terdapat dalam masyarakat Jawa, Sunda dan Betawi, hanya sepanjang mengenai harta kekayaan bersama atau harta gono gini.

Dengan demikian, hak dan kedudukan janda atau duda dalam saling mewarisi dalam stelsel kekeluargaan parental, sifatnya terbatas. Hanya sepanjang mengenai harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan.

Tidak meliputi harta pribadi suami isteri sebelum perkawinan atau yang diperoleh sebagai harta warisan atau hibah baik sebelum atau sesudah perkawinan, dianggap harta gawan.

Dalam hal janda tidak mempunyai anak, maka :

a. Harta gawan kembali ke asal, janda tidak berhak mewarisinya.

b. Harta gono gini seluruhnya dikuasai oleh janda selama dia masih hidup atau selam dia belum kawin lagi. Harta gono gini tersebut dibagi dua :

1) 1/2 bagian menjadi hak mutlak janda, dan jatuh menjadi harta warisan saudara janda apabila dia meninggal;

2) 1/2 bagian yang menjadi hak mendiang suami, jatuh menjadi harta warisan para ahli waris dari pihak suami.

Jika mempunyai anak maka harta warisan tersebut menjadi hak anak dengan ketentuan sebagai berikut :

1). Harta gawan menjadi hak warisan dari anak-anak.

Terhadap harta gawan suami, janda tidak mempunyai hak mewarisi. Harta tersebut mutlak menjadi hak warisan anak-anaknya.

2). Mengenai harta gono gini menjadi hak janda selama dia masih hidup atau belum kawin lagi. Baru dapat dilakukan pembagian, setelah dia mati atau kawin lagi.

2. Kedudukan Janda menurut Adat Batak.

Seperti yang sudah disinggung, kekerabatan masyarakat adat Batak dalam sistem "patrilineal". Sistem kekerabatannya mutlak menurut garis ayah atau jalur laki-laki. Semua ikatan dan nilai-nilai kegiatan saling dihubungkan menurut garis laki-laki keturunan sedarah.

Laki-laki yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan hanya menciptakan hubungan perbesanan atau "affinal relationship". Perempuan harus kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal lain.

Pada asasnya pewarisan di daerah Batak, hanya anak laki-laki saja yang dapat warisan, sedangkan perempuan akan menjadi anggota keluarga suaminya. Dia tidak mungkin lagi mengikuti kewajiban­kewajiban dari orang tuanya yaitu untuk memperluas anggota keluarganya atau marga dari bapaknya, bahkan juga bahwa anak perempuan tidak berhak mewaris karena dianggap tidak berwibawa.[163]

Jadi ketentuan pokok hukum waris masyarakat Batak dalam kehidupan kekerabatan yang bersistem patrilineal adalah pihak laki-laki atau keturunan laki-laki yang mewarisi. Anak perempuan bukan ahli waris, konsekuensi dari ketentuan ini berlanjut kepada janda. Janda bukan ahli waris, oleh karena itu dia tidak mempunyai hak dan kedudukan untuk mewarisi harta peninggalan suami maupun harta peninggalan bapaknya.

Meskipun hukum mengatur mengenai pemberian harta peninggalan kepada anak perempuan atau janda, mereka bukan berstatus ahli waris, yaitu :

a. Janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi;

b. Janda dan anak perempuan, hanya diberi hak mengelola;

c. Dalam stelsel patrilineal, tidak dikenal harta bersama (gono gini).

Untuk mengutarakan lebih lanjut perlu diketahui siapa-siapa yang dimaksud dengan Wanita Batak pada umumnya. Wanita Batak pada umumnya ialah semua orang perempuan Batak yang sudah kawin maupun yang belum kawin.

Wanita Batak yang sudah kawin yang perlu dibicarakan dengan harta benda suaminya ialah janda orang laki-laki yang meninggal. Yang dimaksud janda disini ialah semua isteri dari laki-laki Batak yang meninggal dunia dan perkawinannya sah menurut hukum adat Batan.

Artinya walaupun janda itu bukan berasal dari wanita batak asli, tetapi dengan perkawinan yang dilakukan menurut hukum si suami, maka dengan sendirinya dianggap sebagai orang Batak.

Menurut hukum adat Batak, istilah janda akibat perceraian tidak dikenal, janda dari suami yang meninggal yang erat hubungannya dengan harta peninggalan dapat dibedakan yaitu :

a. Janda yang mempunyai anak laki-laki;

b. Janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, tetapi mempunyai anak perempuan;

c. Janda yang tidak mempunyai keturunan.

Hak dari janda atas harta peninggalan suaminya adalah sebagai berikut :

1. Janda yang mempunyai seorang atau lebih anak laki-laki berhak menguasai harta peninggalan suaminya sampai semua anaknya menjadi dewasa. Disamping itu juga untuk keperluan hidup si janda;

2. Janda yang mempunyai anak perempuan, berhak menguasai harta peninggalan suaminya sampai anaknya yang perempuan kawin, namun hanya berhak menikmati saja tidak boleh mengasingkannya. Jika semua anaknya telah kawin, maka si janda tersebut hanya berhak atas harta pencaharian bersama untuk keperluan hidupnya;

3. Janda yang tidak mempunyai keturunan (laki-laki maupun perempuan) hanya berhak atas harta pencaharian saja.

Berdasarkan hal-hal tersebut, nampak bahwa janda selain menguasai harta peninggalan suaminya untuk keperluan hidupnya, apabila ia mempunyai anak laki-laki.

Akan tetapi berbeda dengan keaclaan sekarang ini, walaupun janda tidak mempunyai anak laki-laki atau sama sekali tidak mempunyai keturunan ia tetap diberi hak untuk menikmati hasil dari kekayaan suaminya selama ia melaksanakan darma sebagai seorang janda yaitu artinya tidak kawin lagi untuk selamanya. Hal ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung RI tanggal 20­10-1958 No. 54 k/Sip/1958 yang berbunyi: "Menurut hukum adat Batak (yang bersifat patrilineal) segala harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, tetapi isteri mempunyai hak memakai seumur hidup dari harta suaminya, selama harta itu diperlukan buat hidupnya.[164]

3. Kedudukan Janda menurut Adat Minangkabau.

Dalam masyarakat keibuan (di Minangkabau) sebenarnya kedudukan janda terhadap harta warisan suami yang meninggal tidak merupakan masalah, oleh karena harta pencaharian yang ditinggalkan oleh suami itu beralih kepada saudara-saudara perempuan dan anak­anak perempuan si suami yang meninggal itu, jadi kembali pada keluarganya sendiri. Maka janda tidak berhak atas warisan, tetapi sebagai isteri ia berhak memiliki penghasilan dari harta tersebut selama hidupnya dan diberi bagian yang layak dari harta peninggalan suaminya. Dilingkungan masyarakat matrilineal ini janda adalah mutlak menjadi penguasa atas harta warisan yang tidak dibagi-bagi untuk kepentingan hidupnya dan anak-anak keturunannya, yang pengelolaannya dibantu dan diawasi oleh saudara laki-laki tertua si janda.

Menurut keputusan Landraad Bangkinang tanggal 9 Oktober 1935 yang dikuatkan Raad Van Justitie Padang tanggal 23 April 1935 (T­146-247) dikatakan bahwa menurut ketentuan adat Minangkabau maka harta yang diperoleh semasa perkawinan disebut harta pasuarangan (harga pencaharian) dan si isteri berhak atas sebagaian dari harta pencaharian itu dengan ketentuan bahwa pembagian yang mana suami isteri masing-masing memperoleh bagian yang sama dari harta itu setelah dibayar terlebih dahulu utang bersama.Terhadap harta pusaka, si suami sudah sejak semula tidak mempunyai hak, maka sudah semestinya harta pusaka itu sekedar dipakai saja oleh isteri itu selama masih hidup, pada waktu ia meninggal harta pusaka itu kembali kepada kekuasaan `Mamak Kepala Waris" dari keluarga si isteri.[165]





C. Kedudukan Janda Menurut Hukum Islam.

Berbeda dengan Hukum Adat, maka harta warisan di dalam Hukum Islam merupakan kesatuan bulat yang dimiliki pewaris pada saat ia meninggal. Dengan demikian maka disini tidak diadakan penggolongan dalam harta asal (bawaan dan peninggalan).

Masing-masing dibagi lagi dalam harta bawaan suami dan harta bawaan isteri, serta peninggalan tidak terbagi-bagi, dan belum terbagi-bagi, harta pencaharian (bersama, suami isteri). Isteri atau janda ini memiliki hak waris terhadap harta peninggalan suaminya. Bagian isterinya seperempat, apabila tidak meninggalkan anak dan cucu. Apabila ada anak atau cucu maka bagian isteri atau janda ini hanya seperdelapan.

Mengenai kedudukan duda atau suami, yaitu bahwa suami memiliki hak waris terhadap harta peninggalan isterinya. Adapun bagian harta peninggalan dari isterinya adalah setengah, apabila si isteri tidak meninggalkan anak atau cucu. Tetapi apabila ada anak atau cucu, maka bagian suami ini hanya seperempat saja. Tidak ada satu ahli waris lainpun bisa menghalangi (hijab) hak waris mereka ataupun menggeser jumlah bagian mereka, kecuali anak si mati.



1. Janda Merupakan Ahli Waris Utama Kelompok Ketiga.

Secara garis besar Hukum Islam mengenai kelompok ahli waris berdasar "hubungan darah" dan "hubungan perkawinan".

a. Kelompok menurut hubungan darah terdiri dari :

1. Golongan laki-laki: Ayah, Anak laki-laki, Saudara laki-laki, Paman,dan Kakek.

2. Golongan perempuan: Ibu, Anak perempuan, Saudara perempuan, dan Nenek.

b. Kelompok berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari : Janda, dan Duda.

Dari kelompok ahli waris tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat "keutamaan". Yang dimaksud dengan pengertian kelompok keutamaan sebagai ahli waris, ialah para ahli waris yang telah ditentukan secara tetap bagiannya. Kelompok ahli waris utama tingkat pertama dari anak laki-laki dan anak perempuan.

Kelompok ahli waris utama tingkat kedua adalah saudara laki-laki dan sudara perempuan. Sedang kelompok ahli waris utama tingkat ketiga terdiri dari janda dan duda.





2. Furudhul Muqaddarah Janda.

Hak dan kedudukan janda sebagi ahli waris diantara sesama mereka, disebabkan faktor hubungan perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan hubungan perkawinan tadi, menimbulkan kedudukan yang timbal balik diantara suami dan isteri.

Dalam kewarisan yaitu suami dan isteri saling mewaris apabila salah satu pihak meninggal dunia. Dengan demikian janda dan duda menurut Hukum Islam saling mewaris.

Adapun mengenai "furudhal muqaddarah" janda tergantung pada faktor ada atau tidak adanya anak yang dilahirkan selama perkawinan berlangsung. Yang dimaksud dengan "furudhul muqaddarah" ialah besarnya jumlah bagian yang diterima janda menurut ketentuan yang sudah pasti.

Mengenai besarnya bagian itu, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Kedudukan dan hak janda

Apabila tidak mempunyai anak yang dilahirkan dalam perkawinan, dan suami meninggal dunia, maka :

1. Janda berkedudukan mewarisi harta suami;

2. Bagian yang sudah tetap dan pasti adalah seperempat bagian dari harta warisan;

3. Tidak terjadi soal apakah janda terdiri dari seorang atau beberapa orang, dalam hal janda terdiri dan beberapa orang, maka mereka bersekutu atas yang seperempat bagian tersebut.

Kalau dalam perkawinan mempunyai anak yang dilahirkan, berarti janda bersekutu dengan anak dalam pembagian harta peninggalan suami. Kedudukan dan haknya sebagai janda berbarengan dengan anak, yaitu :

1. Bagian yang sudah tetap dan pasti adalah seperdelapan bagian;

2. Tidak menjadi masalah apakah janda terdiri dari seorang atau beberapa orang. Jika janda hanya terdiri dari seorang saja, bagian yang seperdelapan itu menjadi hak penuh baginya. Apabila janda terdiri dari beberapa orang hak mereka tetap seperdelapan bagian secara bersekutu.

Kedudukan dan hak janda yang dijelaskan di atas sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang sudah baku yaitu : "Janda mendapat seperempat bagian bila si mati tidak meninggalkan anak, dan apabila si pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.





b. Kedudukan dan hak duda.

Dalam hal ini bagian yang sudah tetap dan pasti atau "furudhul muqaddarah" duda digantungkan pada faktor ada tidaknya anak dalam perkawinan. Apabila dalam perkawinan tidak ada anak dilahirkan, dan isteri meninggal dunia :

1). Duda berkedudukan sebagai ahli waris atas harta peninggalan isteri;

2). Bagian yang sudah tetap akan diterimanya setengan bagian.

Sebaliknya, kalau dalam perkawinan ada anak, berarti duda secara bersekutu mewarisi harta peninggalan isteri bersama anak, atau cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, duda akan memperoleh seperempat. Apa yang telah diuraikan diatas sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yaitu : Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka duda mendapat seperempat bagian.

BAB IV

ANALISIS KASUS PUTUSAN

(STUDI KEPUSTAKAAN)



A. Temuan Penelitian

Dalam masalah ini penulis mencoba mengambil contoh sebuah kasus yang diperoleh dari beberapa literatur dan dikisahkan seperti berikut ini : Pada tanggal satu januari tahun dua ribu (01-01-2000) di JI. Alam Segar V/41 Rt.004 Rw.016, Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan telah meninggal dunia seorang laki-laki yang bernama ABDULLAH, dalam usia Tujuh Puluh Satu (70) tahun, dalam keadaan beragama Islam, selanjutnya disebut sebagai pewaris.

Ketika pewaris wafat, ayah pewaris yang bernama IMAM dan ibu pewaris yang bernama MINA, keduanya telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, yaitu pada tahun 1945 dan tahun 1992.

Semasa hidupnya pewaris telah menikah satu kali dengan TUTUT SRI RAMTINI alias TUTUT ABDULLAH binti RAM, sampai almarhum meninggal masih tetap sebagi isterinya. Dari pernikahan tersebut telah lahir 2 (dua) orang anak yaitu :

1. SUGENG bin ABDULLAH, umur duapuluh satu (21) tahun;

2. DEWI SRI binti ABDULLAH, umur delapanbelas (18) tahun.

Selain ahli waris tersebut, tidak ada lagi ahli waris lainnya. Bahwa pewaris (almarhum ABDULLAH) telah mempunyai harta peninggalan berupa :

1. Sebuah rumah tinggal diatas tanah seluas 120 m2, terletak di JI. Alam Segar No.141 Rt.004/016, Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan;

2. Sebuah kendaraan roda empat (Kijang/1992), dengan nomor polisi B 2984 TP atas nama almarhum.

Harta peninggalan tersebut sampai sekarang ini belum ada yang memiliki secara yuridis dari keseluruhan dan belum dilakukan pembagian waris kepada para ahli waris yang berhak. Dengan demikian para ahli waris tersebut secara sukarela (diluar sengketa) mohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan supaya dapat dibuatkan Akta Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan (P3HP), dengan menentukan para ahli waris yang sah, barang harta peninggalan serta bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.

Sebagai bahan pertimbangan pemohon telah melengkapi keterangan dengan melampirkan surat bukti sebagai berikut :

1. Foto copy KTP, para ahli waris;

2. Foto copy surat kematian pewaris;

3. Foto copy surat nikah pewaris;

4. Foto copy sertifikat tanah dan BPKB mobil.

B. Pertimbangan Hukum

Pemohon telah menghadapkan saksi-saksi sebagai berikut:

1. Nama H. ZAENAL bin MAS'UD, tanggal lahir tujuhbelas agustus tahun seribu sembilan ratus empat puluh (17-08-1940), agama Islam, pekerjaan Purnawirawan TNI-AD, alamat JI. Kebon Jeruk XVI1/36 Rt.0012/08, Kelurahan Maphar, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat;

2. Nama H. HERU bin RAM, tanggal lahir lima nopember tahun seribu sembilan ratus enam puluh tujuh (05-11-1967), agama Islam, pekerjaan Swasta, alamat Jelambar Utara 10/A No. 49 Rt.004/011, Jelambar Baru, Kecamatan Petamburan, Jakarta Barat.

Kedua saksi telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

a. Kedua saksi menerangkan kenal dengan para pemohon, pewaris (almarhum ABDULLAH) maupun ahli warisnya;

b. Mengetahui bahwa pewaris (almarhum ABDULLAH) telah meninggal dunia pada tanggal satu januari tahun dua ribu (01-01-2000) di Jakarta, dalam usia tujuh puluh satu (70) tahun;

c. Membenarkan bahwa kedua orang tua pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris;

d. Membenarkan bahwa selama hidupnya pewaris telah menikah satu (1) kali dengan TUTUT SRI RAMTINI alias TUTUT ABDULLAH binti RAM.

Dari pernikahan tersebut telah lahir dua (2) orang anak yaitu:

1). SUGENG bin ABDULLAH,

2). DEWI SRI binti ABDULLAH.



C. Putusan Pengadilan

Berdasarkan keterangan para pemohon dan adanya surat-surat bukti serta keterangan dua orang saksi tersebut diatas, maka dapat dibuatkan akta tersebut. Atas dasar hal-hal tersebut diatas, maka dibuatkan Akta Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan (P3HP) dari pewaris (almarhum ABDULLAH) yang meninggal dunia pada tanggal satu januari tahun dua ribu(01-01-2000). Dan ahli warisnya adalah seorang isteri dan dua (2) orang anak kandung dengan bagian masing-masing sebagai berikut :

Isteri : TUTUT SRI RAMTINI alias TUTUT ABDULLAH, dapat 3/24 bagian

Anak:

1. SUGENG, .........................................................., dapat 14/24 bagian

2. DEWI SRI, ........................................:................., dapat 7/24 bagian.





Jumlah = 24/24 bagian.

Demikian akta ini dibuat pada hari dan tanggal tersebut dalam awal akta ini, berdasarkan pasal 107 (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 236 a HIR, dengan ditanda tangani oleh Hakim dan Panitera Pengganti serta para pemohon, dan sebelum akta ini ditanda tangani, telah dibacakan terlebih dahulu kepada para pemohon dan mereka menyatakan telah mengerti serta menerima isi akta ini.



D. Analisis Kasus

Setelah penulis membaca, dan mempelajari contoh kasus putusan perkara Nomor : 06/P3HP/1997/PAJS, Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut. Penulis dapat menganalisis perkara tersebut sebagai berikut. Sebelum penulis menguraikan analisis tersebut terlebih dahulu penulis beritahukan bahwa didalam menganalisis nanti akan dikaitkan dengan beberapa hukum yang mengatur tentang waris (seperti dikaitkan dengan KUHPer, Hukum Islam, dan Hukum Adat), akan tetapi karena contoh kasus ini diajukan di Pengadilan Agama, maka lebih difokuskan kedalam Hukum Islam.

Bahwa putusan tersebut adalah merupakan putusan pengadilan untuk menetapkan ahli waris, harta peninggalan, serta bagian masing­masing bagi ahli waris dari si pewaris. Dalam hal perkara tersebut tidak ada para penggugat dan tidak ada yang tergugat, akan tetapi hanya salah satu pihak yaitu si pemohon saja.

Hal tersebut memang sering terjadi di dalam pengadilan. Perlu kita ketahui bahwa dalam suatu pengadilan dapat dibedakan dua keputusan yang diambil oleh Hakim dalam memutuskan suatu perkara, yaitu yang disebut dengan :

a. Putusan (Vonnis) hakim;

b. Penetapan (Beschikking) hakim.

Dalam hal suatu putusan hakim diambil untuk memutuskan suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan suatu penetapan hakim diambil berhubung dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan "Yurisdiksi Voluntair"

Misalnya pengangkatan wali, penetapan ahli waris atau dalam hal pengadilan (hakim) melakukan suatu tindakan yang tidak berdasarkan suatu pemeriksaan terhadap dua pihak yang saling berhadapan dimana yang satu pihak dapat membantah apa yang diajukan oleh pihak yang lain.[166]

Dengan demikian perkara tersebut diatas dikategorikan kedalam penetapan hakim (beschikking) dalam rangka suatu permohonan (yurisdiksi voluntair) untuk menetapkan ahli waris yang bersangkutan, harta peninggalan si pewaris, serta untuk menetapkan bagian masing-masing ahli warisnya.



1. Analisis Perkara Apabila Dikaitkan dengan Hukum Waris yang Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Menurut pasal 832 KUHPer menyatakan bahwa: "ahli waris ialah mereka yang termasuk keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan (suami/isteri) dengan pewaris)". Mereka itu umpamanya anak dan atau keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek, serta leluhurnya keatas, saudara dan atau keturunannya, paman, bibi, dan atau keturunannya serta suami atau isterinya.

Undang-undnang membagi ahli waris menjadi empat (4) kelompok golongan yaitu :

1. Golongan kesatu; Anak dan atau keturunannya dan Suami atau isteri.

2. Golongan kedua; Orang tua, yaitu bapak dan atau ibu; Saudara-saudara dan atau keturunannya.

3. Golongan ketiga; Kakek dan atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas; Kakek dan atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.

4. Golongan keempat; Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat ke­enam.[167]

Keempat golongan tersebut diatas sekaligus merupakan urutan tertib penerimaannya. Apabila golongan I ada, maka golongan II, III, dan IV tidak berhak mendapat bagian warisan. Dan apabila golongan I tidak ada maka yang menerima golongan II, begitu juga seterusnya. Tetapi apabila semua golongan I, II, III, dan IV tidak ada, maka menurut pasal 832, bahwa segala harta peninggalan menjadi milik negara.

Apabila ketentuan undang-undang ini diterapkan dalam putusan perkara No. 06/P3HP/1997/PAJS yaitu bahwa dalam putusan tersebut ahli waris golongan I jelas-jelas ada, maka dengan demikian akan menutup kemungkinan untuk jatuhnya warisan kepada ahli waris golongan II, III, dan IV.

Jadi seandainya putusan tersebut di atas tidak dimohonkan ke Pengadilanpun, nanti harta warisannya akan jatuh pada isteri dan kedua anaknya. Hanya saja apabila perkara tersebut sudah dimohonkan ke Pengadilan, ahli warisnya sudah jelas dan kedudukannya sudah tidak dapat diganngu gugat oleh pihak lain, juga bagian-bagian yang diperoleh bagi masing-masing ahli waris sudah dicantumkan dalam akta penetapan.

Sehingga dengan adanya akat penetapan ini akan terhindar adanya perebutan harta warisan dikemudian hari.

2. Analisis Perkara yang Dikaitkan dengan Hukum Waris Islam

Pada dasarnya sebelum penulis menganalisis perkara tersebut di atas, sudah jelas tercantum dalam perkara tersebut bahwa untuk penetapan ahli waris, harta peninggalan pewaris, serta bagian masing­masing ahli waris, pemohon memohon untuk menetapkan secara hukum waris Islam. Namun demikian penulis pada kesempatan ini akan memberikan secara singkat dan jelas dasar-dasar atau mungkin sumber-sumber dalam hukum Islam yang mengatur mengenai warisan.

Hal ini memang tepat sekali, selain perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Agama, juga karena dari para pemohon serta si pewarisnya menganut atau beragama Islam. Yang notabene bagi para ahli waris yang beragama Islam untuk menyelesaikan perkara warisannya di Pengadilan Agama setempat.

Dalam putusan No. 06/P3HP/1997/PAJS, sudah ditetapkan bahwa bagian-bagian warisan yang harus diperoleh bagi masing-masing ahli waris, clan menurut penulis sudah adil dan sudah sesuai dengan peraturan yang diatur dalam Al-Qur'an. Karena sumber dari ilmu waris (Al-fara'id) salah satunya adalah Al-Qur'an. Untuk bagian warisan untuk seorang isteri juga sudah diatur dalam Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa ayat 12 ;

ولكم نصف ماترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد فان كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بـها اودين, ولهن الربع مما تركتم ان لم يكن لكم ولد, فإن كان لكم ولد فلهن الثـمن مما تركتم من بعد وصية تصون بها اودين,.....(النساء: 12)

Terjemahannya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ............. [168] (QS.4:12)



Dalam putusan perkara tersebut diatas, si isteri dalam aktanya sudah tercantum bagian yang harus diterima dari si pewaris yaitu seperdelapan (1/8) dari harta peninggalan pewaris (almarhum ABDULLAH), tentunya setelah dikeluarkan wasiat dan utang-utangnya si pewaris, karena si pewaris meninggalkan dua orang anak.

Sedangkan untuk dua orang anaknya, pembagian warisannya diatur dan disebutkan di dalam Al-Qur'an Surat An-nisaa ayat 11 yaitu :

يو صيكم الله فى أو لا دكم للذ كر مثل حظ الانثين فان كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك وان كانت واحدة فلهاالنصف ولا بويه لكل واحد منهماالسدس مما ترك ان كان له ولد فان لم يكن له ولد وورثه ابواه فلامه الثلث فان لم يكن له اخوة فلامه السدس من بعد وصية يوص بها أودين اباؤكم وابناؤكم لاتدرون ايهم اقرب لكم نفعا فريضة من الله ان الله كان عليما حكيما.(النـساء: 11)

Terjemahnya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[169]



Juga seperti apa yang sudah tercantum dalam akta penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan, mengenai penetapan ahli waris, harta peninggalan, dan bagian yang diperoleh bagi kedua anak pewaris tadi. Berhubung anaknya adalah laki-laki dan perempuan, maka anak laki-lakinya mendapatkan dua (2) kali dari anak perempuannya yang dalam akta ditulis anak laki-laki mendapat 14/24 sedangkan anak perempuan mendapatkan 7/24 bagian, hal ini memang sudah adil dan sesuai dengan Al-Qur'an dalam Surat An-Nisa.

Sebenarnya tidak perlu ke Pengadilan pun hal ini sudah ada pengaturannya yaitu dalam Al-Qur'an, tetapi untuk menguatkan dan memperjelas hak-hak bagi ahli waris maka diperlukan suatu akta yang otentik dan dilindungi oleh hukum nasional, sehingga akan terhindar suatu sengketa diantara ahli waris.

3. Analisis yang Dikaitkan dengan Hukum Adat.

Karena di Indonesia terbagi dalam beberapa suku dan agama maka tiap-tiap suku di Indonesia mempunyai Hukum Adat yang berbeda-beda, begitu pula dalam hal pengaturan waris yang didasarkan dalam Hukum Adat juga berbeda-beda. Tetapi untuk daerah Jawa seperti yang penulis ketahui untuk persoalan warisan biasanya sudah berkiblat atau sudah berpedoman pada Hukum Islam yaitu Al-Qur'an, karena kebanyakan orang Jawa memeluk agam Islam.

Sedangkan untuk di luar Jawa ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai warisan, seperti yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya yaitu ada yang berdasarkan atas hubungan keluarga yang patrilineal maupun matrilenal. Selebihnya terutama bagi mereka yang memeluk agama selain Islam, apabila terjadi pembagian waris ataupun sengketa dalam masalah waris memilih hukum perdata barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang tempatnya adalah di Pengadilan-pengadilan Negeri setempat.

BAB V

P E N U T U P



A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan permasalahan dan analisis mengenai putusan perkara yang penulis pelajari, maka pada bab terakhir (Penutup) ini penulis akan mencoba untuk menyimpulkan beberapa permasalahan tersebut dan juga akan memberikan beberapa saran-saran kepada para pihak terutama pihak pembaca. Dengan demikian penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain sebagi berikut :

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), janda berkedudukan sebagai ahli waris yang sah Berhak untuk mewarisi harta peninggalan suami atau harta peninggalan anak mereka, ketika keduanya tidak ada. Sedangkan ketika anak yang sah ada, maka janda tersebut secara hukum mempunyai kedudukan dan hak yang sama, dan bagiannya disamakan dengan seorang anak yang sah. Sedangkan menurut hukum kewarisan adat, kedudukan janda tergantung kepada tempat mereka berada, karena tiap-tiap suku berbeda mengenai pembagian harta kewarisan. Menurut hukum Islam, janda mendapat bagian dari si pewaris yaitu seperdelapan (1/8) dari harta peninggalan pewaris tentunya setelah dikeluarkan wasiat dan utang-utangnya si pewaris.

B. Saran-saran

Setelah penulis mengambil beberapa kesimpulan tersebut diatas, maka pada kesempatan yang terakhir ini penulis memberikan saran. Adapun saran penulis yang berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas antara lain :

1. Untuk mempertegas dan menguatkan kedudukan bagi ahli waris yang berkaitan dengan meninggalnya seorang pewaris, maka sebaiknya para ahli waris mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk supaya dibuatkan akta penetapan ahli waris, harta peninggalan, serta bagian yang diperoleh bagi masing-masing ahli waris. Jadi dengan adanya akta penetapan tersebut apabila harta peninggalan tersebut akan dibagi-bagikan, maka akan memudahkan terhadap ahli waris itu sendiri juga akan terhindar adanya perebutan harta peninggalan (setelah wasiat dan utang-utang si pewaris diabayar).

2. Apabila ada kemungkinan terjadinya harta warisan supaya segera diselesaikan menurut hukum yang diakui kebenarannya masing-masing, apabila si pewaris selama hidupnya dan pada waktu matipun tetap menganut agama Islam maka, pengaturan harta warisannya didasarkan dengan Hukum Islam. Apabila si pewaris selama hidupnya dan pada waktu matinya juga masih menganut non Islam, maka penyelesaian harta warisannya dapat berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) maupun menggunakan ketentuan Hukum Adat (mengingat di Indonesia masih berlaku beberapa sistem hukum yang mengatur mengenai warisan).

3. Sebelum harta warisan dibagi-bagi menurut bagian masing-masing ahli waris, terlebih dahulu ahli waris tersebut memenuhi kewajibannya terhadap si pewaris antara lain :

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris menagih piutang.

c. Menyelesaikan wasiat pewaris (apabila ada).

d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah

Hasrat memurnikan Islam acapkali menggiring pada ketidak-mampuan untuk melihat kearifan yang terkandung dalam tradisi lokal. Ini disebabkan pada satu pandangan bahwa kebenaran Islam adalah satu-satunya dan di luar itu tidak ada. Pandangan ini memaknai kebenaran Islam sebagai sebuah entitas yang mutlak terbedakan dengan yang lain, tidak ada Islam lokal. Yang ada adalah Islam universal dalam pengertian Islam-Arab. Tak ayal pandangan ini lantas membawa kepada ketidakmungkinan Islam untuk diartikulasikan dengan simbol lain selain budaya Arab. Dari cara pandang tersebut akan terlahir juga keputusan-keputusan hukum Islam yang kaku tidak memberi ruang terhadap penafsiran lain.

Hukum dalam masyarakat manapun bertujuan mengendalikan masyarakat yang merupakan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.[170] Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan guna melindungi hak-hak individu maupun sosial. Sistem hukum dalam setiap masyarakat memiliki karakter dan ruang lingkupnya sendiri, demikian juga dengan Islam. Agama ini juga memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqih (hukum Islam).[171] Fiqih bukanlah hukum murni dalam pengertian yang sempit, ia mencakup seluruh bidang kehidupan -etika, keagamaan, politik, dan ekonomi.

Hukum Islam diformulasikan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslim dalam segala aspeknya baik yang bersifat individual maupun kolektif. Karakteristik yang serba mencakup inilah, menempatkan pada posisi penting dalam pandangan umat Islam. Bahkan sejak awal, hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan yang istimewa –suatu posisi yang belum pernah dicapai teologi.

Adapun tujuan disyari'atkannya hukum Islam adalah merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia. kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni; dharuriyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyat (pelengkap).[172] Terdorong maksud untuk memberikan kemaslahatan itulah, ada bagian dalam fiqih yang dinamakan siyasah syar'iyah, yakni untuk membuat masyarakat lebih dekat kepada kebajikan dan menjauhi keburukan. Menurut Ash-Shiddieqy, siyasah syar'iyah pada dasarnya sama dengan maslahah mursalah itu sendiri.[173]

Jadi sejak awal syari'at Islam sebenarnya tidak memiliki basis (tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'at Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir batin, dunia akhirat, sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan, tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap teks (nash), seperti dipromosikan oleh paham ortodoksi, telah membuat prinsip kemaslahatan sebagai jargon kosong.

Dalam dekapan semangat ortodoksi, yang selalu mengejar kesesuaian maksimal dengan bunyi ajaran, maka bagi umat Islam, mempertanyakan validitas dan relevansi teks doktrin adalah mustahil, dan lebih mustahil lagi, jika yang dipertanyakan adalah 'induk' dari segala doktrin, yakni al-Qur'an. Ribuan judul kitab yang ditulis oleh pelbagai generasi sekedar mengukuhkan relevansi dan validitas al-Qur'an. Prinsip kaum ortodoks terhadap konflik yang terjadi antara bunyi ajaran dalam teks dengan realitas empirik adalah "menaklukkan realitas terhadap ajaran" yang berbentuk teks-teks Arab dalam nash.

Fiqih menurut Sahal Mahfudz sebenarnya upaya manusiawi, yang melibatkan proses penalaran (reasoning), baik dalam tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum agama.[174] Dengan menyebut manusiawi, dimaksudkan untuk membedakan dengan syari'at, yang secara longgar dipakai untuk menyebut agama Islam dan merujuk kepada hukum Tuhan sebagaimana terkandung dalam korpus-korpus wahyu, tanpa melibatkan unsur-unsur manusia. pendeknya, fiqih adalah refleksi dari syari'at.

Karena sifatnya reflektif, dibutuhkan kemampuan kognitif guna menjabarkan teks-teks agama yang idealis ke dalam realitas sosial yang empiris. Inilah urgensi ijtihad. Karena fiqih timbul dari hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqih yang dikenal dengan ushul fiqih (legal theory) dan qawa'id fiqhiyyah (legal maxim). Yang pertama dipahami oleh para ahli hukum Islam sebagai bangunan prinsip dan metodologi investigatif yang dengannya aturan-aturan hukum praktis memperoleh sumber-sumber partikularnya. Sedang yang terakhir lebih bercorak sebagai pedoman pengambilan hukum-hukum agama secara praktis, yang menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang melatarbelakangi suatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan.

Dalam kehidupan umat Islam Indonesia terdapat berbagai jenis aliran beserta kepercayaan masing-masing. Kepercayaan merupakan salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial. Selanjutnya dalam perkembangan masyarakat, unsur magis kadang lebih dominan dan tampil lebih awal, yang merupakan proses sosial yang kompleks, dimana rutinitas kharisma dan kesinambungan pengalaman keagamaan dan kepercayaan merupakan aspek yang penting.[175]

Karena pengalaman keagamaan dan ritual, bukan hanya merupakan pengalaman filosofis atau intelektual, sehingga terjadi penonjolan pemujaan dalam keyakinan tersebut, dimana kejadian penting seperti krisis dan transisi dalam kehidupan individual atau kelompok ditunjukkan dengan ritual, pemujaan, dan juga ziarah kubur.

Dalam kejadian tersebut di atas, suatu kepercayaan (wilayah teologis) tertentu telah menjadi perdebatan hukum umat Islam, semisal boleh tidaknya ziarah kubur, apakah termasuk syirik atau tidak, tetapi hal tersebut tetap dilakukan oleh sebagian orang-orang Islam. Karena seringnya dilakukan oleh umat Islam, sehingga para ulama’ mengkaji dan mengeluarkan keputusan-keputusan yang berbeda dalam hukum Islam mengenai ziarah kubur, ada yang membolehkan, ada yang membolehkan tapi dengan syarat tertentu dan ada yang ‘pokoknya’ tidak.

Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji hukum Islam mengenai ziarah kubur, serta pendapat-pendapat madzhab empat dalam memandang ziarah kubur, dengan mengangkat sebuah judul; “Ziarah Kubur dalam Perspektif Hukum Islam”.

Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan dalam beberapa rumusan masalah yang menyangkut ruang lingkup riset yang akan dilakukan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:

1. Bagaimana ziarah kubur menurut Hukum Islam?

2. Bagaimana pendapat-pendapat madzhab empat tentang ziarah kubur?

Tujuan Kajian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui ziarah kubur menurut Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui pendapat-pendapat madzhab empat mengenai ziarah kubur.

Kegunaan Kajian
Setelah penelitian selesai, maka penulis berharap, bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan;

1. Bagi masyarakat; agar menjadi acuan dalam persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ziarah kubur.

2. Bagi STISWA; hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan pengetahuan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum ziarah kubur, terutama berhubungan dengan masyarakat atau anak didik.

Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman para pembaca terhadap beberapa istilah dalam judul tersebut, maka penulis memberi pengertian sebagai berikut:

Ziarah kubur, mendatangi kuburan orang yang sudah meninggal dunia dan punya hubungan keluarga atau orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan derajat keilmuan dan spiritual sewaktu masih hidup dan menjadi panutan. Semisal datang ke makam walisongo, atau makam ulama, dengan maksud memanjatkan do’a agar lebih ma’bul.

Perspektif : sudut pandang atau tinjauan.[176]

Hukum Islam adalah “Titah Allah yang mewujudkan suatu hukum, yakni yang dihadapkan kepada para mukallaf yang berhubungan dengan perbuatan mereka, atau kaidah yang dinashkan syara’ mengenai sesuatu masalah“.[177]

Metode Kajian
7. Jenis Kajian

Jenis kajian ini adalah kajian pustaka, yaitu pemaparan argumentasi penalaran keilmuan yang diambil dari hasil berbagai kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan bacaan atau teori-teori dari para ilmuan yang terdapat dari berbagai sumber, baik buku, majalah, dan koran, tentunya yang sesuai dengan objek ini sehingga bisa dijadikan bahan acuan dalam penelitian ini.

8. Metode kajian

Sedangkan metode kajian dalam penulisan ini adalah pengumpulan data dengan analisis isi (contens analisys).[178]

Ditinjau dari tempatnya, penelitian ini disebut dengan penelitian kepustakaan.[179] Penelitian ini ada yang menyebut kajian pustaka murni, yaitu penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil pikir peneliti mengenai satu masalah (topik). Penelitian hasil kajian pustaka ini memuat atau menggali gagasan atau proposi yang berkaitan dan harus didukung oleh data atau informasi yang diperoleh dari sumber pustaka (literature). Dengan landasan filosofisnya yang kualitatif dan rasionalistik.

Sumber pustaka untuk kajian ini dapat berupa jurnal penelitian, transkrip, diskusi ilmiah, majalah dan sebagainya. Bahan-bahan pustaka tersebut lalu dibahas dan dianalisis secara kritis dan mendalam dalam rangka mendukung proposi dan gagasan.

9. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah catatan atau dokumen yang berupa kajian pustaka Karena itu upaya pengumpulan data dalam skripsi ini ditekankan untuk menelusuri bahan pustaka semisal: Al-Madzahib al-Arba’ah, Fiqhus Sunah, Fathul Wahab, Al-Muhaddab, Kifayatul Akhyar, Bidayatul Mujtahid dan buku-buku lain-lain.

e. Metode pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data dari subyek penelitian diterapkan metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan lain-lain.[180]

f. Metode analisa data
Metode analisis data atau informasi merupakan suatu hal yang penting demi terwujudnya validitas kajian untuk menganalisis data panelitian ini, penulisan menggunakan analisa data kualitatif-diskriptif, yaitu menggambarkan secara sestematik dan akurat mengenai fakta dan karakteristik mengenai obyek kajian atau bidang tertentu. Sedangkan metode yang digunakan penulisan yang di gunakan antara lain :

1). Deduktif, yaitu proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan mengeneralisasikan kebenaran tersebut pada peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).[181]

2). Induksi yaitu proses pengorganisasian fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi rangkaian hubungan atau suatu generalisasi.[182]

Sistematika Penulisan
Dalam memaparkan materi yang terkandung dalam penelitian ini, penulis perlu menjabarkan sistematika penulisan secara global, yang dalam hal ini penulis sistematisir menjadi beberapa bab.

Bab I : Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Kajian, Kegunaan Kajian, Definisi Operasional, Metode Kajian dan Sistematika penulisan

Bab II : Konsepsi dasar Hukum Islam, yang terdiri dari pengertian Hukum Islam dan ruang lingkupnya, perspektif historis Hukum Islam.

Bab III: Tinjauan tentang ziarah kubur yang meliputi pengertian ziarah kubur, hukum ziarah kubur, pandangan masyarakat tentang ziarah kubur, tujuan dan tata cara berziarah kubur, dan larangan yang perlu dihindari.

Bab IV: Pembahasan Hasil Penelitian

Bab V: Penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

KONSEPSI DASAR HUKUM ISLAM



Hukum Islam dan Ruang Lingkupnya.

Nabi sendiri tidak mengkategorikan ajaran-ajaran Islam pada kelompok-kelompok tertentu, seperti wajib, halal, haram, mandub, makruh dan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam teori hukum belakangan. Klasifikasi ini merupakan hasil kerja para ahli hukum Islam yang secara sungguh-sungguh mempelajari ayat-ayat al-Qur’an, sunnah nabi serta praktik para sahabat dan kaum muslim pada periode awal.[183]

Pada masa formatifnya, hukum Islam (dalam tulisan isi disebut fiqih) sering dipersepsikan sebagai Islam itu sendiri. Hal ini karena pertumbuhan fiqih meliputi integrasi umat dari berbagai latar belakang bahasa, kultur dan tempat di mana manusia berdomisili. Dalam konteks ini, penulis akan mengawali pembahasan tentang terminologi fiqih sejak dari permasalahan konsepsinya hingga perkembangannya yang spesifik dengan pelbagai macam implikasinya.

Kata fiqih, secara kebahasaan berarti pemahaman, pengertian atau pengetahuan (tentang sesuatu).[184] Dalam al-Qur’an kata fiqih juga digunakan dalam pengertian yang umum, yaitu pemahaman, pengetahuan. Sebagai contoh, firman Allah dalam Q.S. al-Taubah (9:122) berikut ini.

وَمَا كَا نَ المؤ منون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طا ئفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم اذا رجغوااليهم لعلهم يحذرون (التو بة\9: 122)

Terjemahnya: Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka itu menjaga dirinya. [185] (QS.9: 122)

Ekspresi al-Qur’an untuk memahami agama memperlihatkan bahwa pada masa hidup nabi, istilah fiqih belum digunakan dalam pengertian hukum secara khusus, melainkan hanya pengertian luas mencakup semua dimensi agama seperti teologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Jadi, fiqih dipahami sebagai “ilmu agama” yang akan mengantarkan manusia pada kebaikan dan kemuliaan.

Sejak itu para ulama membagi hukum Islam ke dalam delapan kategori yaitu:

1) Hukum yang berkaitan dengan ibadah terhadap Allah seperti shalat, puasa, haji; 2) Hukum Islam berkaitan dengan masalah keluarga seperti nikah, thalak, keturunan, nafkah “al-ahkwal al-syakhsiyyah”; 3) Hukum Islam yang berhubungan dengan hubungan antar manusia dalam memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak “muamalah”; 4) Berkaitan dengan tindak pidana disebut “jinayah”; 5) Berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama manusia disebut “al-ahkam al-qadla”; 6) Yang mengatur hubungan antar penguasa dan warganya disebut dengan “siyasah syar’iyyah al-sulthaniyyah”; 7) Yang mengatur hubungan antar negara dalam keadaan perang dan damai “al-huquq al-dawliyah”; 8) yang berkaitan dengan akhlak baik dan buruk disebut “adab.[186]

Dari delapan varian ini dapat dikerucutkan menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah itu menjadi aktivitas yang berdimensi transenden (vertical), sedang muamalah berdimensi imanen (horizontal). Argumen ini pun masih dapat disempitkan lagi menjadi “ibadah” saja.

Fiqih yang pada abad ke-2 Hijriyyah telah berdiri sebagai disiplin ilmu itu, oleh Ibnu Khaldun dikatagorikan sebagai masuk katagori ilmu modern dan agama.[187] Menurut teori hukum Islam, yang dibuat oleh orang-orang muslim abad pertengahan, struktur hukum Islam dibangun atas empat dasar yang disebut dengan sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum tersebut adalah al-Qur’an, sunnah nabi, konsensus (ijma’), dan penalaran analogis (qiyas). Hubungan timbal balik antara keempat prinsip ini sangat membingungkan dan sulit menjelaskan.

Dalam analogi ini, al-Qur’an dan sunnah Nabi adalah prinsip-prinsip materiil, penalaran analogis (qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan konsensus (ijma’) adalah prinsip formalnya (atau kekuatan fungsional).[188] Adapun, tujuan dari struktur hukum ini adalah agar perbuatan manusia adalah di bawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain, perilaku dan kegiatan manusia serta dinamika dan perkembangan masyarakatnya—yang semuanya merupakan gambaran dari af’alul mukallifin—yang diperoleh dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang berkualitas baik (shalih).

Jadi, fiqih bukanlah “ilmu teoritis” sebagaimana filsafat, melainkan “ilmu amaliyah” (ketentuan-ketentuan yang berlaku positif). Oleh karena itu, definisi ilmu fiqih yang baku sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu al-Subki adalah ilmu tentang hukum-hukum syari’at amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.[189]

Dari definisi ini, dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut; pertama, fiqih adalah ilmu garapan manusia (ilmu muktasab), hal ini berbeda dengan ilmu Jibril atau ilmu Rasul yang berkaitan dengan wahyu. Oleh karena fiqih ilmu yang muktasab, maka penalaran mendapat tempat dan absah dalam batas-batas tertentu.

Kedua, sasaran ilmu fiqih adalah hukum riil. Dengan demikian, fiqih berkaitan dengan pengaturan dan penataan manusia yang bersifat riil, empiris dan positif, tidak seperti ilmu teologi (kalam) yang teoritis. Ketiga, sumber pokoknya adalah wahyu atau syara’ dalam bentuknya yang rinci baik dalam al-Qur’an maupun hadits melalui proses istidlal atau istinbath.

Sebelum mengejawantahkan dari formula fiqih tersebut, telebih dulu harus dibuat “dasar-dasar metodologi penetapan syari’at” yang relevan dengan keadaan zaman. Di sinilah peranan Imam Syafi’i. Menurut Marshall GS Hodgson al-Syafi’i berjasa sebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran melaksanakan prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari’ah. Hal ini tercermin dalam konsepnya tentang “nasikh-mansukh”, yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskan oleh hal-hal lain dalam Islam yang disebabkan adanya pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan baik lingkungan ruang, maupun lingkungan waktu.[190]

Berdasarkan metodologi Syafi’i itu, maka lahirlah rumus hukum Islam yang megatakan bahwa hukum berubah oleh perubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semua ulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawa perubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimat rumusan Arab seperti di kutip oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa “bahwa perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidak dapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman”.[191]

Untuk melaksanakan prinsip ini dibutuhkan kemampuan menangkap “pesan zaman”, sehingga suatu hukum dapat diterapkan secara efektif. Ini berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau abstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip umum yang berlaku untuk semua zaman dan tempat, dan berlakunya suatu prinsip untuk setiap zaman dan tempat, berarti kemestian memberikan peluang pada prinsip itu untuk dilaksanakan secara teknis dan konkrit menurut tuntutan ruang dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutan spesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahan hukum. Maka, yang berubah bukanlah prinsip, melainkan pelaksanaan teknis dan konkrit hukum itu dalam masyarakat dan masa tertentu.

Studi komprehensip yang dilakukan Imam Syafi’i dan para pakar fiqih lain seperti al-Subekti, al-Suyuti, Ibnu Abdus Salam telah meletakkan dasar metodologis generalisasi dan abstraksi tersebut dalam lima cara (prinsip) pendekatan pada setiap ketentuan hukum. Pertama, semua perkara harus diperhatikan maksud dan tujuannya, kedua, bahaya harus dihilangkan, ketiga, adat kebiasaan adalah sumber penetapan hukum, keempat, hal yang mantap tidak boleh dihapus oleh hal yang meragukan, dan kelima, kesulitan pelaksanaan harus menghasilkan kemudahan hukum.[192]

Dengan memperhatikan secara seksama, metodologi Syafi’i itu sesungguhnya memuat dorongan yang kuat untuk mendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam al-Qur’an atau hadits tidak secara harfiyah, melainkan dengan penarikan ide prinsipil yang dikandungnya, dan yang menjadi hukum tasryi’ dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema hadits pada umumnya bersifat ad-hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadian nabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkan problem dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal, hanya dari abstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami “pesan teks”. Kendala terbesar dari penerapan atau implementasi dari “dasar metodologi dan generalisasi” itu datang dari kubu dogmatis dan literalis yang kini masih bertebaran di dunia Islam.

Perspektif Historis Fiqih
Timbulnya Konsep Fiqih

Kata fiqih pada mulanya digunakan oleh masyarakat Arab untuk menyebut orang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dari unta betina yang sedang bunting. Itulah sebabnya, Bangsa Arab sangat akrab dengan ungkapan fahlun faqihun sebagai julukan bagi pakar unta.[193] Untuk dapat mengawinkan unta dan membedakannya antara yang birahi dengan yang bunting dibutuhkan pengetahuan yang mendalam guna menghindari kemungkinan terjadinya kekeliruan.

Dari uraian ini dapat dikembangkan tentang pengertian fiqih secara umum, yaitu, “pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu”. Namun begitu, dalam sejarah perkembangan Islam, kata fiqih lebih banyak dipergunakan dalam pengertian memahami agama dari pada yang lain. Al-Qur’an sendiri mempergunakan kata fiqih dalam konteks pemahaman terhadap masalah-masalah agama. Lihat misalnya Firman Allah, “liyatafaqqahu fi al-ddin” (QS 9:122), menunjukkan bahwa istilah fiqih tidak dimaksudkan untuk pengertian memahami agama dari aspek hukum semata, melainkan untuk memahami agama (secara mendalam) dengan pelbagai aspeknya. Ungkapan Allah itu menggambarkan betapa luas ruang lingkup istilah fiqih masih mencakup masalah teologis, di samping masalah hukum. Keterangan ini menunjukkan di samping pemahaman intelektual murni, fiqih juga menyangkut pada kedalaman dan intensitas keyakinan, tauhid, hukum peribadatan dan ajaran Islam lainnya.

Pada periode awal perkembangan Islam juga dijumpai beberapa istilah fiqih, ilm, iman, tauhid dan hikmah,[194] yang sama-sama digunakan dalam pengertian umum, tetapi kemudian berkembang menjadi lebih sempit dan spesifik. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya antara lain masyarakat muslim semasa Rasul hidup tidaklah sedemikian kompleks dan beragam, sebagaimana terjadi kemudian. Lalu persoalan-persoalan yang muncul seperti hubungan muslim dan non muslim serta beberapa implikasi akibat perluasan wilayah Islam, munculnya madzhab-madzhab fiqih dan sekte-sekte teologis serta perkembangan dinamika pemikiran keagamaan merupakan faktor utama yang menyebabkan perubahan beberapa peristilahan yang semula dipahami secara sederhana dan general itu.

Seiring dengan wafatnya rasul, kaum muslim dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang menuntut penggunaan rasio. Pada saat inilah, fiqih dimaklumi sebagai “hasil penggunaan opini pribadi yang tidak terikat oleh teks. Pada saat yang sama, banyak orang yang berusaha menghimpun dan menulis tradisi-tradisi yang diperoleh melalui cara-cara periwayatan. Jadi, pengetahuan yang dihasilkan dari penggunaan kecerdasan dan pendapat pribadi, diistilahkan dengan fiqih. Sedangkan, pengetahuan yang diperoleh melalui rangkaian perawi disebut ‘ilm.

Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman menerangkan, bahwa ilmu adalah sesuatu yang sudah diakui secara mantap dan objektif, dan fiqih adalah sesuatu yang subyektif karena ia mencerminkan pemikiran pribadi seorang ulama. Sementara ilm adalah proses belajar dan menunjuk pada sekumpulan data yang obyektif, terorganisasi dan terdisiplin, maka fiqih pada tahap ini hanyalah nama suatu proses atau kegiatan memahami atau menyimpulkan.[195]

Jelasnya—pada fase ini—ilmu lalu dipergunakan dalam pengertian pengetahuan mengenai tradisi, yakni hadits dan atsar, sedang istilah fiqih dipergunakan secara eksklusif bagi pengetahuan yang dilandaskan pada penggunaan kecerdasan dan pertimbangan yang independen. Dalam sejarah, tahun 96 H dikenal sebagai tahun fuqaha, karena sejumlah ahli fiqih terkemuka di Madinah seperti Said bin al-Musayyib dan Abu Bakar Bin Abdur Rahman wafat pada tahun tersebut. Oleh karena itu, tampaknya masuk akal untuk menduga bahwa ilm dan fiqh terpisah ketika para ahli fiqih dan spesialis hadits muncul menjelang akhir abad I H.

Untuk memperkuat argumentasi ini, diriwayatkan ketika Umar Bin Abdul Azis (w. 101 H) mengintruksikan kepada Abu Bakar Ibnu Hazm (w. 120 H) untuk mengkodifikasi hadits, Umar mengatakan bahwa ia khawatir akan kemungkinan lenyapnya pengetahuan.[196] Hadits-hadits itu kemudian ditulis oleh Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 124 H), tokoh hadits terkemuka waktu itu. Kemudian seperti dikatakan Ignaz Goldziher, bahwa Harun al-Rasyid pernah mengintruksikan kepada Gubernur Harmatha untuk melakukan konsultasi kepada ahli fiqih dan ahli ilmu dalam masalah kitab Allah dalam persoalan-persoalan yang samar.

Sampai pada hal ini, kita dapat mengatakan, bahwa ilmu sejak awal memang mempunyai pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui al-Qur’an dan hadits. Sedangkan, fiqih sejak definisinya yang sangat awal, mengacu pada penggunaan rasio dan pemikiran.

Dari analisis di atas dapat ditegaskan kembali, bahwa ruang lingkup terminologi fiqih secara gradual mulai menyempit, dan akhirnya diaplikasikan secara spesifik dalam masalah-masalah hukum dan literaturnya. Begitu juga dengan ilm, mulai hilang pengertian umumnya dan terbatas pada hadis dan atsar saja. Hal ini dikarenakan, persoalan keislaman semakin luas dan kompleks, serta munculnya spesialis-spesialis muslim yang beragam sesuai dengan disiplin dan ketekunan masing-masing.

Di atas telah diuraikan tentang “fiqih” yang di awalnya mempunyai “makna general” tetapi kemudian mengalami penyempitan makna menjadi pemahaman hukum yang didasarkan atas ijtihad. Sengaja dicantumkan terma syari’ah pada pembahasan ini, karena kedua istilah ini sering dikacaukan penggunaannya. Sampai sekarang masih ada kaum muslim yang mengidentikkan fiqih dengan syari’at Islam itu sendiri. Hemat penulis, persepsi demikian dikarenakan terlalu dominannya fiqih dalam wacana ke-islaman, sehingga seolah-olah orang yang sudah melaksanakan fiqih, dengan sendirinya telah menjalankan seluruh ajaran Islam. Dominasi fiqih itu terlihat misalnya, orang sering mengatakan haji si A sah, haji si B tidak sah. Kata sah dan tidak sah adalah “kata-kata fiqih”. Padahal, persoalan haji adalah persoalan diterima dan tidak diterima bukan sah atau tidak sah.

Begitu juga, sering terjadi ”ketegangan” antara “masyarakat fiqih” dan komunitas “di luar fiqih”, misalnya kaum sufi. Para pemuja “fiqih” sering mengklaim dirinya yang paling benar dan sah seraya menganggap golongan lain salah bahkan kafir.

Oleh karena itu, asumsi penulis perlu adanya klarifikasi, atau lebih tepatnya penegasan kembali tentang “hakekat” fiqih sebagai upaya ijtihad manusia (yang nisbi dan subyektif) atas teks-teks primer keagamaan (al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat ambigu). Karena sifatnya interpretatif (yang tentunya tidak lepas dari subyektifitas), maka keberadaan fiqih sarat dengan perdebatan. Di sinilah urgensi pembahasan fiqih dan syari’at. Ketika ummat Islam memahami fiqih sebagai syari’at itu sendiri, maka akan “berbahaya” bagi kelangsungan hidup manusia, terlebih antar ummat Islam. Sebab, iklim yang akan muncul adalah klaim-klaim kebenaran (truth claim) masing-masing kelompok. Bila klaim kebenaran yang dikedepankan, maka sendi-sendi harmonisme antar ummat beragama akan runtuh.

Secara etimologis, syari’ah berarti “jalan menuju sumber air” (the road to the watering place) atau “jalan tenang yang diikuti (the clear path to the followed).[197] Dalam pemakaian yang bersifat relegius kata ini mempunyai arti “jalan menuju yang baik” yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Kata syari’ah dikaitkan dengan “sumber air”, menunjukkan bahwa vitalnya syari’ah itu, sebab “sumber mata air” bagi orang Arab menunjukkan sesuatu yang ”luar biasa”.

Al-Qur’an menggunakan kata syari’ah dan syari’ah dalam pengertian din (agama), baik suatu jalan lurus (thariq mustaqimah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau sesuatu ketentuan yang harus dilaksanakan.

Ketika Nabi ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjawab tentang shalat, zakat, puasa dan haji.[198] Hal ini menunjukkan bahwa terminologi syari’at pada masa hidup nabi digunakan untuk menyebut makna yang esensial dari ajaran Islam. Dengan demikian, syari’at meliputi segala ketentuan dan hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, baik yang berkaitan dengan aqidah, akhlak atau perbuatan manusia dalam bentuk ibadah dan mu’amalah. Pengertian syari’at seperti ini sama dengan fiqih pada periode awal.

Abu Hanifah membedakan term syari’ah dengan din. Alasannya, syari’ah bersifat dinamis dalam pengertian mengalami perubahan sesuai dengan ruang dan waktu, sementara din bersifat statis. Term din yang dimaksud adalah ajaran-ajaran dasar dari agama, yakni percaya kepada keesaan Tuhan, Nabi, kehidupan akhirat dan lain-lain, sedangkan syari’at adalah kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Bagi Abu Hanifah, misi setiap nabi adalah sama, yaitu ”mendemonstrasikan” agama tauhid, yang berbeda adalah syari’atnya. Oleh karena itulah, setiap nabi selalu mengajarkan “monotheisme”, tetapi pada saat yang sama juga mengajak kepada syari’at-nya sendiri dan melarang ummatnya untuk mengikuti nabi-nabi sebelumnya. Tentunya, tidak semua syari’at nabi-nabi sebelumnya dibuang begitu saja, sebab ada syari’at yang sifatnya modifikasi atau pembaharuan, seperti ajaran haji yang merupakan warisan ajaran Nabi Ibrahim. Untuk itulah, dalam Islam ada konsep Syar’un man qabalana. Dari sinilah, maka wajar apabila Gibb memandang Abu Hanifah telah menyamakan term fiqih dan syari’at.[199]

Dewasa ini, terminologi syari’ah mencakup semua aspek dari ajaran Islam baik fiqih maupun kalam.

Syari’at mempunyai ruang lingkup yang lebih luas meliputi segala aspek kehidupan manusia, sedangkan ruang lingkup fiqih lebih sempit, dan hanya menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum. Syari’at senantiasa mengingatkan kita (bahwa ia bersumber) pada wahyu, ilmu (pengetaahuan) tentang wahyu itu tidak akan dapat diperoleh kecuali dari atau perantaraan al-Qur’an dan hadits; dalam fiqih kemampuan penalaran ditekankan. Arah dan tujuan syari’at ditentukan oleh Tuhan dan nabi-Nya. Sedang materi yang tercantum dalam fiqih disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqih, suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak, sementara dalam syari’at terdapat tingkatan yang di perbolehkan dan tidak. Dengan demikian, fiqih merupakan terminology tentang hukum sebagai salah satu ilmu, sementara syari’at lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti.[200]

Bahwa syari’at mencakup hak-hak dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqih hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja. Berbeda dengan syari’at yang mencakup persoalan-persoalan teologi dan etika, aksentuasi (penekanan) kajian fiqih lebih pada hukum-hukum ijtihadiyyah dan pencarian hukum melalui istidlal.

Namun demikian, secara jujur harus diakui bahwa garis yang membedakan antara keduanya sama sekali tidak tampak jelas, dan seringkali para ahli di kalangan umat Islam sendiri menggunakan istilah-istilah itu dalam pengertian yang sama. Sebab, tolak ukur itu segala perbuatan manusia, baik dalam bidang syari’at maupun fiqih itu berbeda, yakni mencari keridlaan Allah dengan cara melaksanakan segala aturan secara sempurna. Untuk dapat menarik garis demarkasi (batas pemisah) antara kedua istilah tersebut paling tidak ada lima titik perbedaan antara syari’at dan fiqih. Pertama, syari’at bersifat sempurna dan tidak berubah sedangkan fiqih terus berkembang dan berubah tergantung tempat, adat dan situasi; kedua, kesamaan antara syari’at dan fiqih terletak padahasil ijtihad fiqih yang benar. Sedangkan hasil ijtihad yang salah tidak dapat disamakan dengan syari’at; ketiga, syari’ah bersifat ilmiah dan universal. Universalitas al-Qur’an terletak pada tujuan dan nushusnya yang ditujukan kepada manusia secara keseluruhan; keempat, ketentuan syari’at menjadi suatu keharusan bagi umat manusia untuk melaksanakan dan meninggalkannya tanpa mengenal ruang dan waktu. Setiap orang yang memenuhi syarat untuk melaksanakan suatu perintah, maka ia harus melaksanakannya, sementara fiqih tidak mengikat; kelima, syari’at kebenarannya mutlak, sedang fiqih (yang merupakan pemahaman manusia) kemungkinan salah.

Dalam kajian fiqih selalu terbuka peluang beda pendapat (ikhtilaf) dalam kasus yang sama. Karenanya, Syafi’i pernah mengatakan bahwa perbedaan pendapat bagi mujtahid tidak dapat dihindari (unavioidable). Nabi sendiri memberi “penghargaan” terhadap upaya ijtihad dengan sabdanya, “Jika seorang hakim berijtihad tentang suatu keputusan, dan hasilnya benar, maka akan mendapat dua pahala, dan apabila salah akan mendapat satu”.[201] Ini menunjukkan, bahwa fiqih merupakan suatu yang relatif dan subyektif.

Kiranya sudah cukup untuk mengatakan bahwa syari’at Islam adalah sesuatu yang absolut, eternal (kekal), abadi dan tidak berubah. Hukum-hukum Allah dan teks-teks al-Qur’an adalah tetap, tidak berubah dan tidak berganti. Ia tidak pernah surut dari masa ke masa, dan dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain. Perubahan dan pergantian hanyalah upaya penyesuaian, penerapan syari’at atau hukum-hukum Allah tersebut dengan kondisi masyarakat dan situasi zaman. Dengan kata lain, hukum fiqih pada hakekatnya merupakan hasil usaha penyelarasan antara syari’at dengan situasi sosial dan dinamika masyarakat.

Kemacetan berijtihad terutama disebabkan lantaran budaya kritik epistemologis, tidak tumbuh secara wajar dalam budaya muslim. Akibatnya, terjadi apa yang oleh Arkoun disebut taqdisal-afkar al-diniyyah (pensakralan atau pensucian buah pikiran keagamaan).[202] Pemikiran keagamaan (baik dalam aspek fiqih, mistisisme, teologi dan lain-lain) menjadi taken for granted, tidak boleh disentuh, meskipun terjadi paradoks antara teks dan realitas empiris.

Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana menjembatani idealitas teks yang sifatnya tetap (eternal), dengan realitas empiris yang selalu berubah dan dinamis. Di sinilah pentingnya kerangka teoritik atau apa yang oleh ahli ushul disebut ijtihad. Dengan ijtihad, maka problem kesenjangan antara teks dengan peristiwa-peristiwa baru yang lahir sebagai produk dinamika peradaban manusia bisa terjembatani (ternetralisir).



BAB III

TINJAUAN ZIARAH KUBUR



A. Pengertian Ziarah Kubur

Setiap yang bernafas akan mati, apabila waktu mati sudah tiba tidak dapat ditunda atau dipercepat walau sedetik. Semua akan kembali ke Haribaan Allah sesuai dengan perjanjian yang tertulis sejak berumur 120 hari ketika di dalam kandungan ibu[203], apa yang terjadi telah tersurat. Segala yang dialami oleh manusia hanya mengikuti kehendak Allah, manusia hanya dapat berencana, tetapi Allah yang menentukan segala sesuatunya. Segala sesuatu ada batasnya, termasuk kesedihan, kebahagiaan dan umur.

Umat Islam sebagai insan yang merasa bahwa dirinya pasti mati dan dikuburkan oleh saudaranya yang lain, juga tahu bahwa setelah kehidupan di dunia fana ini masih ada kehidupan lain, di mana manusia pada kondisi seperti ini ada dua kemungkinan, mendapatkan nikmat kubur atau siksa kubur, senang atau susah hanya amallah yang menentukan dan membantu. Sementara itu orang yang masih hidup di dunia telah menjadi tradisi di antara mereka melakukan ziarah kubur ke makam leluhur, sanak kerabat atau para orang-rang saleh yang telah meninggal, berbagai kegiatan mereka lakukan disana seperti membaca al-Qur’an, dzikir, ataupun tahlil.

Menurut etimologi, ziarah kubur merupakan kata majemuk yang terdiri atas dua kata. Ziarah berarti mengunjungi atau mendatangi[204] sesuatu, dan kata kubur yaitu tempat orang meninggal disemayamkan[205]. Dalam “Ensiklopedi Hukum Islam” Ziarah berasal dari kata ziyarah berarti kunjungan dan qubur (bentuk jamak dari qabr) yang artinya kuburan atau makam.[206] Sedangkan menurut istilah, ziarah kubur adalah mengunjungi tempat orang yang meninggal untuk membaca doa, agar orang yang ada di dalamya diberi kelapangan dalam menghadapi ujian Allah. Supaya diberi selamat dan kebahagiaan di alam penantian.

B. Hukum Ziarah Kubur

Berziarah ke makbaroh hukumnya sunah dan dianjurkan sekali menurut pendapat ulama ahli sunah wal jama’ah karena adanya perintah dari nabi saw. Memang Pada masa awal islam, Rasulullah saw. melarang umat Islam untuk melakukan Ziarah kubur hal ini dimaksudkan untuk menjaga akidah umat Islam, Rosulullah saw. khawatir kalau ziarah kubur diperbolehkan, umat Islam akan percaya dan menjadi penyembah kuburan. namun setelah akidah umat islam kuat, dan tidak ada kehawatiran berbuat syirik.

Rasulullah memperbolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur pada dasarnya dapat membantu orang yang hidup untuk mempersiapkan diri menghadapi saat kematianya datang, sekaligus menambah rasa iman akan adanya hari akhir atau hari pembalasan pasti akan tiba, dengan didahului berpindah alam dari alam fana ke alam penantian.

عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قد كنت نهيتكم عن زيارة القبر فقداذن لمحمد فى زيارة قبر امه فزوروها فانها تذكر الاخرة

Artinya: “ Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad saw. telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang, berziarah-lah! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akherat .” ( HR. al-Tirmidzi,)[207]



عن ابن مسعود رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروهافانه تذكركم الاخرة (رواه ابن ماجه )

Artinya: Dari Ibnu Ma’ud ra.sesungguhnya Rosulullah Saw. bersabda: “Aku dulu telah melarang kamu ziarah kubur, maka kini berziarahlah, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan alam akhirat”.[208] (H.R Ibnu Majah)

من زار قبر ابويه او احدهما فى كل جمعة مرة غفر له وكتب بارا.

Artinya: Nabi saw. bersabda : “Barang siapa yang berziarah ke kubur kedua orang tua atau salah satu dari keduanya pada setiap hari jum’at, maka orang itu di ampunani dosanya dan ditulis termasuk golongan orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya”. (H.R. Hakim dari Abu Hurairah )



dalam riwayat lain disebutkan :

من زار قبر والديه او احدهما فقرأ عنده يس والقران الحكيم غفر له بعدد ذلك اية او حرفا وفى رواية :من زار قبر والديه او احدهما كان كحجة.

Artinya: “Barang siapa berziarah kubur kekubur kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya kemudian membaca surat yasin wal qur’ani al-hakiim disampingnya ,maka dia akan diampuni sesuai dengan bilanagan ayat atau huruf. Dan dalam satu riwayat yang lain. “Barang siapa berziarah kubur kekubur kekedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya maka sama separti berhaji”.[209]



Dalam salah satu hadits yang diriwayatka oleh Imam Muslim dari Sayyidatina Aisyah disebutkan bahwa Rosulullah saw. pada waktu-waktu tertentu secara rutin selalu berziarah ke kuburan Baqi’ di madinah. Karena itu bila sekarang banyak umat islam berziarah kekubur itu tidak melanggar ketentuan agama.



C. Pandangan Tentang Ziarah Kubur

Ada sebagian kelompok, faham atau golongan tertentu dalam Islam yang melarang atau mengharamkan ziarah kubur secara mutlak. Hal ini didasari bahwa sikap dan paham itu, kata Ibn Taimiyah, merupakan konsekuensi logis dari setiap Muslim dalam rangka merealisasikan makna dua kalimat Syahadat yang diikrarkannya.[210]

Dalam kalimat pertama, begitu Ibn Taimiyah, kita menyatakan bahwa tidak akan beribadah kecuali hanya kepada Allah Swt. semata, sedangkan dalam kalimat kedua kita menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Rasul Allah yang menyampaikan agama dari Allah yang mewajibkan kita supaya membenarkan berita-berita yang disampaikannya dan menaati segala perintahnya.[211] Seorang yang mengucap dua kalimah Syahadat dituntut agar memadukan dan menyerasikan antara pernyataan lidah dan mulut, keyakinan hati dalam dada, dan perbuatan konkret pada anggota badan seorang Muslim di bawah bimbingan dan petunjuk Rasul Allah SWT.

Ibn Taimiyah begitu yakin bahwa Al-Qur’an dan Hadits keduanya telah mencakup semua urusan agama (umur al-Din) baik yang berhubungan dengan amal akidah dan ibadah, maupun yang berhubungan dengan masalah muamalah dan lain-lain. Firman Allah QS. An-Nisa ayat 59 yang berbunyi;

فان تنـازعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول,...(النساء:59)

Terjemahnya: "Jika terjadi perselisihan di antara kamu mengenai sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya…”

Sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 59 merupakan salah satu dari beberapa ayat Qur’an yang dijadikan dalil oleh Ibn Taimiyah. Kalimat di atas, demikian Ibn Taimiyah, terdiri atas huruf syarat dan fi’il madi (yang mengandung makna masdar) nakirah yang terletak sesudah syarat, sehingga memberikan pengertian yang umum. Dengan demikian, menurut Ibn Taimiyah, potongan ayat tersebut harus ditafsirkan sebagai beriktu; “maka manapun sesuatu (persoalan) yang kamu saling pertentangkan, kembalikan permasalahan itu (penyelesaiannya) kepada Qur’an dan As-Sunnah”.

Di samping itu, tambah Ibn Taimiyah, seandainya penjelasan Allah dan Rasul-Nya tidak akan dapat menyelesaikan suatu permasalahan, maka tentu umat Muhammad saw tidak akan diperintahkan supaya mengembalikan kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.[212]

Dari uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pemahaman keagamaan yang dianut Ibn Taimiyah sangat Qur’ani dan Haditsi. Dengan kata lain, dari Al-Qur’an dan Haditslah Ibn Taimiyah menyusun suatu sistem hukum berpikir mengenai segala aturan keagamaan, baik yang bersifat akidah maupun yang berbentuk amaliah.[213]

Bagi Ibn Taimiyah, tauhid, yang olehnya dinyatakan sebagai dasar agama yang paling asasi bagi setiap agama, merupakan rahasia (sirr) Qur’an dan kitab-kitab keimanan. Menurutnya, masalah akidah itu bukan diambil dari dalam dirinya dan pula dari orang lain yang lebih besar sekalipun, melainkan diperoleh dari ajaran Allah dan Rasul-Nya serta kesepakatan generasi Muslimin terdahulu.[214] Demikian juga masalah amaliah yang oleh banyak orang disebut furu’, syar’ atau fiqh. Semuanya itu, kata Ibn Taimiyah telah dijelaskan oleh Utusan Tuhan dengan keterangan yang amat baik. Tak satu persoalan pun yang diperintahkan Allah SWT dan yang dilarang-Nya, yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh-Nya, kecuali Rasul Allah SWT telah menjelaskan secara keseluruhan.

Selain itu Ibn Taimiyah memiliki pandangan bahwa masalah yang riil yang berhubungan dengan kehidupan ummat Islam sehari-hari itulah yang diperhatikan, bukan masalah skolastik yang bersifat formalitis.[215] Pandangan itu memperlihatkan bahwa Ibn Taimiyah amat menaruh perhatian yang besar terhadap masalah-masalh yang muncul dalam masyarakat dan ingin mengatasinya dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan kepada adat istiadat atau sesuatu yang dibuat-buat oleh manusia.

Kesan lain yang diperoleh dengan menelusuri alur pemikiran keagamaan Ibn Taimiyah ialah bahwa dia tampak begitu ketat dan boleh disebut “literalis”atau tekstual dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berisikan tentang akidah dan ibadah. Akan tetapi pemikirannya dalam soal mu’amalah tampak begitu luwes dan tidak kaku.

Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah sifat-sifat Tuhan umpamanya, Ibn Taimiyah agaknya menerima secara harfiah sebagaimana adanya tanpa menakwilkannya demikian rupa seperti yang ditempuh para filosof Muslim dan sebagian teolog serta sufisme. Namun untuk meniadakan kesan tasybih atau anthropomorphisme (paham bahwa Tuhan memiliki kesamaan jasmani dengan manusia) seperti yang dituduhkan sebagian orang kepadanya, Ibn Taimiyah membedakan antara kualitas sifat-sifat manusia selaku makhluk dengan sifat-sifat Tuhan sebagai Khaliq.

Sejalan dengan pandangannya yang demikian itu, manurut Ibn Taimiyah, term ta’wil yang dipergunakan generasi salaf berbeda dengan rumusa ta’wil yang dipegang sebagian generasi Khalaf.[216] Ta’wil menurut pemaham salaf, demikian Ibn Taimiyah, identik dengan pengertian tafsir, yakni menerangkan makna yang dikehendaki oleh nas-nas Qur’an dan Hadits. Ta’wil dalam bentuk itulah yang patut diterima, katanya, karena para sahabat dan tabi’in adalah orang-orang yang lebih tahu tentang ta’wil Qur,an yang telah mereka pahami dan tafsirkan secara keseluruhan.

Berdasarkan informasi tersebut di atas dapat diketahui bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang ulama, pemikir dan praktisi yang menaruh perhatian yang besar terhadap masalah-masalah yang muncul di masyarakat.paham keagamaannya bercorak salaf yakni mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana dipahami para sahabat dan tabi’in, pada saat mana pemikiran Islam belum terpengaruh oleh pemikiran filsafat atau berbagai paham lainnya yang dibuat-buat oleh manusia.

Berpijak pada kerangka berpikir Ibn Taimiyah tersebut, keinginan untuk mengadakan perubahan di masa sebelum periode modern, juga timbul di Arabia. Keinginan itu dicetuskan oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (1703-1787 M). Keinginan itu lahir bukan sebagai pengaruh kemajuan Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang dianut kaum awam di waktu itu. Kemudian faham tauhid mereka telah dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah pengaruh tarekat-tarekat seperti pujaan dan kepatuhan yang berlebihan pada syekh-syekh tarekat, ziarah ke kuburan-kuburan wali dengan maksud meminta syafa'ah atau pertolongan dari mereka dan sebagainya. Menurut Abd. Wahhab kebiasaan-kebiasaan itu mengandung syirk atau politeisme dan harus diberantas.[217] Semua itu adalah bid'ah (sesuatu yang asing) yang dibawa orang dari luar masuk ke dalam Islam. Bid'ah itu mesti dibuang dan orang harus kembali kepada tauhid dan Islam sebenarnya. Tauhid dan Islam yang murni terdapat pertama-tama pada Nabi Muhammad dan kemudian Sahabat, imam-imam dan ulama besar. Mereka ini disebut salaf. Islam sesudah zaman salaf anyak dimasuki bid'ah.

Bagi orang-orang seperti ini sebaiknya mempelajari hadits-hadits nabi secara cermat dan mendalam jangan hanya sepotong-sepotong atau tanpa memperhatikan hadits nabi yang lain, telah jelas sebagaimana keterangan hadits di muka bahwa hukum haram ziarah itu hanya berlaku pada “awal-awal” Islam ketika kondisi keimanan kaum muslimin masih lemah, setelah kondisi keimanan umat Islam dianggap kuat kemudian Rasulullah saw. menggantinya menjadi “sunnah” dalam arti dianjurkan karena banyak kemanfaatan yang diperoleh, baik bagi yang ziaroh atau mayyit yang diziarohi, dan tidak ada lagi kehawatiran lagi dengan terganggunya nilai keimanan para sahabat, dengan terbukti banyak sekali hadtis- hadits yang menganjurkan ziarah kubur sebagaimana hadits yang di riwayatkan dari Abdillah bin Mulaikah :

ان عائشة اقبلت ذات يوم الى المقابر فقلت لها : يا ام المؤمنين من اين اقبلت ؟ فقالت من قبر اخى عبد الرحمن فقلت لها : اليس كان ينهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن زيارة القبور ثم امر بزيارتها.

Artinya: “Sesunguhnya ketika Aisyah suatu hari pulang dari makbarah, kemudian aku bertanya: Wahai umi al- Mu’minin engkau kembali dari mana? Aisyah menjawab: “Dari kuburan saudaraku Abdurrahman , lalu aku bertanya lagi padanya: “Apakah Rosulullah tidak mencegah tehadap ziarah kubur? beliau menjawab: “Ya, Rosulullah melarang ziarah kubur kemudian memerintahkan untuk berziarah”.[218]

Bagaimana dengan Hadits nabi yang dengan tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur :

عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعن زوارات القبور (مسند احمد ابن حنبل 8095)

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. melaknat wanita yang berziarah kubur”. [219]

Menyikapi hadits ini ulama nyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi lelaki maupun perempuan dalam “Kitab Sunan al-Tirmidzi” disebutkan :

وقد رأى بعض اهل ان هذا كان قبل ان يرخص النبي صلى الله عليه وسلم فى زيارة القبور فلما رخص دخل فى رخصته الرجال والنساء ( سنن الترمذي رقم 976 )

Artinya: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu di ucapkan sebelum nabi saw. membolehkan untuk melakukan ziarah kubur, setelah Rasulalloh saw. membolehkanya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.”[220] (Sunan al-Tirmidzi)

Kebanyakan ulama berpendapat diperbolehkanya perempuan ziarah kubur apabila aman dari fitnah dengan tendensi hadits nabi yang diriwayatkan Imam Muslim :

عن عائشة قالت : كيف اقول يا رسول الله اذا زرت القبور ؟ قال قولى السلام عليكم اهل ديار المؤمنين ( رواه مسلم )

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah saya berkata: “Bagaimana saya berucap ketika ziarah kubur wahai rosulullah? Nabi Bersabda: “Katakanlah semoga keselamatan tetap atas kamu sekalian wahai penghuni kubur dan golongan orang mukmin” [221] ( HR Muslim )

Dan hadits yang di riwayatkan Imam Bukhori :

عن سيدناأنس ابن مالك رضي الله عنه قال: ان النبي صلى الله عليه وسلم مربامراة تبكى عند قبر صبي لها فقال :اتقى الله واصبري

Artinya: “Dari sayyidina Anas bin Malik RA ia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melewati seorang perempuan yang sedang menangis di samping kuburan seorang anak kecil putranya, Maka nabi bersabda : “Bertakwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah” [222].

Pada hadits ini nabi hanya mengatakan “ Bertakwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah” Tidak mengingkari atau mencegah ziarah kubur. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Hakim:

ان فاطمة تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلى وتبكى عنده( أخرجه الحاكم فى المستدرك)

Artinya: “sesungguhnya fatimah selalu berziarah ke kuburan pamannya Hamzah setiap jum’at kemudian membaca sholawat dan menangis disisinya”. [223]

Dari konteks hadits di atas di simpulkan bahwa ziarah bagi wanita, itu diperbolehkan selagi tidak ada fitnah, atau melakukan sesuatu yang di haramkan, seperti meratapi kematian, menyia-nyiakan suami dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, tercampurnya perempuan dan laki-laki yang bukan mahrom yang tidak diperbolehkan oleh syara’ menampakan perhiasan yang berlebihan dan lain sebagainya.

D. Tujuan dan Tata Cata Berziarah Kubur

Di dalam melakukan aktifitas Ziarah hendaklah disertakan niat dan tujuan yang sesuai dengan tuntunan agama sebagai mana terkandung dalam hadits-hadits nabi diantaranya :

1. Untuk mengingatkan orang kepada kematian

2. Untuk mengingatkan orang kepada alam akherat

3. Untuk mengingatkan orang bahwa didalam kubur terdapat siksa dan nikmat kubur.

4. Untuk berkirim Do’a kepada orang yang sudah meninggal dunia, terutama kedua orang tua, dan lain-lain.

Islam adalah agama yang sangat menjujung etika dalam setiap langkah sehari-hari sampai terhadap orang yang telah meninggal ketika kita akan berziarah diantaranya adalah :

1. Datang mengucapkan salam sebagaimana yang diajarkan Nabi saw:

السلام عليكم اهل الديار من االمؤمنين والمسلمين وانا ان شاءالله بكم لاحقون,اسال الله لنا ولكم العافية (رواه مسلم )

Artinya: “ Semoga keselamatan tetap atas kamu sekalian wahai penghuni kubur dan golongan orang-orang mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami semua insya Alloh pasti akan menyusul . aku memohon kepada Alloh akan ketenangan dan kesejahteraan bagi kami dan kamu sekalian.”(HR Muslim)

2. Membaca ayat-ayat al-Qur’an ,seperti surat yasin

عن معقل بن يسار قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اقرؤوا على موتاكم يس (سنن ابن داود, رقم 2714)

Artinya: “Dari Ma’qil bin yasar, ia berkata, Rasululloh saw. bersabda: ”Bacalah surat Yaasin pada orang-orang mati diantara kamu”( Sunan Abi Daud)[224]

Atau surat-surat yang lain seperti al-Ikhlas, al-Falaq al-Naas ayat kursi, atau bacaan istighfar, tahlil ,Tasbih , Sholawat dan ditutup dengan do’a. dan pahala dari semua bacaan tadi dihadiahkan kepada yang diziarahi khususnya, dan semua muslimin pada umumnya agar memperoleh rahmat kubur dan dijauhkan dari siksa kubur.

3. Melakukan tafakur dan merenungkan terjadinya kematian dan adanya akhirat disertai koreksi terhadap diri sendiri sebagai mana hadits nabi:

عن ابن مسعود رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال كنت نهيتكم عن ريارة القبور فزوروهافانه تذكركم الاخرة (رواه ابن ماجه )



Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra. sesungguhnya Rosulullah Saw bersabda: “Aku dulu telah melarang kamu ziarah kubur, maka kini berziarahlah, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan alam akhirat”.[225]

4. Mengenang jasa perjuangan yang diziarahi kalau memang kebetulan seorang yang banyak jasa dalam perjuangan perkembangan agama Islam, atau seorang wali, ulama dan orang-orang sholih, sebagai uswatun al-Hasanah ( Suri tauladan baik ).[226]

E. Larangan Yang Perlu Dihindari

Di samping kita harus meluruskan niat serta menjaga etika dalam berziarah kubur ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dijauhi :

1. Jangan sekali-kali meminta sesuatu kepada orang-orang yang dikuburkan sebab hukumya syirik atau menyekutukan tuhan. yang diperbolehkan hanyalah memohon berkah atau berwashilah atas kemuliaan atau kesholehannya, bukan kepada orangnya atau kuburnya .sedangkan do’a atau permohonan itu tetap hanya kepada Alloh.

2. Jangan shalat di atas kubur, kecuali shalat jenazah.

3. Jangan duduk pesis diatas pusara

4. Jangan buang air besar atau kecil diatas kuburan[227].

Dari hadits dan keterangan diatas dapat diambil benang merah bahwa Ziarah kubur itu memang dianjurkan bagi laki-laki ataupun perempuan sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar bagi orang yang telah meninggal, ataupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yaitu mengingatkan manusia akan kematian yang pasti dialaminya dan adanya alam akhirat











BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN



Ziyarah berarti kunjungan dan qubur (bentuk jamak dari qabr) yang artinya kuburan atau makam. Kunjungan ke makam yang apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam akan menjadi suatu perbuatan baik yang membuahkan pahala.

Pada fuqaha sepakat mengatakan bahwa ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunah, dengan tujuan mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Hal ini antara lain berdasarkan pada sabda Nabi saw;: “Aku pernah (di masa awal Islam) melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah, karena hal itu mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan Ashab as-Sunan).

Ada dua pendapat fukaha tentang ziarah kubur bagi wanita, pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Malik, sebagian fukaha madzhab Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu pendapatnya, dan kebanyakan ulama lain, memberikan keringanan bagi wanita untuk berziarah kubur. Dalil mereka adalah bahwa Rasulullah saw. melihat seorang wanita yang sedang menangis di kuburan bayinya dan ia tidak melarangnya. Ketika itu Rasulullah saw. bersabda: “Bertakwalah kepada Alah dan bersabarlah. “Wanita itu berkata: “Apa pedulimu terhadap musibahku?!” Setelah Rasulullah saw. berlalu, seorang sahabat memberitahukan kepada wanita itu, “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah saw., “lalu wanita itu jatuh pingsan. Kemudian, ia mendatangi rumah Rasulullah saw. dan tidak ada penjaga pintu di sana. Ia berkata; “Ya Rasulullah, aku belum mengenalmu. “Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kesabaran itu pada saat-saat pertama (musibah menimpamu)”. (HR. al-Bukhori dan Muslim).

Di samping dalil tersebut, mereka juga beralasan bahwa ziarah kubur dimaksudkan untuk mengingat akhirat. Maksud ini berlaku pada orang laki-laki dan wanita. Pendapat kedua dikemukakan oleh madzhab Hanbali dan Syafi’i. Menurut mereka ziarah kubur bagi wanita adalah makruh, baik wanita tua maupun muda. Dalam hal ini dalil yang digunakan adalah sabda Nabi saw.: “Allah mengutuk kaum wanita penziarah kubur”. (HR. al-Khamsah, kecuali an-Nasa’i).

Namun fukaha tersebut sepakat jika keluarnya wanita untuk berziarah kubur itu akan menimbulkan fitnah dan kerusakan atau berakibat terjadinya hal-hal yang diharamkan, maka hukum ziarah mereka adalah haram.

Menurut fukaha madzhab Hanafi dan madzhab Maliki, ziarah kubur dilakukan pada hari Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Adapun menurut madzhab Syafi’i waktu ziarah adalah sejak asar hari Kamis sampai matahari terbit pada hari Sabtu. Menurut madzhab Hanbali, tidak ada ketentuan waktu dalam berziarah kubur. Fukaha tidak mengemukakan urutan tata cara berziarah kubur.

Fukaha keempat madzhab mengemukakan beberapa hal yang hendaknya dilakukan dalam berziarah kubur.

1). Mengucapkan salam dengan menghadap ke wajah mayat. Salam yang diajarkan Nabi saw kepada para sahabatnya antara lain adalah;

السلام عليكم دار قوم مؤمنين وانا انشألله بكم لاحكون (رواه المسلم)

Artinya: “Assalamu’alaikum, wahai penghuni tempat kaum mukminin, dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. (HR. Muslim)

2). Menanggalkan alas kaki. Menurut Madzhab Hanbali hukumnya sunah, sedangkan menurut ulama lain hukumnya mubah.

3). Menurut fukaha madzhab Hanafi, ziarah kubur hukumnya sunah jika dilakukan dengan berdiri.

4). Membaca al-Qur’an. Menurut jumhur fukaha dari ahlusunah wal-jama’ah, termasuk di dalamnya pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan sebagian madzhab Syafi’i pahal membaca al-Qur’an yang diniatkan untuk orang yang telah mati akan sampai kepadanya. Akan tetapi menurut pendapat asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepadanya. Menurut pendapat madzhab Hanafi, disunahkan bagi orang yang berziarah untuk membaca surah Yasin, al-Fatihah, awal surat al-Baqarah sampai kata al-Muflihun, ayat kursi, ayat amanar-Rasul, ayat tabarakal-mulk, surah at-Takasur, dan surah al-Ikhlas tidak atau sampai dua belas kali. Menurut jumhur fukaha, yang dibaca dari al-Qur’an adalah yang mudah bagi peziarah.

5). Berdo’a dan memohonkan ampunan bagi mayat. Fukaha menyepakati manfaat hal di atas dasar firman Allah Swt.

والذين جاءومن بعدهم يقولون ربـنااغفرلنا ولإخوانـناالذين سبقون بالإيمان ولا تجعل فى قلوبـنا غلا للذين امنوا ربـنا انك رءوف رحيم (الحشر|59: 10)
Terjemahannya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa’a: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’ (QS. 59: 10).

Menurut jumhur fukaha ketika berdo’a hendaknya peziarah menghadap ke arah kiblat. Do’a setelah pembacaan ayat-ayat al-Qur’an di antaranya ialah:

اللهم لاتحرمـنا اجرهم ولاتفـتنا بعدهم (رواه ابو دود)

Artinya: Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami untuk menerima pahala mereka dan janganlah Engkau menimpakan musibah kepada kami setelah kematian mereka. (HR. Abu Dawud)

Adapun hal-hal yang hendaknya dihindari oleh peziarah, antara lain sebagai berikut;

1). Memeluk dan mencium batu nisan serta mengelilingi kuburan. Menurut Sayid Sabiq, perbuatan ini termasuk bid’ah yang mungkar dan haram dilakukan. Perbuatan itu hanya boleh dilakukan terhadap Ka’bah dan tidak boleh diqiyaskan sekalipun terhadap kuburan Nabi saw,.

2). Mencaci orang yang telah meninggal. hal ini didasarkan atas sebuah Hadits Nabi saw. yang artinya; “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah mati karena sesungguhnya mereka telah mati karena sesungguhnya mereka telah mencapai (balasan amal) yang telah mereka lakukan.” (HR. Al-Bukhari).

Menurut Muhammad bin Isma’il al-Kahlani atau Imam as-San’ani (1099 H/1688 M. – 1182 H./1768 M.), ahli hadits dan ahli fiqih dari Yaman serta penyusun kitab Subul as-Salam yang berisi hadits-hadits hukum, hadits ini menunjukkan bahwa hukum mencaci orang yang telah mati adalah haram.

3). Duduk di atas kuburan. Dalam hal ini fukaha berbeda pendapat. Sebagian sahabat seperti Amr bin Hazm dan Abu Hurairah berpendapat hukumnya adalah haram. Dalilnya antara lain adalah sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Seseorang di antara kalian duduk di atas bara api, hingga membakar kulitnya adalah lebih baik daripada duduk di atas kuburan” (HR. al-Jama’ah). Menurut jumhur fukaha, antara lain Imam asy-Syafi’i, an-Nakha’i, al-Lais bin Sa’ad, dan Imam Ahmad bin Hanbal, hukumnya adalah makruh. Sementara itu Ibnu Umar dari kalangan sahabat, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik berpendapat bahwa hukumnya boleh.

Adapun tentang menabur bunga dan menyiramkan air ke kuburan sebagaimana biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw.

Karena tujuan berziarah untuk mengingat akhirat dan mengambil pelajaran, menurut Sayid Sabiq di perkenankan berziarah ke kuburan orang kafir. Apabila orang yang meninggal adalah orang yang lalim dan Allah Swt. mengadzabnya karena kelalimannya, disunahkan bagi peziarah untuk menangis dan merendahkan diri kepada Allah Swt. ketika melewati kuburan itu. Ketika melewati kuburan kaum Samud, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya: “Janganlah kalian memasuki (kuburan) orang-orang yang diadzab, kecuali kalian menangis. Jika kalian tidak menangis, maka janganlah kalian memasukinya, niscaya kalian tidak akan ditimpa adzab seperti yang telah ditimpakan kepada mereka” (HR. al-Bukhari).

Menurut ahli fiqih dan madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’i), mengadakan perjalanan untuk berziarah kubur, terutama kuburan orang-orang yang sholeh adalah sunah.

Berziarah ke kuburan saw. termasuk dalam mendekatkan diri pada Allah Swt. kuburan Nabi saw. terdapat di Masjid Nabawi, dan di sisinya terdapat kuburan Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin al-Khattab. Di saat memasuki Masjid Nabawi hendaknya lebih dahulu melakukan shalat tahiyatul masjid. Berziarah ke kuburan Nabi saw. dimulai dengan menghadap ke kuburannya sambil mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. dan dua kalimat syahadat. Setelah bergeser ke kanan sambil mundur dan mengucapkan salam kepada Abu Bakar as-Siddiq. Lalu, bergeser lagi dan mengucapkan salam kepada Umar bin al-Kattab. Selanjutnya berdoa dengan suara lembut untuk dirinya, saudara-saudara, dan orang-orang yang dicintai, serta seluruh kaum muslimin. Dalam berziarah hendaknya tidak memeluk dan mencium batu nisan, karena Nabi saw. melarangnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah), termasuk dinding yang membentengi kuburan Nabi saw.





BAB V

PENUTUP



Kesimpulan
Pembahasan tentang tinjauan hukum Islam mengenai ziarah kubur, serta pendapat-pendapat madzhab empat dalam memandang ziarah kubur, dengan judul “Ziarah Kubur dalam Perspektif Hukum Islam”, telah penulis tuangkan dalam beberapa bab sebelumnya. Untuk itu penulis menyimpulkan sebagai berikut:

3. Ziarah kubur menurut hukum Islam apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam akan menjadi suatu perbuatan baik yang membuahkan pahala.

4. Pada fuqaha sepakat mengatakan bahwa ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunah, dengan tujuan mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Ada dua pendapat fukaha tentang ziarah kubur bagi wanita, pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Malik, sebagian fukaha madzhab Hanafi, Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu pendapatnya, dan kebanyakan ulama lain, memberikan keringanan bagi wanita untuk berziarah kubur

Saran-saran
Agama Islam adalah agama yang dapat dinalar. Karena itu tidak ada agama bagi mereka yang tidak punya akal. Demikian pula tentang syari’at yang terkandung di dalamnya, di samping mempunyai nilai ta’abudiyah juga nilai ta’akuliyah. Untuk itu penting kiranya umat Islam senantiasa menyelidiki nilai nilai penalaran yang terkandung di dalam syari’at itu sendiri sesuai dengan disiplin ilmu yang ada. Hal ini dapat membuktikan keagungan syari’atnya, sekaligus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap sang pencipta makhluk yang dijadikan obyek penelitian itu sendiri.

Karena keterbatasan pemikiran manusia, maka seyogyanya dalam menggunakan penalaran-penalaran tersebut harus senantiasa dibarengi dengan nilai ibadah yang merupakan hakekat di ciptakannya manusia di dunia. Sebab tidak selamanya manusia dapat memahami rahasia tuhan menciptakan sesuatu secara komprehensip.

Apabila terjadi suatu khilafiyyah pada suatu permasalahan, adalah sangat bijaksana jika umat Islam senantiasa berikhtiyat (hati-hati), terlebih jika masalah tersebut berhubungan langsung dengan ibadah, seperti halnya ziarah kubur

Sebagai penutup, penulis sadar bahwa penulisan dalam bentuk skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi materi, isi maupun teknisnya. Untuk itu kritik konstruktif dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan di masa mendatang.

Semoga karya ini akan ada manfaatnya terutama bagi penulis dan umumnya pembaca. Amin.

DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, M. Amin, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.), Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta; LKiS, 1996).

Al-Alim, Musthafa, Ma’a Aqidah as-Salaf al-Aqidah al-Wasitiyah li as-Syaikh al-Islam ibn Taimiyah, Beirut: Dar al-Arabiyah,t.t.

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo; Dar al-Fikr, 1939.

Al-Syafi’i, Al-Risalah, Kairo; Musthafa al Babi al Halabi, 1940.

Anwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Jokjakarta; Pustaka Pelajar, 2004.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta 2000.

Ash Shidiqiey, Hasby, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1967.

A Sirry, Baca Mun’im, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995.

Az-Zain, Muhammad Husni, Mantiq Ibn Taimiyah wa Manhaj al-Fikr, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1979.

CD., Kutub al Sittah, Bab Iman.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1989.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II , cet IV Jakarta: Balai Pustaka,1985.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2000, cet. I.

Fazlurrahman, Islam, Terjemahan, Ahsin Muhammad, Bandung; Pustaka, 1984.

Gibbs, H.A.R., Muhammadism, terj. Abu Salamah, Jakarta; Bharatakaya Aksara, 1983.

Hasan, Ahmad, “The Early Development of Islamic Jurisprudence”, Terj. Agah Ganadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqh, terj. Nur Iskandar al-Barsani, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Wilayah Jawa Timur “Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 2002 Cet ke delapan.

Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Jogjakarta: LKiS, 1994.

Madjid, Nurcholis, “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadits; Implikasi dalam Pengembangan Syari’ah” dalam Budi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta; Paramadina,1995.

Majdi, Muhammad Zainul, “Kesempurnaan Syari’at Islam dan Probabilitas Penerapan” Jurnal Ulumuna, Vol. VII Edisi II Nomor 1 Januari-Juni 2003, Mataram; STAIN Mataram.

Michael, Thomas, SJ. "Ibn Taimiyah, Alam Pikiran dan Pengaruhnya di Dunia Islam", Orientasi, Th.XV, No.253.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984.

O'Dea, Thomas F., Sosiologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Shiddieqy, Nouruzzaman, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Shomad, K.H Muhyiddin Abdus, Fiqh Tradisional, Malang: 2004

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Syaikh Al-‘alamah Kyai Haji ‘Ali Maksum Ibnu Masyhudi Pekalongan Hujah Ahlus Sunah Wal Jama’ah, Pekalongan: tp.tth.

Syaikh Yusuf Khothor Muhammad Damaskus, Mausu’ah Al-Yusufiyah Beirut: Dar-al Taqwa 2003

Syaikh al-‘Rif Billah Sayyid Muhammad al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushohiha

Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung; Mizan, 1995.









BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang Masalah

Poligami ialah pengambilan seorang suami lebih dari seorang isteri. Poligami ini dalam masyarakat Islam menjadi perdebatan yang hangat, dan menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Terkadang soal ini menimbulkan pertanyaan tentang arti poligami yang sebenarnya, dan lebih daripada itu soal ini membawa pada pertanyaan apakah yang sebenarnya maksud Islam dengan poligami ini?

Islam telah memberi batasan yang teramat jelas mengenai jumlah isteri, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3;

وان خفتم الاتقسطوافىاليتمى فانحكواماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع, فإن خفتم الا تعد لوا فواحدة اوما ملكت ايمانكم ذلك ادنى الا تعولوا (النساء/4/3)

Terjemahnya: Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.4: 3).[228]

Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam memperkenankan seorang laki-laki mengawini sebanyak-banyak empat orang perempuan sebagai isterinya. Inipun dengan syarat-syarat yang sangat berat, antara lain dia sanggup berlaku adil di antara isteri-isterinya itu, dalam hal nafakah dhohir dan nafakah bathin dan giliran-gilirannya. Tetapi apabila dia takut dan kawatir tidak mampu berlaku adil diantara isteri-isterinya, maka seharusnya beristeri seorang saja.

A’isyah ra., isteri Nabi saw. telah meriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan dengan latar belakang kejadian mengenai anak yatim yang berada di bawah kekuasaan atau pengawasan seorang laki-laki dan ia hendak mengawininya tanpa mau melakukan keadilan dalam persoalan mahar, lalu Rasul mencegah hal demikian ini (mengawini anak yatim itu) sehingga dapat dan sanggup berlaku adil atau mereka mau mengawini sebagaimana mengawini perempuan-perempuan lainnya, dua, tiga atau empat.[229]

Mengenai pengertian lafadz مثنى وثلث وربع (dua, tiga atau empat) dalam ayat di atas, menurut jumhurul ulama’ termasuk Syafi’i adalah dua orang perempuan atau tiga atau empat orang perampuan. Bukan dua-dua (dua ditambah dua sama dengan empat), tiga-tiga dan empat-empat (yang pada akhirnya berjumlah delapan belas orang wanita), sebagaimana pendapat golongan Syi’ah, kaum Rafidhoh dan sebagian ahli Dhohir.[230]

Pendapat golongan Syi’ah di atas jelas bertentangan dengan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibn Anas ra. Dalam kitabnya “Al-Muwaththo’;

قال لرجل من ثقيف اسلم وعنده عشر نسوة حين أسلم الثقيف "امسك منهن اربعا وفارق سائرهن"

Artinya: “Nabi berkata kepada seorang laki-laki dari golongan Tsaqief (Ghoilan bin Umayyah Ats-Tsaqofi) yang masuk Islam, padahal ia beristeri sepuluh orang. Beliau bersabda: Pilihlah empat orang di antara mereka, dan ceraikanlah yang lainnya”.[231]

b

Serta hadits Nabi ketika Haris ibn Qois masuk Islam;

اسلمت وعندى ثمان نسوة فذكرت ذلك للنبى فقال النبى "اختر منهن اربعا"

Artinya: “Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri, lalu saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah saw., maka beliau berkata; “Pililah empat orang di antara mereka”.[232]

Dari beberapa paparan dan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwasanya Islam memperkenankan seorang laki-laki beristeri sebanyak-banyaknya empat perempuan. Benarkah demikian maksud dari al-Qur’an, Hadits, dan Madzahibul Arba’ah yang memperkenankan berpoligami? Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkajinya dengan mengangkat sebuah judul; “Poligami dalam Perspektif al-Qur’an, Hadits, dan Madzahibul Arba’ah”.

Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan dalam beberapa rumusan masalah yang menyangkut ruang lingkup riset yang akan dilakukan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:

“Bagaimana poligami dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits, Menurut Empat Imam Madzhab?”

Tujuan Kajian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

“Untuk memperoleh gambaran tentang poligami dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits, Menurut Empat Imam Madzhab”

Kegunaan Kajian
Setelah penelitian selesai, maka penulis berharap, bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan;

3. Bagi masyarakat; agar menjadi rujukan dalam menentukan hujjah dan memberikan argumentasi dari al-Qur’an dan Hadits dan pendapat para ulama mengenai poligami.

4. Bagi STISWA; hasil kajian ini dapat digunakan sebagai maraji’ dalam memberikan pengetahuan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan poligami menurut Islam.

Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman para pembaca terhadap beberapa istilah dalam judul tersebut, maka penulis memberi pengertian sebagai berikut:

Poligami adalah ikatan perkawinan yang satu pihak laki-laki memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya atau pengambilan seorang suami lebih dari satu isteri.[233]

Perspektif : sudut pandang atau tinjauan.[234]

Al-Qur’an adalah Wahyu Allah yang terakhir dan diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara bertahap selama 23 tahun.

Al-Hadits adalah semua ucapan Nabi Muhammad saw.

Empat Madzhab adalah para empat orang ahli fiqh yang metode istinbath hukumnya berbeda-beda dan mempunyai pengaruh yang luas terhadap umat Islam.

Secara keseluruhan yang dimaksud dengan judul tersebut adalah seorang laki-laki yang mengawini perempuan lebih dari satu menurut sudut pandang al-Qur’an, Al-Hadits dan menurut pendapat golongan madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah. Hanafiyyah dan Hanbaliyyah.

Metode Kajian
Pembahasan penelitian ini didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), untuk itu penulisan ini mempunyai dua kerangka pokok:

1. Metode Pengumpulan Data.

Sesuai dengan sifat penelitian yang merupakan kajian pustaka, maka metode yang digunakan sesuai dengan data yang terkait dengan mencari sumber data dan bahan pustaka lain. Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan, maka sebagai langkah pertama penulis mengumpulkan sejumlah kitab-kitab dan atau hasil karya para ulama mujtahid dan para ahli yang telah dituangkan dalam bentuk buku atau lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

2. Sumber Data

Dari beberapa literatur yang dipakai dapat dibedakan menjadi dua, pertama, sumber data primer yang mana pembahasan ini diambilkan dari kitab suci Al-Qur’an, Hadits nabi Muhammad, dan, Kitabul Fiqh ala Madzahibil Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziry. Kedua, sumber data sekunder yang mana diambilkan dari buku-buku atau kitab-kitab yang terkait dan ada relevansinya dengan penelitian ini.

3. Metode Analisa Data

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematik transkrip, catatan buku dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun untuk menambah pemahaman mengenai bahan-bahan, itu semua untuk meng-komunikasikan apa yang telah diketemukan.[235] Sejalan dengan pengertian di atas analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola kategori, dan satuan uraian dasar.[236]

Berdasarkan pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari kitab-kitab fiqh, catatan buku dan komentar peneliti, artikel dan sebagainya. Karena itu pekerjaan analisis meliputi kegiatan mengerjakan data, menatanya membatasinya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, menafsirkannya, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari dan memutuskan apa yang akan peneliti laporkan.

Dengan demikian peneliti menganalisis dan menafsirkan data yang telah dikumpulkan agar dapat diketahui maknanya. Oleh karena itu, pneliti tidak hanya menyajikan data deskriptif, melainkan manafsirkan data tersebut berdasarkan hubungan antar berbagai konsep serta tinjauan peneliti sendiri.

Setelah data-data berhasil dikumpulkan dan diperoleh suatu kesimpulan maka, untuk membahasnya dipergunakan metode-metode pembahasan sebagai berikut:

a. Induktif, yaitu suatu kajian yang berangkat dari pemikiran umum untuk kemudian digeneralisasikan kepada sesuatu yang khusus. Aritnya, dapat penulis gambarkan bahwa air kencing adalah najis, air kencing bayi laki-laki maupun perempuan juga termasuk dalam kategori air kencing, maka air kencing tersebut juga termasuk hal yang najis.

b. Deduktif, yakni kebalikan dari metode induktif, artinya dalam hal ini penulis mengkaji suatu permasalahan dari sesuatu yang sifatnya khusus untuk kemudian disimpulkan pada sesuatu yang umum. Air kencing bayi laki-laki adalah termasuk air kencing, sedang air kencing najis, maka air kenncingnya bayi laki-laki pun termasuk dalam kategori barang yang najis.

c. Komperatif, suatu pembahasan dimana penulis berusaha untuk membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk kemudian mengambil salah satu pendapat yang paling rajih untuk dijadikan pegangan.

Di samping ketiga metode tersebut di atas, dalam kenyataannya nanti juga penulis tidak menutup kemungkinan akan menggunakan metode pembahasan dengan dimensi syar’i, artinya dengan metode ini penulis mendasarkan suatu pemikiran bahwa apa yang didatangkan Allah adalah merupakan suatu yang pasti dan benar, baik yang tertuang dalam nash-Nya secara langsung dalam bentuk firman maupun yang melalui perantaraan lisan Nabi-Nya.

Sistematika Penulisan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan skripsi ini benar-benar mengarah pada tercapainya tujuan pembahasan, maka penulis membuat sistematika pembahasan skripsi ini agar mempermudah pembahasan terhadap masalah yang disajikan.

Bab I : Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Kajian, Kegunaan Kajian, Definisi Operasional, Metode Kajian dan Sistematika penulisan.

Bab II: Tinjauan Umum tentang Pernikahan, yang terdiri dari pengertian pernikahan, dasar hukum pernikahan, dan rukun dan syarat pernikahan.

Bab III: Tinjauan tentang Poligami yang meliputi tinjauan poligami, pengertian pembatalan nikah.

Bab IV: Pembahasan hasil penelitian

Bab V: Penutup, meliputi kesimpulan dan saran-saran.





BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN



Pengertian Pernikahan
Pernikahan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridla Illahi. Pernikahan merupakan jalan untuk menyalurkan naluri manusia untuk memenuhi tuntutan nafsu syahwatnya dengan tetap terpelihara keselamatan agama yang bersangkutan. Apabila nafsu syahwatnya telah mendesak, padahal kemampuan kawin belum cukup maka supaya menahan diri dengan jalan berpuasa mendekatkan diri kepada Allah agar mempunyai daya tahan mental dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan godaan setan yang menarik-narik untuk berbuat zina

Pernikahan berasal dari kata nikah asal kata (نكح ينكح نكاحا ) yang berarti mengawini atau menikah.[237] Sedangkan menurut lughot atau bahasa yaitu (الضم والوطء) yang berarti menyatukan dan bersetubuh.[238] dan juga (الضم والجمع ويطلق على العقد وعلى الوطء لغة) yang berarti menyatukan dan mengumpulkan juga bisa disebut al-Aqd atau al-Wath’).[239]

Dalam pengertian pernikahan Kamal Mukhtar menjelaskan arti yang lain dari nikah ialah “dham”, yang berarti “menghimpit, menindih, atau berkumpul”.[240] Sedangkan menurut para fuqaha’, nikah adalah akad yang dapat digunakan untuk menghalalkan suami isteri untuk merengguk kenikmatan satu dengan yang lain, menurut aspek yang disyari’atkan oleh Allah Swt.[241]

Dalam kitab “Hasyiyah Qulyubi” dijelaskan bahwa nikah adalah; “pernikahan adalah akad yang mengandung halalnya persetubuhan dengan menggunakan kata-kata nikah atau tajwij”.[242] Sedangkan Mahmud Yunus menambahkan bahwa yang dimaksud pernikahan adalah aqad antara calon laki isteri untuk memenuhi hasrat jenisnya menurut yang diatur oleh syar’i.[243]

Setelah mengetahui beberapa arti dan definisi dari para ulama di atas bisa diterangkan ada kata perkawinan dan pernikahan, dimana kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama, hanya penggunaan yang berlaku di masyarakat saja yang berbeda. Kata pernikahan yang mempunyai kata dasar nikah biasanya digunakan beriringan dengan kata akad. Sedangkan kata perkawinan yang mempunyai kata dasar kawin tidak lazim diiringi kata akad, sehingga yang berlaku adalah kalimat akad nikah bukan kalimat akad kawin. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 6, yaitu:

وبتلوا اليتمى حتى اذا يلغوا النكاح (النساء|4|6)

Terjemahannya: “Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka cukup umur untuk kawin” [244] (Q.S. an-Nisa’: 6)

Pernikahan merupakan Sunnah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi Muhammad saw. oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad saw. yang baik maka mereka harus kawin. Selain mencontoh tindak laku Nabi Muhammad, juga pernikahan itu merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.

Pernikahan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridla Illahi. Pernikahan disyari’atkan semenjak dahulu, dan hal ini banyak sekali keterangan yang terdapat di dalam Al-Qur’an, misalnya surat An-Nisa’ ayat 3 dan surat Ar-Rum ayat 21. Allah berfirman:

ومن أياته أن خلق لكم من انفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأ يات لقوم يتفكرون (الروم\30)

Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Rum:21).[245]

Keterangan dalam Al-Qur’an tersebut mengajarkan bahwa pernikahan merupakan jalan untuk menyalurkan naluri manusia untuk memenuhi tuntutan nafsu syahwatnya dengan tetap terpelihara keselamatan agama yang bersangkutan. Apabila nafsu syahwatnya telah mendesak, padahal kemampuan kawin belum cukup maka supaya menahan diri dengan jalan berpuasa mendekatkan diri kepada Allah agar mempunyai daya tahan mental dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan godaan setan yang menarik-narik untuk berbuat zina.

Islam memandang pernikahan mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi-Nya guna menjaga keselamatan hidup keagamaan yang bersangkutan. Dari segi lain, pernikahan dipandang mempunyai nilai kemanusiaan, untuk memenuhi naluri hidupnya, guna melangsungkan kehidupan jenisnya, mewujudkan ketentraman hidupnya, dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat dengan diawali kehidupan berkeluarga.

Menurut pendapat lain pernikahan diartikan sebagai perhimpunan atau menjadi satu, perkataan ini dicontohkan dalam perkataan yang berlaku pada orang-orang Arab “Pepohonan itu saling mengawini jika satu sama lainnya saling bercondong dan berkumpul”.[246] Sementara menurut pendapat Al-Farisi mengatakan “Jika mereka mengatakan bahwa suami istri itu fulan atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud adalah mengadakan akad akan tetapi jika dikatakan bahwa dia mengawini isterinya maka yang dimaksud adalah berhubungan badan”.[247] Mengenai arti pernikahan menurut bahasa, di kalangan ulama’ tidak ada yang berbeda pendapat, tetapi arti pernikahan dilihat dari segi hakiki dan majazinya, di kalangan mereka terjadi perbedaan pendapat menurut Imam Abu Hanifah bahwa pernikahan secara hakiki mempunyai arti jima’ (bersetubuh) sedangkan arti majazinya adalah akad.[248]

Dari pengertian pernikahan menurut bahasa yang telah penulis paparkan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa arti pernikahan secara bahasa adalah berkumpul. Arti tersebut tidak ada yang mempertentangkan hanya saja perbedaan pendapat terjadi pada arti pernikahan ditinjau dari segi hakiki dan majazinya.

Pernikahan menurut pemikiran masing-masing ulama’ fiqih berbeda pendapat, Ulama Hanafiah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya bagi seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kepuasan. Sementara kalangan Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz “nikah” atau “zauj” yang menyimpan arti bersetubuh. Artinya seorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan bersetubuh dari pasangannya. Selanjutnya ulama’ Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya mahar. Kemudian ulama’ Hanafiah mengartikan pernikahan adalah suatu akad yang menggunakan lafadz inkah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan, yang berarti seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.[249]

Demikian beberapa pengertian pernikahan menurut istilah dari berbagai pandangan ulama. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang menyatukan dua insan dalam satu ikatan lahir batin untuk dapat saling memiliki dan menyayangi sehingga terwujudlah suatu keluarga yang harmonis dan bahagia.

Dasar Hukum Pernikahan
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku umum pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan, sebagaimana firman Allah Swt.;

ومـن كل شـئ خلقنا زوجين لعلكم تذكرون (الذاريات|51|49)

Terjemahnya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyat: 49)

Juga firman Allah Swt. dalam surat Yasin ayat 36;

سبحن الذى خلق الا زواج كلها مما تنـبت الارض ومن انفسـهم ومما لايعلمون (يـس|36|36)

Di samping dua ayat di atas masih banyak ayat lain yang berisi tentang masalah perkawinan, seperti surat An-Nisa’ ayat 3 juga an-Nur ayat 32, semua itu berbicara tentang ajaran pernikahan.

Selain itu dapat pula ditemukan beberapa hadits Nabi saw. tentang suruhan apabila seseorang telah memenuhi syarat untuk menikah, maka dianjurkan atasnya untuk melaksanakan perkawinan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., bahwa Rasulullah bersabda;

عن عن الله بن مسعود ر.ض. قال: قال رسول الله صلعم, يامعشر الشـباب من استطاع منكم البأة فليسزوج فإنه اغض للبصر واحصن للفرج فإن لم يشتطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (رواه البخارى)

Artinya: Dari Abdullah ibn Mas’ud r.a. berkata; bahwa Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya, wahai generasi muda, siapa di antara kalian yang mampu (menanggung beban pernikahan), maka menikahlah, sebab pernikahan dapat melindungi pandangan mata (dari yang diharamkan) dan memelihara kehormatan (farji). biLa ia belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat mengendalikan nafsunya.”[250] (HR. Bukhori).

Beberapa dalil al-Qur’an dan hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum perkawinan itu adalah mubah, seperti juga Imam Romli memandang hukum asal nikah adalah mubah sedangkan hukum sunat/istihbab adalah aridl/baru.[251]

Namun dalam kondisi tertentu, konteks hukum ini berubah sesuai situasi dan kondisinya, sebagaimana pendapat Sayyid Bakry adalah;

1) Sunnah bagi orang yang mempunyai keinginan yang kuat dan mampu untuk pembiayaannya (mahar, sandang, dan nafkah)

2) Khilaful aula bagi orang yang mempunyai keinginan yang kuat dan tidak mampu dalam pembiayaannya.

3) Makruh bagi orang yang tidak mempunyai keinginan yang kuat dan tidak mampu dalam pembiayaannya.

4) Wajib bagi orang yang nadzar untuk nikah serta sudah disunahkan baginya.

5) Haram bagi orang yang tidak sanggup memenuhi hak-hak pernikahan.[252]



Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun yang dimaksud adalah ;

الركن: مايـتوقف عليه صحة الشئ وكان جزأ منـه
Artinya: “Sesuatu yang mana kesahan perkara lain tergantung pada sesuatu itu dan termasuk dari bagian perkara itu sendiri”. [253]

Pernikahan dapat dikatakan sah (legal) jika syarat dan rukunnya dipenuhi. Adapun syarat sah pernikahan secara garis besar yaitu halalnya seorang wanita bagi seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya, adanya wali mempelai perempuan yang melakukan akad, dan adanya saksi yang memenuhi standar hukum menjadi saksi dalam pernikahan.

Selanjutnya rukun-rukun pernikahan dalam syari’at Islam menurut Syeh As-Syarbini Al-Khotib yaitu:

وهي خمسة صيغة وزوجـة وزوج وولـي وشهدان.

Artinya: Rukun pernikahan itu adalah Sighot (ijab qobul), mempelai pria dan wanita, wali, dua orang saksi.[254]

Adapun perincian syarat-syarat untuk sahnya masing-masing rukun yang telah penulis sebutkan di atas adalah sebagai berikut:

a. Sighot (ijab dan qobul)

Dalam setiap pernikahan disyaratkan adanya sighot sebagai wujud niat dari seorang yang akan melakukan pernikahan, karena sesuai sabda Nabi bahwa setiap perbuatan harus ada niatnya

انـما الاعمال بالنيات وانـما لكل امرئ مانوى (رواه المسلم)

Artinya “Sesungguhnya sahnya suatu perbuatan tergantung pada niatnya dan setiap seseorang akan mencapai sesuatu sesuai dengan apa yang diniati”.[255]

Adapun perincian syarat-syarat sighot yaitu:

1). Kedua mempelai sudah tamyiz

2). Dilakukan dalam satu majelis

3). Ucapan sighot qobul tidak menyalahi ucapan sighot ijab

4). Pihak-pihak yang berakad harus mendengarkan pernyataan masing-masing walaupun tidak paham dengan kata-katanya. Karena yang menjadi pertimbangan adalah maksud dan niat, bukan paham terhadap kata-kata.[256]

b. Syarat-syarat mempelai pria dan wanita:

1). Baligh (dewasa)

2). Berakal

3). Tidak ada faktor yang menghalangi pernikahan baik yang bersifat sementara maupun yang selamanya.

4). Kedua calon mempelai harus jelas orangnya

Bagi seorang wali tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan ucapan “Aku nikahkan kamu dengan salah seorang kedua wanita ini”.[257]

c. Syarat-syarat wali

Keberadaan wali dalam akad nikah sangat penting, karena tidak sah suatu pernikahan tanpa mendapatkan izin wali. Sabda Rasulullah saw:

ايمـا امرأة نكحت يغير ادن وليها فنكاحها با طل (رواه ابو دود)

Artinya: Perempuan manapun yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal.[258]

Adapun syarat-syarat wali yaitu: (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Merdeka, (5) Laki-laki, dan (6) Bersifat adil.[259]

Jika para wali keberatan atau enggan menikahkan, maka hakim yang berhak menikahkan kedua mempelai dengan syarat jika kedua mempelai setingkat (kufu) dan walinya tetap keras kepala enggan menikahkan setelah dinasehati hakim.[260]

d. Syarat-syarat saksi

Sebagaimana syarat-syarat sahnya pernikahan yang telah penulis jelaskan di atas, adanya saksi juga menentukan sah atau tidaknya pernikahan.

Sabda Rasulullah saw.:

لا نكاح الاببينة (رواه الترمذى)

Artinya: Tidak sah nikah tanpa adanya saksi.[261]

Adapun syarat-syarat bagi seorang saksi sama dengan syarat-syarat bagi wali yang telah tersebut di atas. Tetapi di kalangan ulama’ terdapat perbedaan pendapat mengenai keadaan saksi. Imam Hanafi menegaskan bahwa seorang saksi harus merdeka dan mendengar ijab qobulnya kedua belah pihak yang berakad. Sedangkan menurut Imam Hambali saksi tidak boleh berasal dari satu keturunan dengan kedua mempelai.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa seorang saksi adalah dua orang laki-laki dan bersifat adil. Mengenai status wanita yang akan menjadi saksi menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali perempuan dilarang menjadi saksi. Sedangkan golongan Imam Hanafi menghukumi sah persaksian seorang laki-laki dengan dua orang wanita. Mereka beralasan bahwa pernikahan sama dengan akad jual beli, karena merupakan transaksi timbal balik yang dianggap sah dengan dua orang saksi perempuan disamping saksi laki-laki.[262]

Selanjutnya Imam Malik menyatakan bahwa saksi bukanlah merupaka suatu kewajiban dalam akad pernikahan, tetapi wajib dalam percampuran suami terhadap istrinya (bersetubuh). Sedangkan Imam Ja’far menganggap bahwa kesaksian hanyalah suatu anjuran saja.[263]

Sebenarnya banyak sekali hikmah yang dapat kita peroleh dalam setiap pernikahan. Dengan pernikahan kita menemukan jalan yang sah dalam menyalurkan naluri sex secara alami. Selain itu pernikahan adalah jalan yang terbaik untuk memperoleh keturunan, melestarikan hidup manusia dan memelihara agama dan nasab. Pernikahan juga dapat melahirkan sifat rajin dan sungguh dalam mengembangkan bakat dan pembawaan seseorang, membuahkan tali kekeluargaan dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.[264]

Pada garis besarnya rukun dan syarat sahnya perkawinan menurut hukum positif adalah sama dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan yang ada pada hukum islam. Hanya saja ketentuan-ketentuan tersebut ditambah dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 sampai 12 Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, yaitu sebagai berikut:

a. Ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1 UUP)

Adanya persetujuan dari calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan, dimaksudkan agar setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup rumah tangga dalam perkawinan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya kawin paksa untuk itu diisi surat persetujuan mempelai.

b. Ada ijin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.

Dalam penjelasan umum Undang-undang yang bersangkutan menyebutkan, bahwa undang-undang menganut prinsip dengan umur tersebut calon suami istri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, dan dianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.

c. Untuk umur calon mempelai, laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, sedangkan perempuan sudah mencapai 16 tahun.

Tentang izin untuk melakukan perkawinan dari kedua orang tua atau walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum berumur 21 tahun. Undang-undang tidak memberi penjelasan mengapa ditentukan batas 21 tahun keatas tidak perlu ada izin yang demikian, karena umur 21 tahundianggap telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum perkawinan ini, sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya.

d. Tidak melanggar larangan perkawinan (pasal 8 Undang-undang Perkawianan No. 1 Tahun 1974)

e. Berlaku azas monogami (pasal 3 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)

Calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami hendak beristri lebih dari seorang harus ada alasan yang sah untuk itu.

f. Berlaku waktu tunggu untuk janda yang hendak menikah lagi (Iddah).

Diatur dalam pasal 11 Undang-undang perkawinan tentang waktu tunggu, khusus bagi seorang perempuan yang diputus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian.

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu; asas sukarela, partisipasi kekeluargaan, poligami, dibatasi secara ketat dan kematangan fisik dan mental calon mempelai. Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Apabila dikehendaki yang bersangkutan karena hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, namun demikian itu hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi persyaratan tertentu dan memperoleh izin dari pengadilan agama.



BAB III

TINJAUAN TENTANG POLIGAMI



A. Tinjauan Poligami

1. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami

Menurut Lukman Hakim poligami yang beristri banyak (lebih dari satu)[265] sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, bahwa poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[266] Sedangkan menurut bahasa Inggris, poly berarti banyak, dan dari kata poly menjadi polygamy atau polugamous yang berarti perpaduan atau seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari seorang wanita.[267]

Menurut agama Islam dasar poligami telah jelas diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat (3) yang berbunyi:

وان خفتم الاتقسطوافىاليتمى فانحكواماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع فإن خفتم الا تعد لوا فواحدة اوما ملكت ايمانكم ذلك ادنى الا تعولوا (النساء|4: 3)

Terjemahnya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [268] (QS. an-Nisa’:3)



Dari ayat ini dapat dipahami bahwa harta memadu perempuan (istri) lebih dari empat orang. Sebab empat itu telah cukup, dan melebihi dari empat berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah bagi kemaslahatan suami istri.

Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqh Al-Sunnah”, bahwa Allah Ta’ala membolehkan berpoligami dengan batas empat orang dan mewajibkan berlaku adil dalam urusan makan, tempat tinggal, pakaian dan kediaman atau segala yang besifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan yang fakir, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang di bawah. Bila suami kwatir berbuat zhalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka, maka diharamkan berpoligami.[269] Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Nabi pernah bersabda, yaitu:

عن ابى هريرة رض الله عنه: ان البيى صلعم, من كانت له امراتان فمال الى احدا هما دون الاخرى جاء يوم القيامة وشقه مائل (رواه احمد والاربعة وسنده صحيح)

Artinya: Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi bersabda: “Barang siapa punya dua orang istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan bahunya miring (condong)” (HR. Imam Ahmad dan imam yang empat dan sanadnya shohih) [270]

2. Hikmah dan Tujuan Poligami

Berpoligami ini bukan wajib dan bukan sunnah, tetapi oleh Islam dibolehkan. Karena tuntutan pembangunan dan perbaikan tidak patut diabaikan oleh pembuat Undang-undang dan dikesampingkan. Sehingga dapat merupakan karunia Allah dan rahmahnya kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membataskan sampai empat saja. Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama lebih dari seorang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka dalam urusan belanja dan tempat tinggal seperti yang telah diterangkan.[271]

Dalam hal ini Abdul Muhaimin As’ad juga menerangkan bahwa:

- Suatu keberuntungan dan kehormatan bagi istri yang dimadu, karena tidak dicerai oleh suaminya. Sedangkan dia tetap mempunyai hak meminta pelayanan yang sama dengan madunya (istri berikutnya).

- Si suami selamat dari berbuat mesum (zina) dengan perempuan lain yang sangat dikutuk oleh Allah Swt. itu.

- Banyak wanita yang tertolong dan terangkat derajatnya, karena adanya orang yang mau meringankan penderitaannya dan menggairahkan hidupnya.[272]

3. Sejarah Poligami

Sebenarnya sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyaknya bangsa sebelum Islam sendiri datang. Di antara bangsa-bangsa yang menjalankan poligami, yaitu: Ibrani, Arab Jahiliyah dan Casillia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara Rusia, Lituania, Polandia, Cekoslovakia dan Yugoslowakia, dan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara: Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris.

Sehingga tidak benar, jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membaw sistem poligami. Sebenarnya sistem poligami ini hingga dewasa ini masih tetap tersebar pada beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti: Orang-orang asli Afrika, Hindu India, Cina dan Jepang. Juga tidak benar, jika dikatakan bahwa sistem ini hanya beredar di kalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam saja.

Sebenarnya, bahwa Agama Kristen tidak melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang hal ini. Jika para pemeluk Kristen bangsa Eropa pertama dulu telah beradat istiadat dengan kawin satu perempuan saja, ini tidak lain disebabkan oleh karena sebagian terbesar bangsa Eropa penyembah berhala yang didatangi oleh agama Kristen pertama kalinya adalah terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang lebih dulu sudah punya kebiasaannya yang melarang poligami, dan setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini.

Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen yang mereka anut, akan tetapi telah merupakan warisan paganisme (agama berhala) dahulu kala. Dari sinilah kemudian gereja mengadakan bid’ah dengan menetapkan larangan poligami dan lalu digolongkan larangan tersebutsebagai aturan agama.

Pada kitab Injil sendiri tidak menerangkan sedikitpun tentang sesuatu ayat yang mengharamkan sistem ini.

Sebenarnya, sistem poligami ini tidaklah berjalan, kecuali di kalangan bangsa-bangsa yang primitif sangat jarang sekali, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan, seperti: Westermark, Hobbers, Heler dan Jean Bourge.

Hendaklah diingat bahwa sistem monogami, merupakan sistem yang umum berjalan pada bangsa-bangsa yang kebanyakannya masih primitip, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya tabiatnya halus dan bangsa-bangsa yang sedang transisi meninggalkan zaman primitipnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris.

Di samping itu sistem poligami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang mengalami jurang kebudayaan, yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburunya yang primitip dan menginjak pada zaman beternak kepada zaman bercocok tanam.

Kebanyakan sarjana sosiologi dasn kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami ini pasti akan meluas dan akan banyak bangsa-bangsa di dunia ini menjalankannya, bilaman kemajuan kebudayaan mereka bertambah besar. Jadi tidaklah benar anggapan yang dilontarkan orang bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Bahkan adalah sebaliknya, bahwa poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan.

Demikian kedudukan sebenarnya pendirian agama Kristen. Dan begitu pula bahwa meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia.[273]

4. Syarat-syarat Poligami

Untuk bolehnya suatu poligami maka diperlukan suatu syarat yang memperbolehkan, bahwa poligami boleh dilaksanakan sampai empat istri. Kata (فانحكوا) walaupun berbentuk perintah, namun maksudnya hanyalah mengatakan boleh dan bukan bermaksud wajib.[274] Firman Allah Swt. menyuruh mengawini wanita dua, tiga, atau empat, tidaklah berarti kita boleh berpoligami sesukanya.

Sebagaimana firman Allah:

....فانكحوا ماطاب لكم من الساء مثنى وثلث وربع فان حفتم الا تقدلوا فواحدة (النساء:3)

Terjemahnya: “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, kawinilah seorang saja”.(QS. An-Nisa’ : 3) [275]

Dari ayat ini dapat kita ketahui bahwa untuk berpoligami ada syarat-syarat yang mesti kita penuhi terlebih dahulu. Adapun syarat lengkap poligami, baik menurut ulama fiqh juga menurut UUP adalah sebagai berikut:

a. Syarat-syarat menurut Fiqh

1). Tidak lebih dari empat orang istri, dalam kitab-kitab fiqh dinyatakan bahwa poligami sebanyak-banyaknya empat istri.[276]

2). Bukan pada wanita yang ada hubungan mahrom dengan istrinya, seandainya dia pria.

Sebagaimana Firman Allah, yang berbunyi:

وحلائل ابنائكم الذى من اصلا بكم وان تجمعوا بين الا ختين (النساء: 23)

Terjemahnya: “Diharamkan kamu memadu antar dua wanita bersaudara”.[277] (QS. An-Nisa’ : 23)

3). Sanggup berlaku adil

Dalam hal keadilan ini Muhammad Rasyid Ridho mengatakan: “Oleh sebab itu berpoligami itu hukumnya Haram dengan pasti, apabila takut tidak dapat berbuat adil” [278]

Dijelaskan oleh Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil adalah dapat memenuhi kebutuhan istri dan melaksanakannya, sandang, pangan, tempat kediaman, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi pekerti dan agama mereka, tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus, dan sebagainya. Jika tidak sanggup berlaku adil cukuplah kawin dengan satu istri saja. Jadi Islam membolehkan manusiaberistri sampai empat orang, boleh berpoligami, tetapi pilgami yang tertutup atau terbatas.[279] Sebagaimana sabda Rasulullah saw., berbunyi:

عن عائشة رضى الله عنها قالت كان رسول الله صلعم يقسم بـين نسائه فيعدل ويقول: اللهم هذا قسمى فيما املك فلا تلمنى فيما تملك ولاافلك. (رواه الاربعه)

Artinya: Dari ‘Aisyah ra., ia berkata: Adalah Rasulullah saw., membagi giliran di antara istri-istrinya dengan adil dan beliau mendo’a: “Ya Allah, inilah pembagianku yang mampu saya laksanakan, maka janganlah Engkau mencela tentang yang Engkau miliki dan tidak saya miliki (keadilan bercinta)” [280] (HR. 4 Tirmidzi menguatkan mursalnya).



b. Syarat poligami menurut UUP

Ada beberapa pasl dalam UU No. 1/1974 yang mengatur tentang poligami, yaitu:

- Pasal 3

(1) “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.

(2) “Pengadilan dapat memberi izn kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.[281]

Dengan adanya pasal 3 ayat (2) ini maka dapat dikatakan bahwa UUP menganut asas monogami terbuka, karena tidak menutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang sifatnya tertutup atau poligami yang tidak begitu saja dapat dibuka tanpa pengawaasn hakim[282]

- Pasal 4

(1) “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.

(2) “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang dapat beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.[283]

Pasal 4 ayat (2) ini merupakan alasan yang jelas membolehkan kepada seorang pria untuk melakukan poligami, dengan cara mengajukan permohonan kepada pengadilan (pasal 4 ayat 1).

- Pasal 5

(1) “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 4 (91) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adalah persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) “Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan”.[284]

Pada pasal 5 ayat (1) ini dapat ditarik kesimpula bahwa bila seorang laki-laki ingin berpoligami, maka hendaklah ia memenuhi syarat sebagaimana yang disebutkan pada pasal 5 ayat (1), dan untuk dapat untuk diterimanya syarat ini pengadilan perlu melakuakn pemeriksaan:

1. Tentang ada tidaknya persetujuan istri, baik pertujuan lisan maupun tertulis, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

2. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan surat-surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau surat keterangan pajak penghasilan; atau surat keterangan lain yang dapat ditrima oleh pengadilan.

3. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan persyaratan atau janji dari suami yang dibuat dalam bertuk yang ditetapkan untuk itu.[285]

Dalam melakukan pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemerikasaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang wanita, maka pengadilan memberikan keutusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.[286]



B. Pengertian Pembatalan Nikah

Batal dalam bahasa Arab disebut juga dengan Fasakh kata fasakh berasal dari kata (فسخ يفسخ فسخا)artinya membatalkan dan dengan dibaca hasrah huruf “Ha” nya itu menunjukan istri rusak.[287] dengan demikian pembatalan nikah dapat dikatakan memfasakh aqad nikah yang berarti membatalkannya dan meleaskan ikatan pertalian antara suami istri.

Mengenai pengertian pembatalan nikah Abdul Muhaimin As’ad mencoba merumuskan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan nikah/fasakh yaitu “pemutusan hubungan suami istri dengan jalan pembatalan ikatan tali perkawinan (nikah) yang dilakukan oleh HAkim, setelah ada usulan (permintaan) si istri.[288] Dengan demikian batalnya perkawinan merupakan konsekwensi logis atau akibat dari larangan perkawinan. Mengenai masalah ini Kompilasi membedakan antara “batal demi hukum” dan “dapat dibatalkan”.

Pertama disebabkan adanya pelanggaran terhadap larangan perkawinan, sedang yang kedua dikarenakan terjadi pelanggaran terhadap persyaratan tertentu. Perbedaan ini dapat diterima, sebab yang pertama sejalan dengan kaidah ushul fiqih. Larangan itu menunjukan rusak/batalnya sesuatu yang dilarang. Sedang yang kedua, hanya menyangkut pihak lain yang dirugikan haknya atau melanggar peraturan yang berlaku.[289]

Perumusan tersebut, mengandung pengertian yang meskipun tidask seluruhnya sejalan dengan UU No. 1/1974 tentang perkawinan, namun pada prinsipnya memberikan ketentuan perkawinan bahwa pembatalan perkawinan itu hanya dilakukan oleh pengadilan atau hakim. Pengadilan atau hakim melakukan pembatalan setelah mempertimbangkan alasan-alasan yang digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan atau dengan kata lain pengadilan membatalkan perkawinan karena diminta.

Untuk penjelasan yang rinci mengenai hal pembatalan nikah baik yang diatur dalam Undang-undang No. 1/1974 dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dapat kita temukan pengertian yang jelas dalam hal ini. Namun untuk memberikan pembatasan dalam pembahasan ini penulis mencoba memberikan suatu kesimpulan pengertian dari beberapa aturan yang ada tentang pembatalan nikah. Bahwa yang dimaksud dengan pembatalan nikah itu dalah pengrusakan akad (batal) atau pelepasan ikatan pertalian antara suami istri yang dilakukan oleh pengadilan dengan putusan berdasarkan permohonan dari pihak-pihak yang mempunyai hak dalam perkawinan tersebut.

1. Dasar Pembatalan Nikah

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa segala sesuatu perbuatan mengandung aspek hukum, untuk itu diperlukan dasar yang jelas atas perbuatan itu. Kaitannya dengan permasalahan pembatalan nikah kita dapat melihat beberapa dasar yang kuat.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Subulus Salam yaitu:

Sesungguhnya Ibnu Katsir telah menceritakan hadits ini dengan menggunakan kata-kata: Sesungguhnya Nabi saw. menikahi seorang perempuan dari Khobilah bani Gifar manakala perempuan tersebut masuk menghadap Nabi lantas Nabi melihat lambungnya perempuan tersebut ada cela yang tampak lalu Nabi mengembalikannya kepada pihak keluarganya dan beliau bersabda: Kamu sekalian menyembunyikan ‘aib/cela terhadapku. Hadits ini menunjukan dasar fasakh. [290]



Selain pernyataan di atas yang menjelaskan tentang permasalahan pembatalan nikah karena suatu aib atau cela juga diterangkan dalam kitab Nihayah al-Zain istri yang mukallaf juga mempunyai hak memfasakh nikah terhadap suaminya karena alasan tertentu.

Fasakh terjadi dengan kata yang jelas setelah adanya sesuatu yang telah lewat adakalanya dari hakim setelah ada tuntutan istri atau dari istri atas izin atas izin hakim setelah ada tuntutan. [291]

Dan alasan dasar lain dari pembatalan nikah dapat dilihat dalam perundang-undangan yang berlaku yaitu:

a. Dalam Kompilasi Hukum Islam

Batalnya perkawinan diatur dalam Bab XI tersusun dari pasal 70 sampai dengan pasal 76

b. Diatur dalam Undang-undang perkawinan No. 1/1974 tersusun dari pasal 22 sampai pasal 28.

Dan yang paling jelas dapat dijadikan dasar dalam pembatalan nikah adalah pasal 27 Undang-undang No.1/1974 berbunyi:

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.[292]

2. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan

Dijelaskan oleh Arso Sosroatmodjo SH dan H. A. Wasit Aulawi, bahwa perkawinan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum Agama dalam perkawinan maka mutlak harus dibatalkan. Sedangkan bila dilanggar syarat-syarat perkawinan yang bersifat administtratif dan kemaslahatan, maka dapat dibatalkan atau dapat pula diteruskan.[293] Di dalam praktek batal tidaknya suatu perkawinan tergantung dsari pertimbangan hakim, untuk itu sebab-sebab pembatalan suatu perkawinan merupakan syarat untuk dapat diterima atau tidaknya suatu permohonan pembatalan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan pembatalan nikah adalah memfasakh nikah, dan dijelaskan sebab-sebab memfasakh nikah yaitu:

a. Sebab fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam aqad nikah:

- Setelah aqad nikah ternyata istrinya adalah saudara susuan

- Suami istri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinan atau mengakhirinya.

b. Contoh fasakh karena hal-hal mendatang setelah aqad:

- Bila setelah seorang dari suami istri murtad, dan tidak mau kembali sama sekali. Maka aqad fasakh, sebab kemurtadan di belakang ini.

- Jika suami yang tadinya Islam lalu menjadi kafir (murtad) tetapi istri tetap dalam keislamannya, maka aqadnya batal (fasakh).[294]

Abdul Muhaimin As’ad menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya fasakh, karena:

- Suami menderita cacat mental maupun fisik, seperti suami menderita sakit gila, sakit lepra, kusta, atau impotent (lemah syahwat) yang tidak bisa sembuh.

- Suami tidak bisa memberikan nafkah, berupa sandang, pangan, papan (tempat tinggal).

- Tidak kufu (sepadan, setingkat, sederajat)

- Suami hilang tidak tentu rimbanya, kemana perginya dan di mana sekarang berada, sesudah ditunggunya selama empat bulan.[295]

Sedangkan dalam Perundang-undangan dijelaskan bahwa;

a. Menurut UU No.1/1974 tentang perkawinan

- Pasal 22

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.[296]

- Pasal 24

“Barang siapa perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat menngajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.[297]

- Pasal 26

(1) “Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua (2) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri”.

(2) “Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan harus di perbaharui supaya sah.[298]



- Pasal 27

(1) “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

(3) “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang salah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.[299]

b. Menurut Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam.

Pasal 70

Perkawinan batal apabila:

1). Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan aqad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talaq raj’i.

2). Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah diliannya.

3). Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talaq olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi, ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

4). Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974.

5). Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

6). Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[300]

3. Cara Pembatalan Nikah

Dijelaskan dalam Undang-undang Perkawinan pasal 25 bahwa, permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.[301]

Hal ini senada dengan bunyi pasal 74 dari Kompilasi Hukum Islam ayat (1), yaitu:

“Permohonan pembatalan perkawiana dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.[302]

sedangkan dijelaskan pula bahwa yang dapat mengajukan perkawinan adalah:

1). Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami dan istri.

2). Suami atau istri

3). Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.

4). Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.[303]

Mengenai waktu berlakunya pembatalan sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 74 KHI ayat (2); “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”.[304]

Dan dijelaskan pada pasal 28 UU No. 1 tahun 1974 yaitu:

“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”.[305]

sedang batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya, hal ini dijelaskan dalam pasal 76 dari Kompilasi Hukum Islam.



BAB IV

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN



Dalam memutuskan masalah boleh tidaknya poligami dilakukan oleh seorang suami, yang menjadi dasar pertimbangan dalam memutuskan perkara tersebut adalah pertimbangan dari segi perundang-undangan di samping pertimbangan dari segi Syari’at Islam.

Untuk itu dalam penganalisaan sub ini, penulis lebih menekankan pendekatan secara agama yang kemudian penulis kompromikan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. di dalamnya mengandung hikmah yang sangat besar, dan juga telah mengatur berbagai hal, segala itu telah diatur dalam kitab suci Al-Qur’an dan juga hadits Rasul serta ijma’ para ulama sebagai dasar dan pokok dari ajaran Islam.

Adapun mengenai dasar gugatan istri terhadap suami, hal ini dapat dibenarkan menurut pandangan hukum Islam, yang antara lain dapat penulis terangkan sebagai berikut:

a. Bahwa ajaran Islam tidak merendahkan harkat dan martabat kaum wanita, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa jahiliyah. Islam mengangkat derajat kaum wanita itu banyak sekali, baik dalam bidang sosial, hukum rumah tangga dan lainnya. Dengan demikian tindsakan kesewenangan poligami oleh suami tanpa izin istri merupakan tindakan istri mengajukan gugatan pembatalan nikah poligami suami dapay diterima.

Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang harkat dan martabat wanita antara lain adalah:

يايهاالذين امنوا لا يحل لكم ان ترثواالنساء كرها ولا تعضلو هن لتدهبوا ببعض مااتيتمو هن الا ان يأتين بفاحشة مبـينة وعا شروهن بالمعروف فان كرهتمو هن فعسى ان تكرهوا شياء ويجعل الله فيـه خيرا كثيرا (النساء:19)

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karen ahendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perkara keji yang nyata dan bergaullah kepada mereka dengan patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” [306].(QS. An-Nisa’: 19)



b. Dalam suatu perkawinan, nilai-nilai keadilan selalu dijunjung tinggi, maka bila ada suami yang bertindak bukan atas nama keadilan, seperti halnya poligami yang dilakukan tanpa adanya izin dari istri pertama, hal ini dapat dibenarkan apabila pihak istri menggugat suami dengan mengajukan permohonan pembatalan nikah suami yang tanpa izin, sebagimana firman Allah yang berbunyi:

وان امراءة خافت من بعلها نشوزا اواعراضا فلا جناح عليهما ان تصلحا بينهما صلحا, والصلح خير احضرت الأنفس الشح, وان تحسبوا وتتـقوا فان الله كان بما تعملون خبيرا (النساء:128)

Terjemahnya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik walaupun pada tabiatnya manusia itu kikir, dan jika kamu menggauli istri kamu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [307] ( QS. An-Nisa’ : 128)



Secara umum ayat tersebut di atas menjadi landasan moral dalam pergaulan antar suami istri dalam suatu perkawinan yang syah.

c. Keharusan adanya izin bagi suami yang hendak berpoligami merupakan tindakan yang berdasarkan pada maslahat, untuk mewujudkan keadilan ynag merupakan syarat utama dalam berpoligami, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

وان خفتم الاتقسطوافىاليتمى فانحكواماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع, فإن خفتم الا تعد لوا فواحدة اوما ملكت ايمانكم ذلك ادنى الا تعولوا (النساء/4/3)

Terjemahnya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”[308].(QS.An-Nisa’ : 3)



Dengan poligami yang dilakukan seseorang tanpa sepengetahuan pihak istri dan juga tidak adanya izin dari pihak pengadilan, merupakan suatu pelanggaran hak terhadap istri, yang semestinya seorang suami wajib menghormatinnya, dan secara otomatis pelaksanaan poligami ini tidak sesuai dengan syarat-syarat syahnya, sebagaimana dijelaskan bahwa syarat syahnya suatu poligami adalah:

a. Tidak lebih dari empat orang

b. Bukan pada wanita yang ada hubungan mahrom dengan istrinya.

c. Dan sanggup berlaku adil.

Dengan pengabaian hak istri ini, jelas bahwa suami telah melanggar konsep keadilan yang merupakan syarat prinsip yang mesti dilakukan seorang suami yang berpoligami. Dari segi Undang-undang seseorang telah melanggar pasal 3 ayat (1), (2) pasal 4 ayat (1), (2) dan pasal 5 ayat (1) sub a) Kompilasi Hukum Islam.

Dan juga dari syarat perkawinan dimana terdapat penghalang perkawinan (dari pihak tergugat I) yaitu telah mempunyai istri yang sah, yan dalam pelaksanaan perkawinan ini bertentangan dan melanggar pasal 9 UU. No. 1/1974, dimana dijelaskan bahwa seseorang yang telah terikat perkawinan tidak dapat kawin lagi.[309]

Islam membolehkan kawin lebih dari seorang, dengan syarat berlaku adil, bila tidak poligami adalah hukumnya haram. Jadi dalam Islam tidak menjadi penghalang perkawinan bila seseorang telah terikat dengan perkawinan. Penghalang ini hanya kita jumpai dalam perundang-undangan. Namun sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk tunduk dan patuh kepada para pemimpin (uli ‘amri), yang berarti kita wajib dan patuh pula kepada (melaksanakan) peraturan yang berlaku, selama hal ini tidak bertentangan dengan niali-nilai syari’ah yang ditetapkan Allah, hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi:

ياايها الدين امنوا اطيعوا الله واطيعواالرسول واولى الأمر منكم ...(الساء: 59)

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasulnya dan Ulil ‘amri di antara kamu….”.[310] (QS. An-Nisa’ : 59)

Dengan dasar ini maka wajiblah kita untuk melaksanakan UU perkawinan yang berlaku, dimana tidak membolehkan suatu poligami tanpa izin dari pihak istri dan pengadilan, dan juga dilarang suatu perkawinan bagi seseorang yang terikat dengan perkawinan lainnya.

Dijelaskan dalam Undang-undang perkawinan No. 1/1974 bahwa syarat dari poligami adalah:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.13

Syarat di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi dan juga syarat komulatif untuk poligami dalam pasal 5 UU No. 1/1974 bahwa: untuk dapat melakukan poligami, suami harus memenuhi syarat-syara berikut:

a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.14

Dari syarat-syarat alternatif dan komulatif di atas pada pelaksanaan poligami ynag dilakukan oleh saudara Yosep dimana tanpa adanya ijin dari pihak istri pertama (Eni Sumarni), sedangkan istri pertama masih dapat menjalankan kewajibannya dan tidak terdapatnya cacat pada badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan penggugat (Eni Sumarni) mempunyai keturunan maka pelaksanaan poligami tidak memenuhi syarat yang syah, sehingga penulis berpendapat pelaksanaan poligami tersebut batal demi hukum.

Bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh saudaranya Yosep adalah tidak terpenuhinya syarat poligami, padahal yang dimaksud dengan syarat adalah suatu yang harus dipenuhi bagi sesuatu unsur (rukun) nikah, sehingga apabila terpenuhinya persyaratan suatu perkawinan maka perkawinan itu tidak ayah.15

Syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang di atas, apabila kita cermati lebih jauh merupakan unsur dalam rangka mencapai kemaslahatan, seperti syarat alternatif, apabila hal ini memang terjadi pada pihak istri maka seorang suami dibolehkan untuk melakukan perkawinan lagi (poligami) sebab apabila tidak melakukan poligami mudhorot yang akan ditimbulkan lebih besar dari maslahatnya, dan dengan madhorot yang timbul lebih besar tersebut maka tujuan perkawinan untuk kebahagiaan tidak akan dapat dicapai.

Sedangkan pada syarat-syarat komulatif, menunjukan suatu syarat yang berpokus pada keadilan, syarat ini mengukur sejauh mana kemampuan seorang suami untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, sehingga dalam PP No. 9/1975 dijelaskan bahwa tentang adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya harus dengan suatu pembuktian berupa:

- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani tempat suami bekerja.

- Surat keterangan pajak penghasilan, dan

- Bukti keterangan lain yang dapat diterima pengadilan.16

Dan persetujuan istri/istri-istri merupakan ukuran akan kerelaan dari istri untuk dimadu, sehingga dalam perkawinan dapat berlaku adil antara istri-istri yang ada. Dengan demikian tanpa adanya suatu izin (persetujuan) keadilan yang merupakan syarat utama poligami sulit untuk dilaksanakan.

Dasar dari izin poligami dari pihak istri ini, tidak kita temukan dalam Al-Qur’an ataupun Hadits, namun penulis berpegang pada konsepsi kemaslahatan perkawinan. Dimana diketahui bahwa tujuan perkawinan itu untuk melaksanakan syari’at Islam dan juga untuk membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia. Dengan demikian poligami ynag tanpa izin besar kemungkinan kekalnya suatu perkawinan sulit di dapat. Karena bagaimanapun seorang wanita itu mempunyai sikap mengharapkan suatu kebahagiaan rumah tangga.

Dari keterangan ini, penulis cenderung melarang poligami tanpa izin pihak istri, dengan pertimbangan pada kemaslahatan, sebagaimana qaidah ushuliah menyatakan, bahwa: “Menolak kerusakan harus didahulukan pada menarik kebaikan”. 17

Kandungan Qaidah ini menjelaskan bahwa jika terjadi perlawanan antara kerusakan dan kebaikan pada suatu perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan di tinjau dari satu segi larangannya yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah menjalankan kebaikan.

Sedangkan bila pada pemilihan itu sama-sama mengandung kemadharatan, maka dipilihlah madharat yang lebih ringan, antara tanpa izin dan harus izin, sebagaimana penjelasan di atas, madharat yang ditimbulkan poligami tanpa izain lebih besar, dari pada poligami dengan izin, untuk itu maka kemadharatan yang lebih ringan yang diambil sebagaimana kaidah ushuliyah menyatakan: “Apabila dua buah kerusakan saling berlawanan, maka haruslah dipelihara yang lebih berat madharatnya, dengan melaksanakan yang lebih ringan” 18

Sebenarnya kemadharatan itu ringan atau pun berat harus dihindarkan sesuai dengan firman Allah, yang berbunyi:

ولا تفسدوا فى الا رض بعد اصلاحها (الاعرف: 56)

Terjemahnya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”.19 (QS. Al-A’raf : 56)

Namun karena tidak ada jalan lain untuk menghindarkannya selain dengan memilih yang paling sedikit madharatnya, maka itulah yang tepat.

Hal ini menurut hemat penulis telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, juga dari sudut penganalisaan agama (Islam), sebab perkawinan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan:

a. Perundang-undangan yaitu: UU No. 1/1974 Jo. Kompilasi Hukum Islam, Jo. PP No. 9/1975dan KUH Perdata (HIR), sebagaimana yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.

b. Ajaran dan syari’at Islam, sebab perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif daslam mewujudkan tujuan perkawinan.20 Dan perkawinan merupakan suatu tanda dari kekuasaan Allah Swt., sebagaimana firman-Nya:

ومن أياته أن خلق لكم من انفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأ يات لقوم يتفكرون (الروم\30)

Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.21.(QS. Al-Rum : 21)



BAB V

PENUTUP



Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan tentang poligami, dan setelah diadakan analisis secara sistemik, maka sebelum mengakhiri penulisan ini perlu rasanya, penulis membuat beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:

Bahwa pernikahan adalah merupakan perjanjian (aqad) antara seorang laki-laki dengan perempuan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan diri yang menyebabkan halalnya hubungan seksual yang sebelumnya diharamkan, sedangkan ikatan perkawinan pihak laki-laki/ suami dengan beberapa lawan jenisnya lebih dari satu isteri atau poligami, dengan tegas al-Qur’an dan Hadits, maupun menurut empat Madzhab membolehkan tetapi dibatasi hanya empat isteri saja, juga yang tak kalah pentingnya harus dapat berbuat adil sedangkan menurut al-Qur’an dan Hadits tidak ada dalil yang jelas dan qath’i mengenai suami ketika melakukan poligami harus adanya ijin isterinya, tetapi menurut beberapa para imam madzhab mengharuskan adanya ijin isteri untuk melakukan pernikahan lebih dari satu (poligami).

Saran-saran
Dalam akhir penulisan skripsi ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

Jadi dari perkawinan itu untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hakiki di antara suami dan istri. Kemudian dalam menjamin hak ini, Islam mengatur dengan lembaga Thalaq serta Fasakh nikah sehingga masalah poligami dapat dikendalikan dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam, sebagaimana yang telah diterangkan pada bab terdahulu dalam skripsi ini.

Akhirnya, penulis yakin bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharap adanya gayung bersambut dari para pembaca berupa saran dan kritik yang konstruktif, yang pada kelanjutannya bermanfaat pada kesempurnaan penulisan skripsi ini.











DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, 1992.

Al-Anshari, Abi Zakaria, Fathul Wahab, Bisyarhi Minhajut Thullab, Surabaya: Al-Hidayah, juz II.

Al-Bagho, Musthofa Deid, At-Thadzib fi Adillati Matni Ghoyah wa Taqeib, Surabaya: Al-Hidayah.

Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr Ibnu, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghoyati Ikhtishar, Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, Juz II.

Al-Jazairi, Abdurrahman, Al-Fiqhu ‘Ala